Tuesday, August 31, 2010

Puisi-puisi Taufik Ismail

MALU [Aku] JADI ORANG INDONESIA
1998
I

Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini

II

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

III

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,

Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

IV

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia

 

 

12 MEI 1998

Empat syuhada berangkat pada suatu
malam, gerimis air mata
tertahan di hari keesokan, telinga kami
lekapkan ke tanah kuburan
dan simaklah itu sedu sedan
Mereka anak muda pengembara tiada
sendiri, mengukir reformasi
karena jemu deformasi, dengarkan saban
hari langkah sahabat-
sahabatmu beribu menderu-deru,
Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu
Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom
abad duapuluh satu
Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi
kalian tertinggi di Trisakti bahkan di seluruh negeri, karena
kalian berani mengukir
alfabet pertama dari kata reformasi-damai
dengan darah
arteri sendiri,
Merah putih yang setengah tiang ini, merunduk
di bawah garang
matahari tak mampu mengibarkan diri
karena angin lama
bersembunyi,
Tapi peluru logam telah kami patahkan
dalam doa bersama, dan kalian
pahlawan bersih dari dendam, karena jalan
masih jauh
dan kita perlukan peta dari Tuhan

Republika,
16 Agustus 1998
Sajak-sajak Reformasi Indonesia
Taufik Ismail

 

 

TAKUT 66, TAKUT 98
Oleh :
Taufiq Ismail

Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa

1998
Republika Online edisi : 07 Juni 1998 1999

 

DENGAN PUISI INI, AKU

Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya.

1965

 

HARMONI
1966

Enam barikade telah dipasang
Pagi ini
Ketlka itu langit pucat
Di atas Harmoni

Senjata dan baju-baju perang
Depan kawat berduri
Kota yang pengap
Gellsah menanti

Bendera setengah tiang
Di atas Gayatri
Seorang ibu menengadah
Menyeka matanya yang basah.

 

BENTENG
1966

Sesudah siang panas yang meletihkan
Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas
Dan kita kembali ke kampus ini berlindung
Bersandar dan berbaring, ada yang merenung

Di lantai bungkus nasi bertebaran
Dari para dermawan tidak dikenal
Kulit duku dan pecahan kulit rambutan
Lewatlah di samping Kontingen Bandung
Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana
Semuanya kumal, semuanya terbakar matahari
Semuanya letih, semuanya tak bicara
Tapi kita tidak akan terpatahkan
Oleh seribu senjata dari seribu tiran

Tak sempat lagi kita pikirkan
Keperluan-keperluan kecil seharian
Studi, kamar-tumpangan dan percintaan
Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam
Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam.

 

MEMBACA TANDA-TANDA

Kita saksikan Gunung memompa abu,

Abu membawa batu,

Batu membawa lindu,

Lindu membawa longsor,

Longsor membawa air,

Air membawa banjir,

Banjir membawa air, Air Mata

 

 

KEMIS PAGI

Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan

Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran

Dan menaiki kereta-kereta kencana

Dan menggunakan materai kerajaan

Dengan suara lantang memperatas-namakan

Kawula dukana yang berpuluh-juta

Hari ini kita serahkan mereka

Untuk digantung ditiang Keadilan

Penyebar bisa fitna dan dusta durjana

Bertahun-tahun lamanya.

Mereka yang merencanakan seratus mahligai raksasa

Membeli benda-benda tanpa-harga dimanca-negara

Dan memperoleh uang emas beratus juta

Bagi diri sendiri, dibank-bank luar negeri

 

KITA ADALAH PEMILIK SAH REPUBLIK INI
1966

Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus

Berjalan terus

Karena berhenti atau mundur

Berarti hanyut

Apakah akan kita jual keyakinan kita

Dalam pengabdian tanpa harga

Akan maukah kita duduk satu meja

Dengan para pembunuh tahun yang lalu

Dalam setiap kalimat yang berakhiran:

“Duli Tuanku”?

Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus

Berjalan terus

Kita adalah manusia bermata sayu, yang ditepi jalan

 

DOA

Tuhan kami

Telah nista kami dalam dosa bersama

Bertahun membangun kultus ini

Dalam pikiran yang ganda

Dan menutupi hati nurani

Ampunilah kami

Ampunilah

Amin

Tuhan kami

Telah terlalu mudah kami

Menggunakan asmaMu

Bertahun di negeri ini

Semoga

Kau rela menerima kembali

Kami dalam barisanMu

Ampunilah kami

Ampunilah

Amin.

Sunday, August 29, 2010

Sejarah Ringkas Imajisme

GERAKAN Imajis melibatkan para penyair di Inggris dan Amerika pada awal Abad ke-20. Mereka menulis sajak bebas dan mempersembahkannya untuk "kejernihan ekspresi melalui pemakaian ketepatan imaji-imaji visual."

GERAKAN ini disemikan dari ide T.E. Hulme, yang di awal tahun 1908 membahas pada sebuah Klub Puisi di London sebuah puisi yang ditulis berdasarkan penggambaran dengan akurat subyek setepat-tepatnya, tak ada kata-kata berlebihan yang tak berguna. Ezra Pound memproklamasikan gerakan ini pada tahun 1912. Kala itu dia membaca sebuah sajak Hilda Doolittle, dan menyebutnya sebagai "H.D. Imagiste" lalu mengirimnya ke Harriet Monroe di Majalah Poetry.

RUKUN iman pertama dari manifesto gerakan Imajis adalah "Menggunakan bahasa dari percakapan yang umum, tapi selalu memberdayakan kata yang setepatnya kata, bukan kata yang hampir-tepat, bukan kata-kata dekoratif belaka."

CONTOH yang kerap disebut adalah puisi Ezra Pound berikut ini:

Di Stasiun Metro

Di kerumun orang, wajah-wajah menyelinap hilang;
Basah kelopak kembang, di hitam cabang-cabang.



Sajak ini dimulai dari wajah-wajah pemandangan di statiun bawah tanah yang gelap lalu lalu membawa pada pandangan lain dengan menyejajarkan dengan imaji yang lain. Dari situ hadir metafora yang membangkitkan penemuan intutitif yang tajam untuk meraih esensi kehidupan.

EZRA Pound mendefinisikan imaji sebagai "apa yang padanya, dalam waktu sekilas seketika, menghadirkan sebuah kompleksitas emosi dan intelektual". Puisi Imajis, dirumuskannya antara lain sebagai: Puisi dengan memperlakukan langsung "sesuatu", sebagai subyek atau obyek; dan Mutlakiah menggunakan, tak satupun kata yang tak memberikan sumbangan makna.

ANTOLOGI puisi Imajis terbit 1914 berisi karya-karya William Carlos Williams, Richard Aldington, dan James Joyce, serta H.D. dan Pound. Penyair Imajis lainnya adalah F. S. Flint, D. H. Lawrence, dan John Gould Fletcher. Setelah antologi itu terbit, Amy Lowell dipandang sebagai pemimpin gerakan tersebut. Tahun 1917 gerakan imajis dianggap sudah berakhir tetapi idenya terus memberi pengaruh menembus abad 20. Dokrtin puisi imajis, sadar atau tidak banyak mempengaruhi puisi-puisi karya penyair Indonesia.

sumber:http://sejuta-puisi.blogspot.com/2006/08/sejarah-ringkas-imajisme-gerakan.html
SUMBER: TEROKA KOMPAS
Lirisisme dan Tubuh yang "Mata Bahasa"

Sabtu, 23 Agustus 2008 | 01:08 WIB

Apa yang harus digugat dengan imperium puisi liris di Indonesia? Apakah karena kita mulai takut bahwa bahasa Indonesia sedang tenggelam oleh globalisasi bahasa-bahasa internasional, oleh hancurnya perilaku politik nasional, oleh kebingungan memandang masa lalu dan masa depan?

Pak Sarip, di Stren Kali Surabaya, meninggalkan desanya di Mojokerto karena menurutnya desa sudah bangkrut. Di kota, dia hidup miskin. Pak Sarip hampir tidak memiliki kehidupan sosial dan ruang aktualisasi sosial dengan warga kampung.

Saya mencoba memintanya menyanyikan lagu berbahasa Jawa yang masih diingatnya. Tiba-tiba wajah dan tubuhnya seperti baru saja hadir di depan saya menjadi tubuh yang hidup. Dia mulai menyanyi dengan gerak tubuh yang berusaha mengikuti irama yang dinyanyikan. Geraknya seperti alang-alang yang tertiup angin.

Pak Sarip, di kota menghadapi dua hal sekaligus: Pertama, kebangkrutan desa itu berlanjut lewat formalisme kota yang tidak bisa menerima kehadiran warga seperti Pak Sarip yang tidak memiliki pendidikan, akses pekerjaan, modal, dan pemukiman.

Kedua, konstruksi budaya yang dibawanya dari desa, yang hidup dalam tubuhnya, harus berhadapan dengan gaya hidup kosmopolitan yang menuntut tubuh yang lain. Akhirnya tubuh Pak Sarip ikut tenggelam bersama konstruksi budaya masa lalu yang membentuknya. Tubuh desa dan tubuh agrarisnya tidak mampu mengakses tubuh kosmopolitan.

”Pak Sarip, kenapa tidak kembali ke desa?”

”Di desa sudah tidak ada apa-apa lagi,” jawabnya. Jawaban untuk mengatakan bahwa sisa hidupnya sebenarnya hanya tinggal bertahan untuk bisa makan.

Bertahan dalam bahasa

Bahasa, sejarah, dan seni memberikan kepada kita imajinasi tentang kehidupan bersama, waktu dan ruang yang kita kenali, penghormatan kepada bendera kebangsaan dan foto keluarga, termasuk membuat wacana terhadap tubuh. Karena itu Amir Hamzah percaya, walaupun Malaka direbut Portugis, selama bahasa Melayu dijaga lewat pantun dan syair, bangsa Melayu tidak akan hancur.

Di Desa Tutup Ngisor, lereng Gunung Merapi, masyarakat juga masih percaya, orang Jawa belum menjadi Jawa kalau tidak bisa nembang atau nabuh gamelan. Bahasa Jawa diajarkan kepada anak-anak lewat kesenian dan sastra yang mereka miliki, yang memperlihatkan bahwa bahasa tidak semata-mata soal tata bahasa. Masyarakat Bali, termasuk Dayak, juga masih melakukan hal yang sama.

Lalu, apa yang kita cemaskan dengan lirisisme?

Hampir seluruh budaya tradisi kita sebenarnya ditopang oleh lirisisme. Estetika ini pada awalnya hampir tidak terpisahkan dengan teologi masyarakat tradisi, yang sebagian besar hidup dalam budaya agraris. Estetika di mana ”aku” belum dibaca sebagai ”aku-individu”, masih sebagai ”aku-bersama”.

Estetika lirisisme diturunkan hampir ke seluruh pernik-pernik kebudayaan dari pakaian (batik atau songket, misalnya), senjata (keris, misalnya) hingga ukiran-ukiran untuk rumah.

Lirisisme seakan-akan lahir dari masyarakat yang sudah melampaui masalah-masalah ekonomi dan politik.

Dalam masyarakat budaya lisan, lirisisme merupakan produk dari ”bagian-dalam” budaya lisan: inside dari budaya lisan itu sendiri. Dan folklore sebagai outside-nya. Karena itu, lirisisme seperti memiliki watak kromonisasi yang berlangsung di dalamnya.

Aku yang individu

Perubahan ekonomi untuk pengembangan investasi, penguasaan terhadap sumber-sumber alam yang melahirkan kolonialisme, membuat prosedur baru terhadap posisi ”aku” menjadi ”aku-individu” yang mengubah dan menaklukkan.

”Aku-liris” tidak siap berhadapan dengan ”aku-modern” seperti ini. Rustam Effendi dan Sutan Takdir Alisjahbana mengatakannya sebagai kebudayaan yang kalah yang harus ditinggalkan, seperti melemparkan seruling dan pantun.

Chairil Anwar menjadi penting karena dialah yang kemudian berhasil mengubah sifat mendasar dari estetika lirisisme ini dengan munculnya ”aku-individu” yang penuh luka, sudah jadi binatang. Chairil Anwar tiba-tiba menjadi sebuah perayaan baru dalam sastra Indonesia.

Lirisisme yang menjadi nakal dan sehari-hari pada puisi-puisi Rendra maupun Subagio Sastrowardoyo, lirisisme yang berjalan ke mana-mana yang dibawa oleh Sitor Situmorang. Juga harus disebut Ramadhan KH dengan Priangan Si Jelita-nya, Toto Sudarto Bachtiar dan Amarzan dengan puisi-puisi baladanya.

Sapardi Djoko Damono, lewat jalan imajisme, tiba-tiba mengembalikan lirisisme kepada watak dasarnya sebagai ”aku-mistis”.

Imajisme puisi-puisi Sapardi ”aku telah menjadi kata”, merupakan pembebasan baru di mana lirisisme memasuki medan penuh dengan imaji-imaji tak terduga.

Lirisisme memang merupakan mainstream dalam puisi Indonesia modern, termasuk Yudhistira M Massardi, Sutardji Calzoum Bachri, maupun Wiji Thukul.

Sementara itu, F Rahardi seperti dinding luar dari lirisisme yang tidak sepenuhnya berada di luar lirisisme, termasuk Darmanto Jt.

Afrizal Malna Penyair, menetap di Yogyakarta

Wednesday, August 25, 2010

Puisi-puisi Kriapur


KUPAHAT MAYATKU DI AIR


kupahat mayatku di air
namaku mengalir
pada batu dasar kali kuberi wajahku
pucat dan beku
di mana-mana ada tanah
ada darah
mataku berjalan di tengah-tengah
mencari mayatku sendiri
yang mengalir
namaku sampai di pantai
ombak membawa namaku
laut menyimpan namaku
semua ada di air


Solo, 1981

 


AKU INGIN MENJADI BATU DI DASAR KALI
Aku ingin menjadi batu di dasar kali
Bebas dari pukulan angin dan keruntuhan
Sementara biar orang-orang bersibuk diri
Dalam desau rumput dan pohonan
Jangan aku memandang keluasan langit tiada tara
seperti padang-padang tengadah
Atau gunung-gunung menjulang
Tapi aku ingin menjadi sekedar bagian
dari kediaman
Aku sudah tak tahan lagi melihat burung-burung pindahan
Yang kau bunuh dengan keangkuhanmu —yang mati terkapar
Di sangkar-sangkar putih waktu
O, aku ingin jadi batu di dasar kali


1982

 


NATAL BAGI MUSUH-MUSUHKU
aku tak mampu membeli daun-daun
ini fajar dengan bangunan dari air biru
membebaskan ketaklukan diriku
dan mereka yang terus mencari kematianku
kuterima dengan doa
dan bukan lagi musuhku


Solo, 1986

Thursday, August 19, 2010

Inovasi dalam Cerpen Koran

Nenden Lilis A *
http://www2.kompas.com/

NIRWAN Dewanto, pada periode 90-an, sempat memuji cerpen koran, “Harus kita akui, bahwa cerpen-cerpen terbaik di Indonesia selama lima tahun terakhir muncul di Kompas dan Matra, bukan di Horison.” (lihat Pengantar Nirwan Dewanto dalam Pelajaran Mengarang, Cerpen Pilihan Kompas 1993). Dalam pengantar yang sama, melihat kondisi cerpen koran pada saat itu, Nirwan pun sempat berkomentar bahwa ruang cerpen di surat kabar, betapa pun terbatas, menyediakan potensi penyegaran sastra yang tidak kecil.

Akan tetapi, dalam tulisan, “Masih Perlukah Sejarah Sastra? (Kompas, 4/3/2000), Nirwan menulis kalimat yang agak mengejutkan, “…penulis yang ada sekarang hanya mampu menghasilkan cerpen koran.” Tersirat pada peremehan terhadap mutu cerpen koran dalam kalimat tersebut.

Sikap Nirwan yang seolah berbalik di atas memang mengherankan. Namun perlu segera disadari bahwa cerpen koran memang telah lama dan telah banyak mendapat kritik yang tidak mengenakkan.

Kritik yang ditujukan terhadap cerpen koran mengarah pada penilaian bahwa cerpen koran mengecewakan dari berbagai seginya, terutama dalam upaya melakukan pencapaian estetika.

Salah satu hal yang dianggap menjadi penyebabnya adalah terbatasnya ruang (jumlah halaman) yang disediakan. Mengenai ruang ini, para pengamat maupun para penulis cerpen sering membandingkannya dengan majalah.

Seperti diketahui bersama, pada awal perkembangannya (1945-1970-an), cerpen tumbuh dalam majalah. Terutama majalah kebudayaan/kesusastraan, seperti Pantja Raya, Zenith, Indonesia, Kisah, Sastra, Zaman Baru (majalah Lekra), Horison, Basis, dan lain-lain. Majalah-majalah tersebut memiliki visi-misi untuk pengembangan kebudayaan/kesusastraan. Dengan karakteristiknya ini, majalah-majalah tersebut memberikan ruang yang leluasa bagi cerpen. Longgarnya ruang ini diyakini merupakan faktor yang menyebabkan cerpen dapat melakukan eksplorasi dalam bidang estetika.

Sekarang, seiring dengan kematian majalah, cerpen tumbuh dalam koran dengan ruangan yang terbatas. Terbatasnya ruang ini menjadi masalah tersendiri bagi para penulis cerpen, terutama penulis generasi cerpen majalah. Pendeknya, dari keterbatasan koran tersebut, para pengarang merasakan berbagai “kehilangan”. Adapun para pengamat merasakan berbagai penurunan kualitas, yang menimbulkan semacam keyakinan bahwa cerpen majalah lebih berhasil melakukan pencapaian estetika daripada cerpen koran.

Harus diakui bahwa tak semua cerpen koran berhasil melakukan pencapaian estetika. Namun juga tak semua cerpen majalah berhasil melakukannya. Karya-karya dari cerpen majalah yang sering disebut berhasil melakukan pencapaian estetik tentunya hanya sebagian atau beberapa saja yang memang merupakan masterpiece. Begitu pula dengan cerpen koran. Tak semua cerpen koran bersifat lugas, topikal, dan permukaan. Banyak pula yang berhasil melakukan pencapaian estetik sekalipun ruangnya terbatas. Bahkan, pencapaian estetika dari cerpen koran, dapat dikatakan telah sampai pada tahap inovasi, seperti yang dilakukan Joni Ariadinata.
***

INOVASI dalam karya sastra sudah terjadi sejak 1942-an tatkala konsep estetika Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru dirombak oleh angkatan 1945-an. Inovasi ini terjadi lagi tahun 1970-an, dan terjadi juga sekarang, terutama dalam bidang cerpen.

Idrus adalah salah seorang pengarang yang sering dinyatakan sebagai pembaharu dalam bidang prosa. Ia adalah pemisah antara prosa zaman revolusi dengan angkatan Pujangga Baru. Inovasinya adalah hal isi, gaya dan penggunaan bahasa dianggap revolusioner. A. Teeuw dalam Sastra Baru Indonesia I (1980) pernah mengulas bahwa berbeda dengan angkatan Pujangga Baru yang mementingkan keindahan dan kehalusan, Idrus justru memilih kenyataan yang kejam, kasar, hal-hal yang menyinggung dan kata-kata yang dikemukakan kepada pembaca dengan cara yang agak menentang. Kekterusterangan dan kesederhanaan menjadi norma karya prosanya. Kalimat-kalimat yang digunakan dalam karyanya pendek-pendek dan bersahaja dengan kecenderungan terhadap pembentukan kalimat nominal. Kata dasar banyak menggantikan kata berimbuhan. Ia pun tak segan-segan memasukkan bahasa Jakarta-Jawa sehari-hari, dan bahasa-bahasa asing menggantikan bahasa Melayu resmi.

Pada tahun 1970-an, inovasi terjadi dalam cara melihat kenyataan. Pada waktu itu, meminjam ungkapan Th Sri Rahayu Prihartini (Kompas, 14/6/1998), sastra realis “dirongrong” oleh para inovator seperti Putu Wijaya dan Danarto. Begitu pula segi estetika. Alur tidak harus terikat hukum kausalitas, peristiwa bukan hanya yang masuk akal, latar waktu tidak hanya terikat lampau dan kini, pencerita pun kadang-kadang tidak pasti kedudukannya.

Pada Joni Ariadinata (salah seorang cerpenis yang tumbuh lewat koran), cerpen-cerpennya masih bersifat realis. Inovasinya ini nampak pada bidang bahasa. Dikatakan inovasi karena bahasa yang digunakan Joni berbeda dengan bahasa yang digunakan atau yang terdapat dalam karya-karya sastra sebelumnya dan karya sastra pada umumnya. Inovasi ini tidak tampak sebagai upaya “beraneh-aneh”, tetapi dilakukan dalam upaya untuk mengedepankan, mengaktualkan (foreground) sesuatu yang dituturkan sehingga pas dengan ide yang ingin disampaikan.

Dalam menulis cerpen, Joni sangat mempertimbangkan kepekatan dan efektivitas bahasa. Kesungguhan dalam memperoleh kepekatan tersebut sejajar dengan cara penyair mengeksplorasi kata untuk puisi: mencari kata yang paling pas untuk suatu ide, mengupayakan tumbuhnya berbagai efek dari bahasa yang disajikannya sehingga terdengar bunyinya, terasa iramanya, terlihat bentuknya, dan seterusnya, seperti ini: Kalimas berdengung, lalat menemplek di tiang besi, tembok-tembok: air surut. Pada lumut tersembul, dan lumpur. Para keting -dagingnya tak enak -ikan betok berkecipluk memakan kotoran; bulet-bulet, warna hitam. Gelepok! Keciprak Mak Nil membuang sampah… (cerpen “Rumah Bidadari”).

Selain upaya membuat efek seperti di atas, Joni cenderung tak mau berpanjang-panjang dengan kalimat dalam mendeskripsikan sesuatu. Ia cukup menyimpan satu kata atau satu frasa, tetapi efektif dalam memberi gambaran sesuatu. Bahkan demi efektivitas ini, Joni tak segan-segan melakukan penyimpangan kebahasaan. Pada umumnya berupa pemendekan kalimat, yakni pemenggalan kata-kata yang seharusnya merupakan satu kalimat menjadi beberapa kalimat sehingga terjadilah penghilangan (baca: pelesapan) unsur subjek, predikat atau objek. Pemendekan kalimat tersebut menjadikan bahasa dan informasi yang disampaikan lebih efektif. Kalimat-kalimat pendek (umumnya hanya terdiri atas satu kata atau frasa) ternyata mencapai efek estetis tertentu, yakni sekalipun hanya satu kata/frasa, tapi berbicara banyak. Lihatlah petikan berikut:

Ini rumah. Cuma satu. Atap seng bekas, berkarat, triplek templek-templek, ditambal plastik, ada tikar: tentu, ember buat cebok. Dua ruang: satu untuk Siti, tak boleh diganggu gugat. Yang lain, tempat Mak Nil biasa kerja… Tak butuh jendela. Kalau masuk membungkuk. Sumpek. (Cerpen Rumah Bidadari).

Dalam dialog, Joni pun tak mau berpanjang-panjang dengan kalimat penjelasan. Contohnya seperti ini: “Siti itu anakmu… Kuwalat!! Dasar bajingan. Kalian meniduri anakmu sendiri heh?! Ya Gustiii…” beledek.

atau: “Aku tak ingin Mak diam di sini!” gelisah. “Aku ingin kau segera enyah dari sini,” diam.

Satu kata, seperti beledek, gelisah, diam, bagi Joni cukup menjelaskan situasi/suasana, gerak-gerik tokoh, atau siapa yang bicara.
***

BEGITULAH, ternyata dari tumpukan keluhan dan kekesalan terhadap mutu cerpen koran, kita menemukan mutiara yang terpendam jauh di dasar samudra sastra. Ia tak akan kita temukan jika hanya mencari di atas permukaan. Kita harus menyelaminya terlebih dahulu hingga ke dasarnya untuk menemukan kelebihan dan eksplorasi-eksplorasi yang ada. Di sini pula terlihat bahwa persoalan eksplorasi estetika tidak selalu tergantung pada ruangan. Apalagi kini terlihat tak ada perbedaan mencolok antara cerpen majalah dan cerpen koran. Sastra adalah sastra di manapun ia berada. ***

*) Nenden Lilis A, cerpenis.

Sumber: http://www.sastra-indonesia.com/2009/03/inovasi-dalam-cerpen-koran/

Saturday, August 14, 2010

Robohnya Surau Kami (A.A.Navis)

 

ROBOHNYA SURAU KAMI

1

Kalau beberapa  tahun yang  lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan
akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di  jalan
kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu.
Dan di ujung  jalan nanti akan Tuan  temui sebuah surau  tua. Di depannya ada kolam  ikan,  yang
airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
Dan  di  pelataran  kiri  surau  itu  akan  Tuan  temui  seorang  tua  yang  biasanya  duduk  di  sana
dengansegala  tingkah  ketuaannya  dan  ketaatannya  beribadat. Sudah  bertahun-tahun  ia  sebagai
garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penajag surau, Kakek  tidak mendapat apa-apa.  Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya
sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari
kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin
ia  tak  begitu  dikenal.  Ia  lebih  di  kenal  sebagai  pengasah  pisau. Karena  ia  begitu mahir  dengan
pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan
apa-apa.  Orang-orang  perempuan  yang  minta  tolong  mengasahkan  pisau  atau  gunting,
memberinya  sambal  sebagai  imbalan.  Orang  laki-laki  yang  minta  tolong,  memberinya  imbalan
rokok,  kadang-kadang  uang.  Tapi  yang  paling  sering  diterimanya  ialah  ucapan  terima  kasihdan
sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada  lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa
penjaganya.  Hingga  anak-anak  menggunakannya  sebagai  tempat  bermain,  memainkan  segala
apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan
dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian
yang  bakal  roboh.  Dan  kerobohan  itu  kian  hari  kian  cepat  berlangsungnya.  Secepat  anak-anak
berlari di dalamnya,  secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan  yang  terutama  ialah  sifat
masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi.
Dan  biang  keladi  dari  kerobohan  ini  ialah  sebuah  dongengan  yang  tak  dapat  disangkal
kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku
suka memberinya  uang.  Tapi  sekali  ini  Kakek  begitu muram.  Di  sudut  benar  ia  duduk  dengan
lututnya menegak menopang  tangan  dan  dagunya.  Pandangannya  sayu  ke  depan,  seolah-olah
ada  sesuatu  yang  yang mengamuk  pikirannya.  Sebuah  belek  susu  yang  berisi minyak  kelapa,
sebuah  asahan  halus,  kulit  sol  panjang,  dan  pisau  cukur  tua  berserakan  di  sekitar  kaki  Kakek.
Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah  salamku  tak disahutinya  seperti
saat  itu.  Kemudian  aku  duduk  disampingnya  dan  aku  jamah  pisau  itu.  Dan  aku  tanya  Kakek,
"Pisau siapa, Kek?"
"Ajo Sidi."
"Ajo Sidi?"
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan
aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang
dengan bualannya  yang aneh-aneh  sepanjang hari. Tapi  ini  jarang  terjadi karena  ia begitu sibuk
dengan  pekerjaannya.  Sebagai  pembual,  sukses  terbesar  baginya  ialah  karena  semua  pelaku-
pelaku  yang  diceritakannya  menjadi  model  orang  untuk  diejek  dan  ceritanya  menjadi  pameo
akhirnya.  Ada-ada  saja  orang-orang  di  sekitar  kampungku  yang  cocok  dengan  watak  pelaku-
pelaku ceritanya. Ketika sekali  ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada
pula  seorang  yang  ketagihan  menjadi  pemimpin  berkelakuan  seperti  katak  itu,  maka  untuk
selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba  aku  ingat  lagi  pada  Kakek  dan  kedatang  Ajo  Sidi  kepadanya.  Apakah  Ajo  Sidi  telah
membuat  bualan  tentang Kakek? Dan  bualan  itukah  yang mendurjakan Kakek? Aku  ingin  tahu.
Lalu aku tanya Kakek lagi. "Apa ceritanya, Kek?"
"Siapa?"
"Ajo Sidi."
"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.
"Kenapa?"
"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya."
"Kakek marah?"
"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah  lama
aku  tak marah-marah  lagi. Takut aku kalau  imanku  rusak  karenanya,  ibadatku  rusak karenanya.
Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku
menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."
Ingin  tahuku  dengan  cerita  Ajo  Sidi  yang  memurungkan  Kakek  jadi memuncak.  Aku  tanya  lagi
Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"
Tapi  Kakek  diam  saja.  Berat  hatinya  bercerita  barangkali.  Karena  aku  telah  berulang-ulang
bertanya,  lalu  ia  yang bertanya padaku,  "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah
disini.  Sedari  mudaku,  bukan?  Kau  tahu  apa  yang  kulakukan  semua,  bukan?  Terkutukkah
perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia
takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri. 
"Sedari muda  aku  di  sini,  bukan?  Tak  kuingat  punya  isteri,  punya  anak,  punya  keluarga  seperti
orang  lain,  tahu?  Tak  kupikirkan  hidupku  sendiri.  Aku  tak  ingin  cari  kaya,  bikin  rumah.  Segala
kehidupanku,  lahir  batin,  kuserahkan  kepada  Allah  Subhanahu  wataala.  Tak  pernah  aku
menyusahkan  orang  lain.  Lalat  seekor  enggan  aku  membunuhnya.  Tapi  kini  aku  dikatakan
manusia  terkutuk. Umpan  neraka. Marahkah  Tuhan  kalau  itu  yang  kulakukan,  sangkamu? Akan
dikutukinya  aku  kalau  selama  hidupku  aku mengabdi  kepada-Nya?  Tak  kupikirkan  hari  esokku,
karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku
bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari  tidurnya,  supaya
bersujud  kepada-Nya.  Aku  sembahyang  setiap waktu. Aku  puji-puji Dia.  Aku  baca  Kitab-Nya.    
  Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya.     Astagfirullah kataku bila aku terkejut.   
  Masya  Allah  kataku  bila  aku  kagum.  Apa  salahnya  pekerjaanku  itu?  Tapi  kini  aku  dikatakan
manusia terkutuk."
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, "Ia katakan Kakek begitu, Kek?"
"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati
Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan
akhirnya Kakek bercerita lagi.
"Pada suatu waktu,  ‘kata Ajo Sidi memulai,  ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang  yang
sudah  berpulang. Para malaikat  bertugas  di  samping-Nya. Di  tangan mereka  tergenggam  daftar
dosa  dan  pahala  manusia.  Begitu  banyak  orang  yang  diperiksa.  Maklumlah  dimana-mana  ada
perang. Dan  di  antara  orang-orang  yang  diperiksa  itu  ada  seirang  yang  di  dunia  di  namai  Haji
Saleh. Haji Saleh  itu  tersenyum-senyum saja, karena  ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke
dalam  surga.  Kedua  tangannya  ditopangkan  di  pinggang  sambil  membusungkan  dada  dan
menekurkan  kepala  ke  kuduk.  Ketika  dilihatnya  orang-orang  yang  masuk  neraka,  bibirnya
menyunggingkan  senyum  ejekan.  Dan  ketika  ia  melihat  orang  yang  masuk  ke  surga,  ia
melambaikan  tangannya,  seolah  hendak  mengatakan  ‘selamat  ketemu  nanti’.  Bagai  tak  habis-
habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan
Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya. 
Akhirnya  sampailah  giliran  Haji  Saleh.  Sambil  tersenyum  bangga  ia  menyembah  Tuhan.  Lalu
Tuhan mengajukan pertanyaan pertama. 
‘Engkau?’ 
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’ 
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’ 
‘Ya, Tuhanku.’ 
‘apa kerjamu di dunia?’ 
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’ 
‘Lain?’ 
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu. ’ 
‘Lain.’ 
‘Ya, Tuhanku,  tak ada pekerjaanku  selain daripada  beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut
nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku
selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’ 
‘Lain?’ 
Haji Saleh  tak dapat menjawab  lagi.  Ia  telah menceritakan segala yang  ia kerjakan. Tapi  ia  insaf,
pertanyaan  Tuhan  bukan  asal  bertanya  saja,  tentu  ada  lagi  yang  belum  di  katakannya.  Tapi
menurut  pendapatnya,  ia  telah  menceritakan  segalanya.  Ia  tak  tahu  lagi  apa  yang  harus
dikatakannya.  Ia  termenung  dan  menekurkan  kepalanya.  Api  neraka  tiba-tiba  menghawakan
kehangatannya  ke  tubuh Haji Saleh. Dan  ia menangis.  Tapi  setiap  air matanya mengalir,  diisap
kering oleh hawa panas neraka itu. 
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan. 
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang,
Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji
Tuhan  dengan  pengharapan  semoga  Tuhan  bisa  berbuat  lembut  terhadapnya  dan  tidak  salah
tanya kepadanya. 
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’ 
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’ 
‘Lain?’ 
‘Sudah  kuceritakan  semuanya,  o,  Tuhanku.  Tapi  kalau  ada  yang  lupa  aku  katakan,  aku  pun
bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’ 
‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’ 
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’ 
‘Masuk kamu.’ 
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh  tidak mengerti kenapa
ia di bawa ke neraka.  Ia  tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan  ia percaya
Tuhan tidak silap. 
Alangkah  tercengang  Haji  Saleh,  karena  di  neraka  itu  banyak  teman-temannya  di  dunia
terpanggang  hangus, merintih  kesakitan.  Dan  ia  tambah  tak mengerti  dengan  keadaan  dirinya,
karena  semua orang  yang dilihatnya di neraka  itu  tak kurang  ibadatnya  dari  dia  sendiri. Bahkan
ada  salah seorang  yang  telah  sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu
Haji  Saleh  mendekati  mereka,  dan  bertanya  kenapa  mereka  dinerakakan  semuanya.  Tapi
sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga. 
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat,
teguh beriman? Dan  itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-
Nya ke neraka.’ 
‘Ya,  kami  juga  heran.  Tengoklah  itu  orang-orang  senegeri  dengan  kita  semua,  dan  tak  kurang
ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya. 
‘Ini sungguh tidak adil.’ 
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh. 
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’ 
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’ 
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh. 
‘Kalau  Tuhan  tak mau mengakui  kesilapan-Nya,  bagaimana?’  suatu  suara melengking  di  dalam
kelompok orang banyak itu. 
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh. 
‘Apa  kita  revolusikan  juga?’  tanya  suara  yang  lain,  yang  rupanya  di  dunia  menjadi  pemimpin
gerakan revolusioner. 
‘Itu  tergantung  kepada  keadaan,’  kata  Haji  Saleh.  ‘Yang  penting  sekarang,  mari  kita
berdemonstrasi menghadap Tuhan.’ 
‘Cocok  sekali. Di dunia  dulu dengan  demonstrasi  saja, banyak  yang  kita perolah,’  sebuah  suara
menyela. 
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai. 
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan. 
Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’ 
Haji  Saleh  yang  menjadi  pemimpin  dan  juru  bicara  tampil  ke  depan.  Dan  dengan  suara  yang
menggeletar dan berirama rendah,  ia memulai pidatonya:  ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami
yang  menghadap-Mu  ini  adalah  umat-Mu  yang  paling  taat  beribadat,  yang  paling  taat
menyembahmu.  Kamilah  orang-orang  yang  selalu menyebut  nama-Mu, memuji-muji  kebesaran-
Mu,mempropagandakan  keadilan-Mu,  dan  lain-lainnya. Kitab-Mu  kami  hafal  di  luar  kepala  kami.
Tak  sesat  sedikitpun  kami  membacanya.  Akan  tetapi,  Tuhanku  yang  Mahakuasa  setelah  kami
Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum  terjadi hal-hal yang
tak  diingini,  maka  di  sini,  atas  nama  orang-orang  yang  cinta  pada-Mu,  kami  menuntut  agar
hukuman  yang  Kaujatuhkan  kepada  kami  ke  surga  sebagaimana  yang  Engkau  janjikan  dalam
Kitab-Mu.’ 
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan. 
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’ 
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’ 
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’ 
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya,
bukan?’
‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena
fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa
Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu. 
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’ 
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’ 
‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’ 
‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’ 
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’ 
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’ 
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’ 
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’ 
‘Di  negeri  yang  selalu  kacau  itu,  hingga  kamu  dengan  kamu  selalu  berkelahi,  sedang  hasil
tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’ 
‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami
ialah menyembah dan memuji Engkau.’ 
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’ 
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’ 
‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’ 
‘Sungguhpun  anak  cucu  kami  itu melarat,  tapi mereka  semua  pintar mengaji.  Kitab-Mu mereka
hafal di luar kepala.’ 
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’ 
‘Ada, Tuhanku.’ 
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang
harta bendamu kaubiarkan orang  lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau  lebih
suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya
raya,  tapi kau malas. Kau  lebih suka beribadat saja, karena beribadat  tidak mengeluarkan peluh,
tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin.
Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka.
hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!" 
Semua menjadi pucat pasi  tak berani berkata apa-apa  lagi. Tahulah mereka sekarang apa  jalan
yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya
di dunia  itu  salah atau  benar. Tapi  ia  tak berani bertanya  kepada Tuhan.  Ia  bertanya  saja  pada
malaikat yang menggiring mereka itu. 
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh. 
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau  terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau  takut masuk
neraka,  karena  itu  kau  taat  sembahyang.  Tapi  engkau  melupakan  kehidupan  kaummu  sendiri,
melupakan  kehidupan  anak  isterimu  sendiri,  sehingga mereka  itu  kucar-kacir  selamanya.  Inilah
kesalahanmu  yang  terbesar,  terlalu  egoistis.  Padahal  engkau  di  dunia  berkaum,  bersaudara
semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’ 
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek. 
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk. 
"Siapa yang meninggal?" tanyaku kagut. 
"Kakek." 
"Kakek?" 
"Ya.  Tadi  subuh Kakek  kedapatan mati  di  suraunya  dalam  keadaan  yang mengerikan  sekali.  Ia
menggoroh lehernya dengan pisau cukur." 
"Astaga!  Ajo  Sidi  punya  gara-gara,"  kataku  seraya  cepat-cepat  meninggalkan  istriku  yang
tercengang-cengang. 
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia. 
"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi. 
"Tidak ia tahu Kakek meninggal?" 
"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis." 
"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo
Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang kemana dia?" 
"Kerja." 
"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa. 
"Ya, dia pergi kerja."
                                                                                            ---******---

Rumah Bercerita 460 Watt

 

Cerpen: Afrizal Malna
Sumber: Kompas, Edisi 04/02/2006

Hampir dua minggu ini bayanganku sibuk dengan rumah kontrakan kami yang baru. Hampir tak ada waktu untuk istirahat. Memperbaiki talang yang bocor, menggali lubang untuk resapan, membuat pagar bambu, mengecat kamar mandi, memperbaiki engsel pintu dan jendela, memasang kabel-kabel listrik.

Tapi kapasitas listrik di rumah itu hanya 460 watt. Tidak cukup untukku hidup. Aku biasa hidup paling sedikit dengan listrik yang berkapasitas 900 watt. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana bisa hidup dengan 460 watt. Tapi aku akan mencobanya, hidup dengan 460 watt. Mungkin tanganku yang kanan tidak harus mendapatkan listrik. Biarkan tanganku yang kiri saja yang mendapatkan listrik, karena tanganku yang kanan lebih biasa kerja dengan tenaga alamiah, tidak terlalu membutuhkan listrik.

Kepalaku yang botak selalu membutuhkan listrik yang lebih besar. Kadang aku sebel, karena kepalaku mengambil listrik terlalu banyak dibandingkan dengan tubuhku yang lain. Kalau listrik tiba-tiba mati, karena pemakaian yang berlebihan, aku langsung bisa menduga pasti itu karena kepalaku yang botak yang terlalu rakus dengan listrik. Karena sebel, kadang aku biarkan listrik tetap mati, lalu kepalaku mulai berwarna keabu-abuan seperti gusi pada kedua ekor anjingku.

Uang yang dikeluarkan menjadi sangat besar untuk perbaikan rumah itu. Padahal aku mengontraknya hanya satu juta setahun. Sebagai seorang penulis, aku menjadi sangat kerepotan. Tak ada honor untuk kontrak rumah. Beberapa teman membantuku. Ah… Han, Boi, Katon, Wianta… tengkeyu. Jewe yang baru kukenal bersama istrinya yang sedang hamil ikut membantu sibuk-sibuk. He-he… tengkeyu. Tengkeyu, man.

Tubuh bayanganku seperti awan gelap yang menyimpan hujan. Aku kadang cemas melihatnya bekerja berlebihan. Khawatir hujan tumpah dari tubuhnya. Dan aku tak tahu bagaimana mencegahnya bila terjadi banjir, walau sudah dibuatkan lubang resapan air sedalam enam buah bis beton. Hanya sekitar tiga meter dalamnya di halaman depan. Dan sebuah galian terbuka di halaman belakang.

Rumah itu sebuah kubangan besar memang. Satu-satunya rumah yang berdiri sekitar tiga meter di bawah jalan raya. Kubangan terjadi karena tanah di atas rumah itu sebelumnya pernah disewakan untuk pembuatan batu bata. Tanah untuk pembuatan batu bata diambil langsung dari tanah yang disewakan itu. Terus dikeduk, sehingga terjadi sebuah kubangan besar.

Di sebelah rumah, ada bilik sederhana berdiri, tempat seorang petani biasa beristirahat. Kadang aku seperti melihat bayangan hitam mirip binatang menyelinap ke dalam gubuk itu. Kadang aku ragu, apakah bayangan itu bayanganku sendiri yang melompat dari tubuhku untuk menyendiri dalam gubuk itu. Tapi tak ada siapa-siapa dalam gubuk itu, hanya sebuah bale tua terbuat dari bambu untuk tidur.

Rumah ini sudah dua tahun kosong. Tak ada orang yang mengontrak. Sebelumnya pernah ditinggali sekelompok seniman musik dan perupa. Kehidupan mereka mirip dengan kaum yang berusaha mengusir negara dan agama dari tubuh mereka, termasuk mengusir rezim kesenian. Membiarkan tubuh mereka bebas tanpa rezim yang mendiktekan moralitas bikinan yang tidak sesuai dengan kodrati mereka sebagai manusia. Aku melihat mereka seperti sufi tanpa negara dan tanpa agama.

Mereka tidak membuat garis perbedaan yang memisahkan antara rumah dan jalan raya. Maka rumah ini penuh dengan mural karya mereka, dari teras depan hingga kamar mandi; beberapa lukisan berjamur, timbunan pasir yang mengotorinya, dan sebuah tempat pembakaran dari tanah untuk memasak di tengah-tengah ruang. Dapur memang bisa berada di mana saja dalam rumah ini.

Seorang teman bercerita, di antara lukisan itu terdapat lukisan seorang pelukis perempuan yang mengendarai motor menjelang pagi dalam keadaan mabuk, lalu mengalami kecelakaan dan mati. Pelukis perempuan itu sudah mati, tapi lukisannya masih ada. Ada di depanku. Lukisan tentang seorang penari balet yang terperangkap dalam panggung akrobat.

Aku seperti melayang dalam ruang yang bersayap. Waktu yang membuat sebuah pintu, tapi aku tak tahu apakah pintu itu untuk ke luar atau untuk ke dalam. Mereka juga mungkin tidak membuat garis perbedaan yang memisahkan antara kehidupan dan kematian. Mungkin tubuh mereka seperti angin. Tidak sama dengan bayanganku yang seperti awan gelap dan menyimpan hujan.

Sepasang anjing kami, Kopi dan Kremi, langsung kawin di rumah ini dan langsung hamil. Kadang mereka menggonggongi bayanganku. Kalau mereka menggonggong sedemikian rupa, kecemasanku muncul lagi. Aku khawatir awan hitam pada bayanganku menumpahkan hujan seperti langit yang berlubang.

Lembab. Tembok seperti mengeluarkan keringat bukan karena panas, tetapi karena lembab. Beberapa genteng kaca dan bambu-bambu tua pada atapnya. Aku bisa melihat gerimis lewat genteng kaca itu, kadang kilatan-kilatan petir. Kalau hampir satu jam aku memandangi genteng-genteng kaca itu, aku mulai lupa apakah tubuhku terbaring di bawah memandang genteng-genteng kaca itu, atau tubuhku terbaring di atas dan genteng-genteng kaca itulah yang memandangiku.

Antara aku dan genteng kaca, seperti sepasang mata yang hidup dalam sebuah boks. Sepasang mata itu saling berganti posisi memandang satu sama lainnya. Mata memandang mata. Mata memandang mata. Mata memandang mata. Dan mereka tidak bisa saling mendusta.

Rasanya aku tak ingin punya kamar mandi. Dan mandi di ruang terbuka di halaman belakang. Orang lain mungkin akan melihatku telanjang, tapi aku melihat tubuhku sedang mandi, membersihkan diri dari kotoran. Rumah tanpa kamar mandi seperti sebuah legenda-legenda tua tentang bidadari yang mandi di sungai. Aku tak tahu apakah bidadari itu sungguh-sungguh mandi di sungai, atau sungai yang justru sedang mandi dalam tubuh bidadari-bidadari itu.

Kira-kira 10 tahun yang lalu, aku pernah datang ke rumah ini. Rumah yang pernah dihuni Dadang Christanto, seorang perupa yang kini menetap di Australia sejak meletusnya reformasi. Dan banyak orang yang meninggalkan Jakarta atau meninggalkan Indonesia setelah itu. Dadang menyewa tanah ini selama 15 tahun, dan memasang dua buah rumah Jawa dalam ukuran kecil. Orang cerita bahwa Dadang membeli rumah Jawa itu harganya masih 650 ribu. Harga yang kini tidak cukup untuk hidup seminggu.

Aku merasa betapa kian terpisahnya nilai uang dengan nilai barang. Uang dan barang kian tidak memiliki hubungan untuk mengukur hubungan antarmanusia. Rasanya hidup semakin sunyi dalam hubungan seperti ini. Kesunyian yang membuat kawat berduri dari leher kita hingga saat kita menyalakan kompor untuk memasak air.

Air yang mendidih dalam panci sama dengan ketakutan yang berkeliaran di jalan raya. Betapa malangnya hidup ini, kalau kita hidup hanya untuk terus-terusan berhadapan dengan ketakutan.

Bayang-bayangku mulai memasang pagar bambu. Menanam tanaman-tanaman liar yang aku ambil dari kebun sebelah. Kebun yang juga ketakutan setiap saat akan tergusur, lalu berdiri sebuah bangunan baru, entah untuk rumah atau untuk ruko. Dan rumah untuk air dan tanaman kian berkurang lagi, diambil oleh beton-beton.

Lalu bayang-bayangku begitu sibuk membongkari setiap halaman yang sudah tertutup semen. Membongkari dengan rasa panik yang berlebihan, agar rumah tempat kami tinggal bisa berbagi halaman dengan air. Rasa panik agar kalau air datang tidak ikut tidur bersama kami dengan kasur dan bantal yang sama. Rasa panik kalau-kalau rumah kami berubah menjadi sebuah telaga kecil.

“Dang, apakah rumah ini pernah mengalami banjir?” tanyaku kepada Dadang. Dadang ternyata juga sedang mencari rumah di Australia dalam waktu yang bersamaan dengan saat aku pindah ke rumahnya, karena dia harus pindah ke kota lain.

“Ya, kalau hujan besar, air akan datang dari halaman depan dan halaman belakang. Rumah dari halaman sebelah juga ikut mengirim air ke halaman belakang,” jawab Dadang.

Aku teringat 1.000 patung-patung Dadang yang dipasang dengan sebagian tubuh-tubuh patung itu tenggelam di laut, di Ancol, mungkin sekitar 15 tahun yang lalu. Sebuah instalasi yang mengingatkanku tentang manusia-manusia yang hidupnya dalam keadaan setengah tenggelam. Setengah tubuhnya ada di dalam air dan setengahnya lagi ada di luar. Manusia yang oleh keadaan tertentu harus hidup di antara sebagai ikan dan sebagai kodok. Sebagian tubuhnya yang berada di dalam air tidak bisa berenang seperti ikan. Dan sebagian lagi yang berada di luar air tidak bisa melompat seperti kodok.

Aku tak tahu apakah patung-patung itu sekarang berada di dasar laut atau di sebuah museum di luar negeri. Tapi aku tak yakin ada museum yang terbuat dari laut, dan kita bisa melihat hempasan-hempasan ombaknya lewat kaca jendela museum. 1.000 patung Dadang ada di dalamnya, mungkin diberi judul: “Instalasi Manusia Pengungsi”.

Rumah yang aku tempati kini mungkin juga sebuah museum. Museum untuk berbagai cerita dari para penghuni sebelumnya. Di antaranya seorang manajer untuk furnitur di Jepara. Manajer itu orang asing. Ketika dia meninggalkan rumah ini, dia juga meninggalkan sejumlah perabot antik yang kini raib entah ke mana. Aku jadi ikut ketakutan pompa listrikku akan hilang dicuri. Kalau ada yang mencuri pompa listrikku, aku harus kembali menimba air dari sumur.

Rumah itu memang terus bercerita. Hampir setiap hari selalu ada tema baru yang muncul. Dan aku mulai kehabisan uang. Aku harus punya uang agar rumah itu terus bercerita. Ketika aku tak punya uang, rumah itu mirip dengan peti mati. Rumah itu memang hampir tak ada bedanya dengan peti mati. Kalau aku mati, pintu dan jendela-jendelanya tinggal ditutup, maka rumah itu pun telah berubah menjadi peti mati.

Peti mati tidak memerlukan pintu dan jendela-jendela, bukan? Karena itu pintu dan jendela-jendelanya memang harus ditutup.

Hmmm…

Hmmm…

He-he-he.

Fit, sayangku, hari ini Petrus akan datang bersama Miko. Dia akan datang dengan sepeda yang stangnya tinggi melebihi kepalanya sendiri. Dia akan datang dengan sebotol Vodka, saxophon, dan sebuah harmonika. Dia akan bernyanyi tentang post-realisme.

Bayang-bayangku mulai berubah jadi hujan. Hujan yang berjalan-jalan hingga ke kamar tidur kami. Air seperti tamu agung yang datang dari halaman depan dan halaman belakang. Air tak berdinding seperti makhluk buta memasuki rumah kami. Aku menyambutnya dengan ember-ember. Aku terus menggali setiap halaman yang masih bisa digali untuk tempat duduk air. Aku terus menggali.

Dan rumah itu semakin dalam seperti sebuah sumur. Waktu terasa dingin, bergerak dari punggungku hingga jari-jari tanganku yang terus mengangkut tanah dengan ember. Perutku seperti tertekuk ke dalam, menahan beratnya tanah dalam ember yang telah bercampur dengan air.

Aku sangat terkejut ketika tiba-tiba aku melihat bayang-bayang mataku sendiri yang dipantulkan cahaya di permukaan air sumur. Mata menatap mata. Aku yakin itu adalah bayangan mataku sendiri, dan bukan bayangan mata air. Kalau itu juga adalah bayangan mata air, maka aku harus menerima kenyataan bahwa air memiliki mata.

Hujan mulai berhenti. Langit mulai terang, biru yang tipis dan warna yang masih keabu-abuan. Perlahan-lahan aku mulai melihat bayang-bayang timba sumur menggantung di atas. Talinya yang terbuat dari karet ban menjulur hingga permukaan sumur.

……

Aku melihat hidup.

Sajak-sajak Afrizal Malna [Kompas, Minggu, 6 Desember 2009]

kesepian di lantai 5 rumah sakit

Lelaki itu menatapku setelah selesai mengucapkan doa.
Keningnya seperti mau berkata, apakah aku sedang membuat dusta?
Aku menghampirinya, dan mencium bibirnya.
Tubuh manusia itu sedih dan menyimpan bangkai masa lalu.
Tetapi keningnya mengatakan,
bahuku sakit dan bisa merasakan ciuman dari seluruh kesepian.

Aku kembali mencium lelaki itu,
seperti jus tomat yang tidak tahu kenapa lelaki itu
berdoa dan sekaligus merasa telah berdusta.
Aku memeluk lelaki itu di lantai 5 sebuah rumah sakit.
Lelaki itu melihat ambulan datang
dan menerobos begitu saja ke dalam jantungnya.
Dia tidak yakin apakah ambulan itu apakah jantung itu.

Lalu aku melompat dari lantai 5 rumah sakit itu,
lalu aku melihat tubuhku melayang,
batang-batang rokok berhamburan dari saku bajuku.
Aku melihat kesunyian meledak dari seragam seorang suster,
lalu aku tidak melihat ketika tiba-tiba aku
tidak bisa lagi merasakan waktu:
tuhan, jangan tinggalkan kesepian berdiri sendiri
di lantai 5 sebuah rumah sakit.
Lelaki itu tidak tahu apakah kematian itu
sebuah dusta tentang waktu dan tentang cinta.

Lelaki itu kembali menatapku setelah selesai mengucapkan kesunyian,
dan membuat ladang bintang-bintang di kaca jendela rumah sakit.
Ciumannya seperti berkata, kesunyian itu,
tidak pernah berdusta kepadamu.
Aku lihat wajah lelaki itu, seperti selimut yang berbau obat-obatan.
Perangkap tikus di bawah bantal.
Dan kau tahu, akulah tahanan dari luka-lukamu.

 

khotbah di bawah tiang listrik

Aku membiarkan malam membuat balok kayu di punggungku.
Angin berhembus seperti tiang gantungan yang menyeret talinya sendiri.
Seorang lelaki, setelah menutup pintu mobilnya, berlari ke tiang listrik.
Suara lubang dari tubuhnya
terdengar mengerikan seperti suara sel penjara jam 11 malam.
Kenapa kau berada di luar khotbah yang kau buat sendiri?
Kenapa ada lendir yang menetes dari jam 11 malam?

Lelaki itu adalah jam 11 malam yang meninggalkan khotbahnya sendiri.
Adalah jam 11 malam yang baru menemukan lubang
sebesar paku di telapak tangannya sendiri,
menyeret kesunyian dari leher tuhan yang telah menciptakan lelaki jam 11 malam.
Bekas kawat berduri di keningnya, dan sisa-sisa nikotin di jari-jari tangannya.
Lelaki itu membersihkan semua vagina untuk menemukan anaknya,
khotbah-khotbah yang selalu ditutup dengan hujan yang digantung di tiang listrik.

Benarkah, tuhan, benarkah aku bisa melihat?
Benarkah aku bisa mendengar?
Benarkah, tuhan, benarkah aku sedang berdiri di bawah tiang listrik ini?
Benarkah aku telah menggantikan khotbah dengan kematianku sendiri,
bukan dengan kematian orang lain.
Benarkah aku sedang berjalan meninggalkanmu,
meninggalkan pakaianku di dalam mobil.
Benarkah tubuhku telah menjadi lantai dalam geraja itu.

 

antri uang di bank

Seseorang datang menemui punggungku.
Membicarakan sesuatu, menghitung sesuatu,
seperti kasur yang terbakar dan hanyut di sungai.
Lalu ia meletakkan batu es dalam botol mineralku.

batu dalam sepatu

Selamat pagi Kamsudi, selamat pagi Busro,
selamat pagi Remy dan Aidil yang marah.
Kami masih di sini, di warung sop buntut kemarin,
gelas kopi kemarin, asbak dan kursi plastik kemarin.
Kami masih menjaga sebuah batu yang kami simpan dalam sepatu kami.
Kami memotret tubuh kami sendiri di depan warung kopi,
di samping tong sampah.
Rambut putih yang putus dari kepala kami,
setelah tertawa tertahan, dan hari kemarin masih di sini.

Selamat pagi, waktu.
Selamat pagi semua yang telah menggantikan malam kami
dengan cerita-cerita kecil.
Waktu yang melapukkan atap kamar tidur kami,
sebelum kami sempat terpulas,
mengintip mimpi dari tembok-tembok berjamur.
Hampir 50 tahun kami menunggu hingga sepatu kami
kembali berubah menjadi kulit sapi.
Waktu, seperti makhluk-makhluk asing
yang beranak-pinak dalam tubuh kami.
Puisi yang sampai sekarang tidak tahu bagaimana cara menuliskannya:
12 selimut untuk teman-teman dari Makassar.
12 selimut untuk teman-teman dari Padang dan Lampung.

Dan besok, besok kami akan datang lagi ke warung kemarin,
ke Jalan Cikini kemarin
yang telah menjadikan tubuh kami sebagai percobaan waktu untuk menunggu,
percobaan menunggu untuk bisa melihat,
percobaan melihat untuk mengenal kedatanganmu tak terduga.
Percobaan untuk tetap berada di hari kemarin.
Para gubernur datang dan berganti di kota ini,
seperti permainan dalam kota-kota kolonial.
Membuat peti telur untuk puisi dan teater.

Kemarin. Kami—kami tidak pernah tahu tentang hari ini dan hari esok.
Dan batu lebih dalam lagi, lebih keras lagi,
antara sepatu dan kulit sapi.
Batu—untuk semua negeri yang terlalu curiga pada kebebasan,
pada kemiskinan dan orang-orang yang masih tetap berjalan dengan kakinya.

kartu identitas penduduk di china

untuk lan zhenghui

Aku sudah menyiapkan tas ransel,
mesin pencukur jenggot,
dan sebuah kebangsaan yang dipotret di kantor kecamatan.
Setiap terbangun, aku takut ketinggalan pesawat.
Atau menemukan diriku sedang bercinta
dengan bahasa China di kamar orang lain.
Hari Selasa kemarin tidak datang. Besok masih besok.
Kemarin entah ke mana sebelum hari Minggu.
Hari Selasa masih menunggu kemarin yang tidak datang.
Hari Selasa bukan hari Selasa kalau belum hari Selasa.

Besok, hari Selasa mulai akan melubangi bayanganku dari punggungku,
untuk mendengar bahasa China dari sipit mataku hingga hardware komputerku.
Besok masih besok sebelum kemarin.
Hari Selasa tidak menyimpan 100 tahun
dari ketakutan setiap generasi pada Kartu Identitas Penduduk,
pendidikan dan lapangan kerja.
Orang-orang membuat rumah untuk berdusta.
Menjeritkan generasi yang berceceran di tangga eskalator.
Dan menjeritkan lagi ketakutan mereka di atas great wall.
Sejarah seperti obeng dan gergaji yang menjauhkan manusia dari tangan-tangan waktu.

Apakah kamu dari Indonesia?
Tanya supir taksi. Ya jawabku.
Seperti menjawab suara jeritan dari toko-toko yang terbakar di Jakarta.
Perempuan mereka yang ditelanjangi dan diperkosa.
Tubuh-tubuh yang berubah menjadi arang hitam.
Sejarah yang mengambil tangan kita,
dan membenamkannya kembali berulang ke dalam luka yang sama.
Luka yang kembali bertanya: Apakah kamu dari Indonesia?

Pagi itu kabel-kabel listrik di jalan masih menahan dingin,
melepaskan sisa-sisa malam, lemak dan kembang api olimpiade.
Seorang teman memesan topi Mao.
Apa yang aku kenang tentang negeri ini dari great wall,
topi bulu musang dari Mongol, teguran politik dari Tibet,
air terjun manusia yang tumpah
dari lubang langit – hingga manajemen komunis
yang mengatur penghasilan penduduk sampai kamar hotelku.

Zhenghui, aku mengagumi lukisanmu,
yang kembali ke kertas bubur beras dan tinta China.
Angin menjelang musim dingin mulai menyapa leherku.

Sajak-sajak Afrizal Malna
Minggu, 6 Desember 2009 | 02:42 WIB

Afrizal Malna lahir di Jakarta dan kini tinggal di Yogyakarta.
Kumpulan puisinya antara lain Abad yang Berlari (1984),
Arsitektur Hujan (1995),
Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2002),
dan Teman-temanku dari Atap Bahasa (2008).

Thursday, August 12, 2010

Resensi, Jawa Pos [ Minggu, 02 Mei 2010 ]

Jadi Guru yang Menginspirasi Siswa

DUNIA pendidikan kita kembali dirundung duka. Hasil pengumuman ujian nasional (unas) Senin lalu (26/4) benar-benar mengejutkan banyak pihak. Pasalnya, jumlah siswa yang tidak lulus meningkat drastis. Pada unas SMA (dan sederajat) 2010, yang lulus hanya 89,88 persen. Sedangkan angka kelulusan unas 2009 mencapai 94,85 persen. Sebanyak 154.079 di antara 1.522.162 siswa peserta unas harus mengikuti unas ulang pada 10-14 Mei mendatang. Siapa yang patut disalahkan dalam kasus ini?

Tentu ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi keterpurukan kelulusan tersebut. Salah satunya kompetensi guru. Memang, setiap orang bisa menjadi guru. Tetapi, tak bisa disangkal bahwa tidak semua orang mampu menjadi guru yang baik, mengobarkan semangat, menginspirasi, memancarkan energi, mencerahkan, sekaligus menanamkan pengaruh yang luar biasa sehingga bisa membekas sepanjang hidup di benak anak didik. Padahal, guru yang mampu menginspirasi dan mencerahkan itulah yang saat ini dibutuhkan di negeri ini. Sebab, guru semacam itu akan mengantarkan kesuksesan siswa di kelak kemudian hari dan membawa kemajuan bangsa.

Sayang, guru yang inspiratif dan mencerahkan seperti itu tidak banyak. Sebagian besar guru hanya guru kurikulum, tidak meninggalkan kesan mendalam di benak siswa karena tidak banyak hal penting yang diwariskan. Yang diberikan tak lebih sekadar pengetahuan dan wawasan yang menjadi tugasnya: sosok guru yang hanya patuh pada kurikulum sebagaimana isi buku yang ditugaskan sesuai dengan acuan kurikulum.

Guru sekadar mengajar dan tidak dapat berperan sekaligus sebagai pendidik. Padahal, untuk mencapai kemajuan dan kesuksesan siswa, jelas dibutuhkan guru yang tidak sekadar mengajar sesuai dengan kurikulum melainkan, dapat menginspirasi dan memengaruhi sekaligus mengubah jalan hidup anak didik jadi lebih baik. Lebih ironis, tidak jarang ada sosok guru justru tampil dengan wajah sangar, menakutkan, dan tak menjadikan murid tumbuh semangat untuk menuntut ilmu.

Fenomena mengenaskan tentang angka kelulusan unas tahun ini dan minimnya guru inspiratif (dan tak sedikit guru yang menakutkan di sisi yang lain) menjadikan buku karya Ngainun Na'im, Menjadi Guru Inspiratif: Memberdayakan dan Mengubah Jalan Hidup Siswa, patut direnungkan. Penulis yang juga staf pendidik di STAIN Tulungagung itu tak hanya menggugat potensi guru yang tak kompeten, melainkan juga memantik kesadaran guru untuk menjadi ''sosok yang inspiratif dan mampu mengubah'' kehidupan siswa. Pasalnya, guru inspiratif seperti itu -di mata penulis yang kini menempuh pendidikan S-3 Islamic Studies di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta- bisa mengantarkan murid meraih kehidupan yang bermakna dan berkualitas.

Harapan penulis dapat dipahami karena guru inspiratif adalah guru yang mampu menularkan pengetahuan sekaligus menggerakkan perubahan dan memengaruhi siswa. Jadi, guru inspiratif bukanlah sekadar guru kurikulum, tapi mampu mengembangkan potensi dan kemampuan siswa, berpikir kreatif dan mampu melahirkan siswa yang tangguh dan siap menghadapi aneka tantangan dan perubahan (hlm. 73).

Guru tidak sekadar mengajar sebagai kewajiban seperti ditentukan kurikulum, melainkan juga senantiasa berusaha mengembangkan potensi, wawasan, cara pandang, dan orientasi siswa. Kesuksesan mengajar seorang guru tak diukur secara kuantitatif dari angka-angka yang diperoleh dalam evaluasi, tetapi bagaimana guru itu memberikan sumbangsih yang berarti bagi siswa dalam menjalani kehidupan selanjutnya setelah menyelesaikan masa studi.

Bagaimana menjadi guru yang inspiratif? Ngainun Na'im sadar sepenuhnya, menjadi guru inspiratif tidak gampang. Sebab, guru inspiratif tidak bersifat permanen. Spirit inspiratif yang dimiliki guru inspiratif kadang bisa memudar. Tetapi, kalau jiwa guru itu sudah diberkati anugerah inspiratif, yang diperlukan adalah bagaimana dia selalu menemukan pemantik/penyulut spirit inspirasi. Untuk menyulut kembali spirit inspirasi itu, tentu setiap guru punya cara sendiri. Tapi, bagi penulis, buku ini setidaknya bisa dibangun lewat tiga elemen; komitmen (berkomitmen selalu menginspirasi siswa), cinta (memiliki kecintaan dalam mendidik), dan memiliki visi.

Dengan peran guru inspiratif yang memiliki komitmen, cinta, dan visi itu, murid akan mampu membangkitkan potensi dan minatnya untuk menguasai pelajaran. Di sisi lain, mereka memiliki sikap serta ''semangat tinggi untuk maju'', kreatif, tercerahkan, bahkan termotivasi untuk bisa sukses. Sebab, guru inspiratif semacam itu memiliki semangat terus belajar, kompeten, ikhlas dalam mengajar, mendasarkan niat mengajar pada ''landasan spiritualitas'', total, kreatif, dan selalu berusaha mendorong siswa untuk maju.

Potensi kreatif itulah yang menjadikan guru inspiratif tidak pernah kehilangan cara dan media dalam mendidik. Diaa bisa membangun iklim pembelajaran dengan seribu cara. Tak salah jika murid selalu merindukan guru seperti itu hadir di kelas hingga pelajaran yang sudah berlangsung dua jam seperti tidak terasa. Sesudah belajar, murid memperoleh pencerahan dan motivasi, pelajaran pun tertanam dalam benak siswa. Lebih dari itu, para siswa menjadi ''inspiratif'' sehingga mengalami revolusi diri; berubah lebih baik, mengenal bakat terpendam yang dimiliki, dan kreatif.

Buku hasil dari pergulatan, diskusi, dan perenungan penulisnya ini -tidak dapat disangkal- memberikan sumbangsih yang berarti bagi khazanah pendidikan di negeri ini. Apalagi, tuntutan jadi guru inspiratif tidak bisa dinafikan. Maklum, guru adalah penggerak roda peradaban bangsa dan peran guru inspiratif akan membawa kemajuan bangsa kita ke depan.

Sejumlah kisah-kisah inspiratif dalam buku ini pun -tidak ditepis- bisa menjadi spirit, motivasi, dan pembanding bagi guru dalam menghadapi kasus-kasus yang dihadapi untuk menjadikan anak didik tercerahkan dan kreatif. (*)

Judul buku: Menjadi Guru Inspiratif: Memberdayakan dan Mengubah Jalan Hidup Siswa

Penulis: Ngainun Na'im

Penerbit: Pustaka Pelajar, Jogjakarta

Cetakan: Pertama, 2009

Tebal buku: xvi + 289 halaman

*) N. Mursidi , alumnus pesantren An-Nur Lasem, Jateng

A.S. Laksana, Jawa Pos [ Minggu, 25 April 2010 ]


Bencana Sebagai Watak Pemerintahan

Saudara-saudara sekalian, sampai hari ini sesungguhnya saya masih penasaran kenapa dulu Presiden SBY dengan mudah mengurungkan niatnya untuk menggugat Anggodo dan Ong Juliana Gunawan yang telah menyebut-nyebut RI-1 berada di belakang mereka dalam skenario pelumpuhan KPK. Padahal sebelumnya ia tampak sangat tidak nyaman dan berniat mengambil langkah hukum yang tegas.

''Pokoknya didukung. Jadi nanti KPK ditutup. Ngerti ga?" kata Ong kepada Anggodo. Dan sekarang kita harus berurusan dengan Anggodo lagi, Bibit-Chandra lagi, ''kriminalisasi reptil'' lagi. Apakah kita akan menunggu presiden berpidato lagi?

Ini sungguh njelehi. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan baru saja memenangkan gugatan praperadilan Anggodo terhadap keputusan Kejaksaan Agung mengeluarkan SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan) atas kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Dengan demikian, ada kemungkinan Bibit dan Chandra harus diproses di pengadilan atas kasus yang dituduhkan kepada mereka. Jika proses peradilan berlangsung beres, mereka bisa membuktikan diri secara hukum apakah mereka tidak bersalah, atau sebaliknya, pengadilan akan membuktikan mereka bersalah. Hanya saja, pada saat berlangsungnya proses peradilan mereka harus non-aktif karena berstatus terdakwa. KPK kehilangan dua petingginya.

Dalam kasus Bibit-Chandra, Anda tahu, banyak orang meyakini bahwa yang terjadi adalah kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Hasil penyadapan oleh KPK, yang berupa rekaman percakapan Anggodo, Ong Juliana, dan para kolega mereka, memperkuat keyakinan tersebut. Namun, saya ingat, para politisi DPR punya suara yang lucu yang bertentangan dengan simpati rakyat kepada Bibit dan Chandra. Sambil memperlihatkan sikap antipati kepada KPK (apakah karena para politisi Senayan banyak digarap oleh KPK?), DPR tampak sangat berpihak kepada polisi yang menetapkan kedua petinggi KPK itu sebagai tersangka --meski tuduhan yang dilemparkan kepada keduanya terus berubah-ubah, seperti mood para remaja yang ruwet sendiri ketika jatuh cinta.

Pada waktu itu, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR berkaitan dengan kasus tersebut, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri mengeluarkan pernyataan yang membuat saya mak tratap, deg-degan dan harap-harap cemas. ''Tak ada anggota saya yang melacurkan diri, mempermalukan institusi. Kami pertanggungjawabkan dunia akhirat,'' katanya. Anggota DPR sangat girang. ''Saya tidak rela polisi diobok-obok,'' kata DPR. ''Polisi harus diselamatkan dari kriminalisasi publik.''

Sekarang, Anda bisa melihat bahwa Kapolri sudah membuat pernyataan yang benar-benar susah dipertanggungjawabkan dunia akhirat. Komjen Susno Duadji, polisi yang duduk di sebelahnya dalam rapat dengan anggota DPR, telah membuktikan bahwa Kapolri keliru. Banyak orang di kepolisian yang melakukan tindakan, dalam bahasa Pak Jenderal Kapolri, melacurkan diri dan mempermalukan institusi.

Lalu dengan cara bagaimana kita akan membicarakan kemenangan praperadilan Anggodo? Susno, si buaya yang dulu menjadi tokoh antagonis dalam kasus ''kriminalisasi'' Bibit-Chandra, kini sudah berubah menjadi penguak fakta tentang adanya makelar kasus di kepolisian. Itu tindakan yang membalikkan posisinya dari orang yang sebelumnya dicerca menjadi orang yang patut dibela. Jadi, akan bergerak ke mana lagi kasus Bibit-Chandra kali ini? Mengembalikan Susno ke posisi semula?

Setelah Kasus Century saya sempat berpikir bahwa kasus demi kasus yang dimunculkan belakangan adalah bentuk serangan balasan atas runyamnya posisi pemerintah. Dalam kasus ini, Anda tahu, suara koalisi pecah; sebagian anggota koalisi mengambil opsi keras yang menyudutkan pemerintah yang mereka dukung. Namun kemudian saya merasa bahwa pikiran itu terlalu simplistik, kendati manuver para politisi memang sering sangat simpel dan mudah diduga. Bahkan kalaupun itu benar demikian, kita bisa apa dengan pikiran semacam itu?

Saya kira ada kenyataan yang lebih besar di luar motif balas dendam itu. Jangan-jangan ini sebuah pola penyelesaian masalah, atau sebuah ciri lain dari pemerintahan SBY periode kedua. Anda tahu, lima tahun pertama pemerintahan SBY dicirikan oleh mbludak-nya bencana alam yang terjadi susul-menyusul. Pada periode kedua ini bencana alam tampaknya bergeser (atau meluaskan diri?) ke bencana politik, yang juga terjadi secara berturutan. Dugaan semacam itu membawa saya ke satu pertanyaan, ''Apakah masalah demi masalah di negeri ini hanya bisa diselesaikan melalui bencana?''

Untuk satu dua kasus mungkin iya. Masalah kemanusiaan yang berkepanjangan di Aceh, misalnya, menjadi agak dipermudah penyelesaiannya ketika terjadi tsunami. Setelah bencana besar itu, seluruh pikiran dan empati serta merta diarahkan ke sana. Orang berhenti membicarakan GAM, DOM, dan penderitaan apa saja yang sebelumnya mencincang daerah tersebut. Seluruh konsentrasi, dalam dan luar negeri, dikerahkan untuk membangun kembali daerah itu. Walhasil, bencana tsunami menjadi sebuah blessing in disguise bagi pemerintahan SBY sehingga masalah Aceh bisa diselesaikan dalam cara yang relatif lebih mudah. Kasus Aceh seperti selesai dengan sendirinya tanpa pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang tepat untuk menyelesaikannya.

Memang bencana bisa menjadi pola penyelesaian masalah. Setidaknya pola semacam itu bisa Anda temui dalam beberapa cerita di kitab suci: Sodom dan Gomorah hancur diguncang bencana, tentara-tentara Firaun digulung Laut Merah, dan Qarun yang tamak ditelan rekahan tanah beserta seluruh hartanya (namanya menyumbang satu kosakata dalam bahasa Indonesia, sehingga kita menyebut harta terpendam sebagai harta karun). Bencana-bencana dalam kitab suci itu menjadi sebuah happy ending, yakni ketika Tuhan sendiri turun tangan untuk menyelesaikan masalah di bumi.

Namun, Anda tentunya tidak bisa berharap bahwa sebuah pemerintahan akan terus-menerus bersandar pada bencana sebagai solusi. Akan ngawur sekali jika pengambil kebijakan hanya mengandalkan penyelesaian setiap urusan pada bencana. Jika demikian, demi mengusir orang pindah dari tempat permukiman mereka, yang perlu dilakukan hanya berdoa agar di situ terjadi tanah longsor atau semburan lumpur. Orang-orang yang tinggal di sana akan menyingkir dengan sendirinya. Sama ngawurnya juga saya kira jika pemerintah menjalankan kebijakan yang meniru pola bencana. Misalnya, karena suatu tempat harus dikosongkan untuk kepentingan lain dan di situ tidak memungkinkan adanya tanah longsor atau semburan lumpur, maka didatangkanlah bencana buatan, yakni Satpol PP.

Dalam beberapa kejadian, Anda tahu, Satpol PP, juga organisasi-organisasi otot lainnya, sanggup mendatangkan bencana, jika diperlukan, dengan karakter yang bisa sama merusaknya sebagaimana bencana alam. Mereka akan bekerja seperti semburan lumpur atau letusan gunung atau guncangan gempa untuk mendatangkan bencana bagi orang-orang yang tak sudi meninggalkan tempat mereka. Dan, sebagaimana bencana alam yang ''tugasnya'' memang menimbulkan kerusakan, mereka tampaknya juga memiliki ''tugas'' yang serupa.

Sekiranya watak penyelesaian seperti itu dipertahankan, agaknya akan lebih berguna jika bencana buatan itu diamalkan untuk menyelesaikan masalah korupsi. Saya kira Anda pun bersedia ikut memikirkan kemungkinan untuk melibatkan Satpol PP dalam program penggusuran para para koruptor dan bagaimana cara mendatangkan bencana buat mereka. Maksud saya, jika mereka bisa digunakan untuk mendatangkan bencana buat rakyat kecil, maka mereka juga bisa digunakan untuk mendatangkan bencana buat para koruptor.

Saya kira Satpol PP akan senang juga jika diberi tugas menggusur para koruptor; itu akan membuat mereka lebih banyak gunanya ketimbang sekarang. Kita juga akan lebih tenteram melihat kehadiran mereka, lebih tenang mengikuti kasus apa pun, entah Bibit-Chandra atau siapa pun, dan presiden tidak perlu bolak-balik berpidato atau mengeluh pada setiap kasus. Pada saat itu saya kira Kapolri juga tidak perlu membuat pernyataan teledor yang melibat-libatkan dunia akhirat. (*)

*) A.S. Laksana, kolomnis yang beralamat di aslaksana@yahoo.com

A.S. Laksana, Jawa Pos [ Minggu, 20 Desember 2009 ]


Bagaimana Mengelola Politik tanpa Operasi Otak

Menurut Anda, skandal Bank Century ini kasus apa tepatnya? Apakah ia masalah administrasi belaka, atau masalah perampokan, atau masalah hukum, atau masalah politik, atau bahkan masalah intelijen?

Ini pertanyaan yang sangat serius. Jika kita berhasil menetapkan itu kasus apa, mungkin kita bisa menemukan cara penyelesaian yang lebih mudah. Anda tahu, setiap urusan konon akan beres jika diserahkan kepada ahlinya. (Kalimat ''serahkan kepada ahlinya'' pernah digunakan oleh Pak Fauzi Bowo sebagai jargon kampanye pemilihan gubernur DKI Jakarta; ia menang dan ternyata ia tidak ahli-ahli amat untuk membebaskan Jakarta dari banjir dan kemacetan, dua masalah yang parah sekali di wilayah pemerintahannya.)

Sebelum Anda bisa memastikan, saya kira ada baiknya kita membahas seluruh kemungkinan. Berikut ini adalah beberapa pertimbangan yang bisa saya sampaikan:

Masalah administrasi. Jika skandal Bank Century adalah masalah administrasi, maka urusannya harus diserahkan kepada orang yang benar-benar jagoan dalam urusan administrasi dan bukan pegawai administrasi biasa yang ngantuk melulu. Mungkin agak susah mencarinya, sebab administrasi adalah masalah yang sangat rumit dan berbelit-belit. Bahkan administrasi pembuatan KTP saja lama sekali pembenahannya; masalah daftar pemilih tetap dalam pemilu legislatif yang lalu juga kisruh, apalagi ini masalah administrasi sebuah bank (''Hanya bank kecil,'' kata beberapa orang) yang digelontor dana besar.

Masalah perampokan. Tidak ada kemungkinan lain kecuali kita pasrahkan saja urusan Bank Century ini kepada polsek terdekat. Kita berikan sepenuhnya kepercayaan kita kepada aparat polsek. Paling-paling kita hanya perlu mewanti-wanti agar polsek terdekat jangan sampai salah tangkap dan salah hajar orang. Kalau sering-sering begitu, citra polsek terdekat tentu saja akan merosot.

Masalah intelijen. Ini wilayah yang gelap sekali. Kadang-kadang informasinya benar, kadang-kadang meleset, tetapi bagaimanapun dunia intelijen harus tetap gelap. Kalau terang benderang namanya kabar burung. Menurut aturan, konon hanya Pak Presiden yang bisa mendapatkan informasi intelijen. Tetapi Ruhut Sitompul rupa-rupanya bisa mendapatkan juga informasi intelijen. Berkaitan dengan simpang-siur skandal Century, ia bilang ada dua bekas menteri yang berkhianat kepada SBY. ''Ini info dari BIN,'' katanya.

Masalah hukum. Saya agak buntu kalau ini ternyata masalah hukum. Di satu saat, sering hukum kita tampak sangat berwibawa, misalnya ketika mengadili Nek Minah (pemetik tiga butir kakao) dan Nek Manisih (pengumpul sisa-sisa panen kapuk randu yang diancam hukuman 7 tahun penjara). Di saat lain, hukum sering tampak sebagai kegiatan persekongkolan.

Saya pribadi abstain untuk kasus kedua nenek ini, sebagaimana presiden juga pernah abstain beberapa waktu dalam kasus Bibit-Chandra sambil mencari saat yang tepat untuk pidato. Jika Anda marah karena para nenek diperlakukan seperti itu dan rasanya mau mengamuk, saya kira Anda harus mengarahkan amukan Anda kepada negara. Negara ini terus-menerus gagal memenuhi janjinya yang berbunyi, ''fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara''. Kegagalan inilah yang menyebabkan kedua nenek itu, keduanya fakir miskin, diadili sebagai pencuri dalam upaya mereka mempertahankan hidup.

Kembali ke kasus Century, pikiran saya bolak-balik tidak bisa menemukan kemungkinan terbaik tentang siapa yang bisa diserahi urusan sekiranya ini adalah masalah hukum. Kadang terpikir bahwa Anggodo atau Robert Tantular atau orang-orang semacam itu mungkin akan tepat menanganinya. Kadang terpikir mungkin Ruhut Sitompul (baca: Ruhut Sitompul) lebih tepat. Ruhut sering memberi tahu kita dalam pernyataan-pernyataannya bahwa dia ahli hukum. Namun, karena tetap buntu, saya pikir kita serahkan saja urusan ini kepada Pak Presiden yang sudah berjanji akan membabat mafia hukum. Saya kira itu janji yang baik dan bukan fitnah.

Masalah politik. Karena politik terlalu berbahaya jika diserahkan urusannya hanya kepada para politisi, dan Anda sendiri mungkin meragukan kemampuan para politisi kita untuk menyelesaikan masalah-masalah, maka semua orang boleh ikut serta. Setiap orang boleh menggalang dukungan untuk membela jagoannya masing-masing.

Paling-paling saya hanya akan menambahkan sedikit catatan di sini berkenaan dengan cara kita mengelola politik yang, menurut saya, sama persis dengan cara kita mengelola alam. Dan mungkin sama persis juga dengan cara kita mengelola apa saja. Kita mengelola alam begitu rupa sehingga bencana demi bencana, yang tampak berpindah-pindah tetapi sesungguhnya adalah perambatan di sepanjang jalur patahan, selalu menghasilkan banyak korban. (Kata ''menghasilkan'' ini sekali waktu pernah saya dengar diucapkan oleh presenter salah satu televisi, seolah-olah gempa bumi adalah kegiatan pabrik.)

Gempa politik kelihatannya seperti itu juga. Setiap kejadian tampak sebagai satuan-satuan yang terpisah, tetapi saya kira yang terjadi juga perambatan. Namun dalam urusan ini saya tidak berani memutuskan mana gempa pertamanya: Mungkin peristiwa jatuhnya Pak Harto, atau proklamasi, atau masuknya kompeni.

Anda menganggap itu kejauhan? Oke, mungkin gempa pertamanya dekat-dekat saja, tetapi saya tetap tidak bisa memastikan apakah itu penjarahan kolosal melalui BLBI, atau terungkapnya suap Rp 6 miliar oleh Bunda Ayin kepada jaksa Urip Tri Gunawan, atau gonjang-ganjing di seputar pemilihan deputi gubernur BI, atau terseretnya besan Pak Presiden dalam pengadilan korupsi oleh KPK, atau peristiwa alam yang sangat menakjubkan baru-baru ini: cecak menelan buaya. Saya ingin sekali, suatu saat nanti, membuat dongeng anak-anak tentang gejala ajaib ini.

Sekarang, Saudara-Saudara, kita sedang menikmati perambatan mutakhir. Taruh kata gempa pertamanya adalah Century, maka ia juga telah merambat di sepanjang jalur patahan. Dan susah memperkirakan akan berapa banyak jatuh korban.

Beberapa waktu kita disekap dalam situasi seolah-olah kasus Century adalah sebuah bom yang bisa merontokkan kekuasaan. Orang juga sempat yakin bahwa PPATK akan berani mengeluarkan data sehingga publik bisa tahu ke mana saja dana mengalir jauh; dari BI menuju Century, lalu ke orang-orang tertentu, lalu sampai ujung sekali. Mungkin sampai ke transaksi di Glodok, Mangga Dua, atau Pasar Klewer.

Tak terjadi gempa besar di situ, tetapi terus terjadi perambatan. Sempat muncul pembicaraan tentang pemakzulan (impeachment); juga ide penonaktifan, yang lalu didebat tidak ada dasar hukumnya. Sekarang belok ke pertarungan Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie; masalah pajak dihembuskan. Oya, tiba-tiba Benny K. Harman, anggota Komisi III DPR, secara serampangan mengingatkan bahwa rapat angket itu merupakan rapat konsultasi, bukan rapat pemeriksaan. Akan dibawa ke mana lagi?

Untuk kemiripan antara gempa bumi dan gempa politik ini, saya kira ada ucapan Einstein yang patut diingat. Ia bilang, cara berpikir yang menyebabkan kita dirundung masalah amat mustahil digunakan untuk menyelesaikan masalah yang lahir justru karena cara berpikir tersebut.

Jadi, jika kita menyepakati Einstein, untuk mengatasi gempa bumi maupun bencana politik yang terus merambat, rasa-rasanya yang harus dibereskan pertama kali adalah cara berpikir. Hanya mengubah cara berpikir, dan tidak harus operasi otak. Untuk kasus-kasus cara berpikir yang agak parah, mungkin bisa diatasi dengan hipnoterapi. Saya kira ini penting terutama bagi para pejabat, juga politisi, sebab dari merekalah muncul segala macam kebijakan dan manuver yang memengaruhi kehidupan orang banyak. (*)

*) A.S. Laksana, penulis, tinggal di aslaksana@yahoo.com

A.S. Laksana, Jawa Pos [ Minggu, 07 Februari 2010 ]


Berpikir Jernih dalam Situasi Remang-Remang

SAYA berangkat ke Surabaya Jumat pekan lalu dengan dengkul cedera dan pikiran risau. Jawa Pos meminta saya bicara hari Sabtu pagi dalam forum temu penulis opini dan, sejak menerima undangan, saya sudah beberapa hari gelisah memikirkan apa hal terbaik yang bisa saya sampaikan kepada para peserta forum. Kegelisahan saya bertambah lagi ketika memikirkan apa pesan yang nantinya bisa diingat oleh para undangan setelah acara selesai dan masing-masing dari kami pulang ke rumah.

Kerisauan semacam ini benar-benar membuat saya tidak bisa menikmati perjalanan, tetapi sekaligus membuat saya lupa bahwa dengkul saya sebenarnya sangat nyeri ketika itu. Cedera tersebut saya dapatkan sehari sebelum saya berangkat ke Surabaya dari Jakarta dan karena itu saya harus menopang diri dengan kruk. Akhirnya, dengan tetap risau, saya menyelesaikan acara hari Sabtu itu --yang terasa pendek karena berlangsung menyenangkan. Dan saya hanya bisa menyampaikan pesan bahwa menulis adalah latihan paling tepat untuk mengasah pikiran.

Di hari Minggu keesokan paginya Lan Fang, kawan baik saya dan penulis yang sangat produktif, mengirimkan pesan singkat. Bunyinya: ''Aku melihat fotomu dengan kruk di Jawa Pos hari ini.'' Saya menjawab: ''Apakah terlihat mengharukan dan penyakitan?'' Dia membalas: ''Tidak. Kau terlihat berwibawa dan karismatis.''

Saya harus berterima kasih kepada kawan saya itu. Dengkul saya rasanya akan cepat sembuh begitu membaca pesan singkatnya.

Tentang menulis sebagai latihan paling tepat untuk mengasah pikiran, saya kira ini hal yang tidak banyak diurus oleh kurikulum pendidikan kita. Saya menduga karena para pembuat kebijakan di bidang pendidikan masih belum melihat perlunya memberikan keterampilan menulis kepada para siswa sekolah. Padahal, Anda tahu, ketika Anda menulis maka pada saat itu Anda mengerahkan seluruh kerja pikiran: mengingat, berlogika, menganalisis, menerapkan pengetahuan yang telah Anda pelajari, menyusun alasan, dan sebagainya.

Ketika menulis Anda menuntut diri Anda menggunakan bahasa dengan baik. Dan, bukankah kita menyampaikan isi pikiran dengan bahasa, dengan kata-kata? Agaknya dari sanalah muncul pepatah yang menyatakan bahwa kata lebih tajam dari pedang. Dan itu merupakan pengakuan bahwa ketajaman pedang tak akan pernah bisa mengalahkan ketajaman pikiran. Maka, saya selalu senang mengingatkan: menulislah agar pikiran Anda (sesuatu yang lebih tajam dari pedang) bisa menjadi kian tajam.

Anda bisa mengasah ketajaman pikiran dengan menuliskan tema apa saja yang Anda sukai. Jika Anda menyukai tema-tema politik, Anda beruntung karena setiap hari tersedia bahan berlimpah ruah untuk Anda bedah. Misalnya, apa kira-kira keputusan Pansus Century? Benarkah keputusannya akan baik-baik saja setelah kasus ini merongrong pikiran dan menguras perhatian publik sekian lama? Kompromi apa yang akan terjadi antara Presiden SBY dan Pansus Century dan partai-partai pendukung koalisi? Apakah Aburizal Bakrie akan rela Sri Mulyani tetap menjadi menteri keuangan setelah perseteruan di antara mereka dibuka oleh media massa?

Jadi, apakah Anda menduga Sri Mulyani akan dikorbankan? Saya kira itu sangat memungkinkan mengingat Sri Mulyani adalah sosok yang paling aman secara politis untuk dijadikan korban. Ia bukan politisi partai mana pun, karena itu tak akan ada guncangan politik jika ia diturunkan. Bukankah tema ini cukup menarik sebagai latihan berpikir dan berspekulasi?

Jika Anda menyukai tema-tema korupsi, Anda juga tak akan pernah kehabisan materi latihan mengasah pikiran --contoh kasusnya bertebaran di negeri ini. Ketika banyak kasus korupsi belum ketahuan akan berakhir seperti apa, belakangan kita disuguhi lagi berita tentang bekas Menteri Sosial Bachtiar Chamzah yang dijadikan tersangka oleh KPK karena negara dirugikan Rp 27,8 miliar dalam pengadaan mesin jahit dan impor sapi fiktif. Modusnya mudah ditebak: penunjukan langsung dan penggelembungan nilai proyek.

Dalam kasus ini Bachtiar menyebut-nyebut nama Amrun Daulay, bekas Sekjen Bantuan dan Jaminan Sosial Depsos, sebagai orang yang mengusulkan proyek tersebut dan bekerja sama dengan rekanan yang ditunjuk langsung. Sekarang si Amrun menjadi wakil rakyat dari Fraksi Demokrat dan Anda boleh percaya boleh tidak apakah dia benar-benar mewakili rakyat. Dalam pemeriksaan itu, Bachtiar menyatakan bahwa tak ada keterlibatan Sigid Haryo Wibisono, mantan staf ahlinya, dalam urusan ini. ''Sigid hanya mengurus masalah konflik di Aceh,'' kata Bachtiar.

Lihatlah, urusan sapi dan mesin jahit pun bisa berkelok-kelok dan mungkin bisa menguak praktik-praktik politik yang tak terduga. Ada politisi Demokrat di sana. Ada Sigid Haryo Wibisono, salah seorang terdakwa dalam sidang pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen, yang baru kita ketahui bahwa ternyata dia adalah staf ahli menteri sosial. Dan apakah kira-kira urusan orang ini dalam konflik Aceh? Apakah dia memang ahli konflik, yang bekerja dengan caranya sendiri, dalam berbagai perseteruan? Dia ada dalam kasus Antasari vs Nasruddin; dia juga ada dalam pusaran konflik di tubuh PKB? Kenapa orang ini seperti ada di mana-mana?

Dan ada berapa banyak orang seperti Sigid di republik ini? Saya akan berterima kasih seandainya Biro Pusat Statistik bisa memberikan angkanya. Tetapi saya tahu itu pengandaian yang muskil, sebab BPS tentu saja tidak melakukan pendataan untuk mencari tahu berapa jumlah orang seperti Sigid di negara ini.

Jika Anda punya kepedulian terhadap nasib orang-orang jelata, materi untuk mengasah pikiran juga berlimpah ruah. Anda bisa melihatnya dari sudut pandang kegagalan negara dalam menjalankan amanah konstitusi untuk memelihara orang miskin dan anak telantar. Ini klise?

Kalau begitu coba Anda melihat bagaimana orang-orang melarat menyelamatkan perekonomian di saat para pengusaha kakap dan pejabat publik yang korup tak henti-henti merongsong keuangan dan perekonomian negara. Pemerintah, Anda tahu, senang membuat klaim tentang pertumbuhan ekonomi tanpa mau berterima kasih bahwa itu semua berkat orang-orang melarat yang bergerak di sektor informal, yang nyaris tanpa campur tangan pemerintah sama sekali.

Anda tahu, setiap orang harus melakukan apa saja untuk mempertahankan hidup. Pasar kaget ada di mana-mana dan pedagang kaki lima tumbuh subur. Mereka harus berkeliling menggelar dagangan mereka --apa saja yang bisa mereka dagangkan. Jadi, saya yakin bahwa negara ini tak akan hancur karena rakyatnya cukup punya daya tahan. Yang saya sesali: sekiranya pemerintahan berfungsi beres, tentu amat mudah bagi kita untuk mencapai kesejahteraan yang berlipat-lipat dibanding sekarang.

Selanjutnya, jika Anda berminat pada tema-tema bahasa, saya kira ada satu hal yang sangat menarik untuk dikaji, yakni bahasa para pejabat publik dan politisi kita. Mereka sungguh penyebar polusi tingkat tinggi dalam bahasa dan pikiran kita. Saya yakin, sebagaimana manuver politik mereka yang bersilang susup di bawah permukaan, bahasa para politisi dan pejabat publik kita pun mewakili keremang-remangan yang coba disembunyikan rapat-rapat.

Anda akan mendapatkan bahan yang tak habis-habisnya jika punya kesediaan untuk membedah bahasa mereka. Saya sangat yakin bahwa struktur permukaan bahasa mereka hanyalah puncak gunung es yang menyembunyikan banyak hal besar di bawah permukaan. Saran saya, galilah apa yang terpendam di bawah permukaan. (*)

*) A.S. Laksana , beralamat di aslaksana@yahoo.com