tag:blogger.com,1999:blog-77275472715015706792024-03-08T12:22:13.855-08:00Teks - teks pendukungUnknownnoreply@blogger.comBlogger46125tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-66488436185917106232010-10-09T01:49:00.001-07:002010-10-09T01:49:53.601-07:00Contoh naskah pidato 17 Agustus<p> </p> <p>Bapak-bapak dan ibu-ibu <br /><strong>Assalamualaikum Wr Wb</strong> <br />Pada hari ini kita bersyukur kepada Tuhan YME, bahwa kita dapat berkumpul di NIT untuk memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-61. Peringatan ini menjadi semakin unik, karena dua hal :</p> <p>1. kita merayakan di negeri orang <br />2. peringatan HUT RI dalam bentuk upacara, terakhir dilakukan tahun 1997, sebelum Krismon, saat ketua PPI Jepang Tengah dipegang oleh Sdr. Dodi Novi Darwis. <br />Di hari yang sangat unik ini, saya ingin berbagi sedikit renungan kepada bapak dan ibu, mengenai nilai baik yang dapat kita ambil dari masyarakat Jepang. Nilai itu adalah “bagaimana mewujudkan suatu target”. Kita semua tentunya harus bekerja, karena dengan begitu kita dapat hidup. Tapi pandangan tiap orang terhadap pekerjaannya berlainan. Ada yang menganggap pekerjaan sebagai hukuman, sehingga dikatakan I hate Monday, atau ada juga yang bilang monday is mondai (jp:masalah). Tapi ada juga yang menganggap pekerjaan sebagai hobby, sehingga seorang professor Jepang menganjurkan agar kita saat masuk dalam kehidupan lab. memakai paket seven eleven. Kerja mulai pukul 7 pagi, selesai pk.11 malam.</p> <p>Saya hobby melihat film, dan kali ini akan mengajak bapak dan ibu membicarakan satu film, yaitu satu episode project X. Dalam satu kesempatan ada satu filosofi seorang peneliti Jepang yang berkesan di hati saya. Apa arti pekerjaan atau penelitian bagi anda ? Beliau mengibaratkan idé atau kreativitas itu sebagai anak. Saat kita dikarunia anak, kita sangat bersyukur. Anak itu kita rawat kasih sayang. Kalau baik kita puji. Kalau nakal kita ingatkan. Tiap hari kita mencucurkan keringat, bekerja agar bisa menghidupi anak dan istri kita. Selang berpuluh tahun, barulah kita melihat hasil jerih payah kita tersebut. Tentunya kita akan sangat bahagia jika anak kita berhasil di sekolah, berakhlak baik. Sama halnya dengan ide atau kreativitas. Di filem itu filosofi yang beliau sampaikan adalah “Cintailah ide itu seperti engkau mencintai anakmu”. Saat ide itu timbul, kita perlu rajin mendokumentasikan. Kita besarkan anak yang bernama “ide” ini setiap hari, kita analisa dari berbagai sisi. Diuji dari sana dan sini. Kalau eksperimen berhasil kita syukuri, kalau gagal kita cari penyebabnya. Berjam-jam kita habiskan untuk mengembangkan ide itu agar dapat berhasil. Kecintaan pada ide ini kelak akan berbuah. Ide atau kreatifitas yang matanglah yang kelak akan berbuah menjadi penemuan yang besar.</p> <p>Bapak-dan ibu, <br />Bangsa kita tidaklah kalah dengan bangsa Jepang maupun bangsa lain. Banyak rekan-rekan kita yang berpresetasi di forum internasional. Jadi secara potensi kita tidak kalah. Hanya saja ada satu kekurangan yang kadang saya rasakan. Kita kurang tekun dalam mencapai satu sasaran. Di Indonesia seringkali kegiatan dilakukan secara mendadak dan kurang terencana dengan baik. Sehingga hasil yang dicapai pun tidak optimal, dan hanya mengejar formalitas. Barangkali hal ini terjadi karena kita kurang mencintai kegiatan atau pekerjaan itu. Tentunya hal ini dapat dikurangi, kalau kita dapat menumbuhkan kecintaan pada pekerjaan. Sebagaimana kata filosof : Yang penting bukanlah mengerjakan apa yang engkau cintai. Tetapi mencintai apa yang engkau kerjakan.</p> <p>Bapak dan ibu yang terhormat, <br />Sebagai penutup saya ingin mengutip pesan yang pernah saya dengar dari professor saya. Kata beliau, kita memiliki dua buah jam. Yang satu jam harian, yaitu sebagaimana yang kita pakai sehari-hari, dan yang sebuah lagi adalah jam kehidupan. Kalau ingin tahu, jam kehidupan itu, maka bagilah usia anda dengan 3. Umumya usia kita berada pada kisaran 24 sampai 36. Kalau dibagi 3, berarti jam kehidupan kita semua di sini, antara 8 sampai dengan 12. Jam 8 sampai 12 adalah masa-masa di mana kita melakukan aktifitas kehidupan fase pertama. Pada jam tersebut bapak dan ibu tentunya akan sangat aktif di kantor.</p> <p>Sama juga dengan kehidupan kita. Usia 24 sampai 36 adalah usia dimana otak kita masih encer, dan mudah menerima ilmu pengetahuan baru. Ini adalah usia dimana kita mencari bentuk dan merintis karir kehidupan kita. Semoga di usia yang amat berharga ini, kita dapat berhasil merintis format karir kita di masa yang akan datang. <br />Wassalamualaikum Wr Wb</p> <p> </p> <p>Sumber: www.studentmagz.com</p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-69280016962144461252010-10-09T01:48:00.003-07:002010-10-09T01:48:54.513-07:00Contoh naskah pidato (2)<p><strong>Negara Versus Korupsi: Mencari Indonesia Dalam Agama dan Kebudayaan <br /></strong></p> <p>Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh. <br />Suatu kehormatan yang besar bagi kami memperoleh kesempatan menyampaikan Pidato Kebudayaan “Negara Versus Korupsi: Mencari Indonesia dalam Agama dan Kebudayaan” di Taman Ismail Marzuki. Terlebih lagi, kesempatan ini diberikan di dalam sepertiga akhir bulan mulia Ramadhan 1425 H. </p> <p>Saat dimana kita kian mendekatkan diri kepada-Nya sembari berkaca diri terhadap pencapaian moral spiritual individual dan kesalehan sosial kita. Untuk kehormatan yang membahagiakan ini kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dewan Kesenian Jakarta, yang telah memelihara suatu tradisi positif untuk menciptakan kedekatan hubungan rakyat dengan rakyat dan rakyat dengan pemimpin. </p> <p> <br />Usaha ini perlu dipelihara dan didorong terus, mengingat makin berjaraknya hubungan keduanya. Dus, karena berjaraknya hubungan ini, isu-isu dan agenda bangsa menjadi elitis kian menjauh dari kepentingan kalangan akar rumput. Tradisi tatap muka ini, sangat mungkin menghadirkan kehangatan bersosialisasi, sekaligus memberi kesempatan para pemimpin untuk belajar langsung dari kebersahajaan rakyatnya.</p> <p> <br />Para hadirin dan hadirat yang terhormat, para budayawan, para seniman, para aktivis, para cendekiawan, para mahasiswa dan kawan-kawan tercinta, <br />Dalam kesempatan yang terhormat dan penuh kebahagian ini, sungguh tepat bila kita merenungkan sejenak perjalanan reformasi yang mengamanatkan demokratisasi , pemberantasan korupsi, perbaikan ekonomi dan jaminan keamanan. Perihal proses demokratisi, kita bersyukur kepada Allah SWT, karena rakyat telah berhasil melaksanakan pemilu legislatif, DPD dan pemilihan presiden langsung ; suatu tradisi berdemokrasi yang begitu penting dan akan menentukan nasib bangsa dan negara kita.</p> <p> <br />Harus diakui secara jujur, perjalanan nasib bangsa dan negara kita telah mengalami berbagai musim pancaroba dan gelombang pasang surut yang melahirkan harapan sekaligus kecemasan. Kecemasan yang mendalam selama sewindu krisis multidimensi ini bahkan berimbas pada krisis identitas bangsa. Taufiq Ismail (2003) secara sinis memotret kondisi ini dalam, “Tak Tahu Aku Apa Jati Diriku Kini”: <br />Kita hampir paripurna jadi bangsa porak poranda, <br />terbungkuk dibebani hutang dan merayap melata sengsara didunia <br />Untuk bisa bertahan berakal waras saja di Indonesia kini, sudah untung <br />Pergelanggan tangan dan kaki Indonesia diborgol di ruang tamu Kantor <br />Pegadaian Jagat Raya, dan dipunggung kita kaos oblong dicap sablon <br />besar-besar : Tahanan IMF dan Bank Dunia. <br />Kita sudah jadi bangsa kuli dan babu di dunia, <br />diusir pula di tangga pelabuhan, <br />terapung-apung di lautan, <br />Kita sudah tidak merdeka lagi. <br />Indonesia sudah masuk ke dalam masa kolonialisme baru, <br />dengan penjajah yang banyak negara sekaligus, <br />Nilai-nilai luhur telah luluh lantak, <br />berkeping-keping dan hancur, <br />berserakan di kubangan Lumpur,…” <br />Senada dengan gambaran di atas, dalam bahasa lain yang futuristik, pujangga Ronggowarsito (1802-1873) menulis “Serat Kalatidha” memprediksi munculnya “jaman edan”, suatu masa krisis sebuah bangsa. Secara bijak, pujangga ini menasihati kita agar tetap “eling” dan “waspada”. <br />Amenangi jaman edan ,ewuh aya ing pambudi <br />melu edan ora tahan <br />yen tan melu anglakoni,boya kaduman melik <br />kaliren wekasanipun <br />Ndilallah karsa Allah <br />Sakbeja-bejane kang lali <br />luwih beja kang eling lawan waspada..</p> <p> <br />Para hadirin dan hadirat yang berbahagia, <br />Masalah korupsi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tubuh bangsa ini. Ia telah menjalar sebagai budaya sekaligus penyakit akut bagai virus ganas yang aktif menggerogoti ke sekujur tubuh negara. Ia bukan lagi bisul yang bisa ditutup-tutupi. Sungguh ironis, sebagai bangsa yang berbudaya luhur dan beragama –bahkan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai pilar pertama dasar negara- juara pertama korupsi justru kita sandang. Berbagai indikator “olimpiade korupsi” diselenggarakan oleh lembaga asing semacam Transparancy International (TI) dan Political Economic Risk Consultancy (PERC), menempatkan RI sebagai ‘pemenang’. <br />Dampak praktik korupsi begitu jelas telah memporak-porandakan bangsa kita. Studi Rose Ackerman (1999) menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki tingkat kepercayaan yang rendah terhadap institusi-institusi publik. Ini berakibat lanjut pada pudarnya komitmen warga pada proyek kolektif dan perilaku warga, memacu tingkat kriminalitas dan disorganisasi sosial. Secara lebih khusus, laporan UNSFIR (United Nations Support for Indonesia Recovery, 2000) menyatakan bahwa keterlambatan Indonesia untuk melakukan pemulihan (recovery) pasca krisis yang menimpa Asia sejak 1997 juga akibat meluasnya korupsi di sektor publik. Sedangkan, Della Porta (2000) menengarai bahwa korupsi merupakan sebab dari buruknya kinerja pemerintahan. “Korupsi membawa buruk kinerja pemerintahan, dan buruknya kinerja pemerintahan merangsang warga negara untuk mengembangkan praktik-praktik penyuapan untuk mempermudah urusan atau mempengaruhi proses pengambilan keputusan, yang pada gilirannya kian menyuburkan praktik korupsi. Pada akhirnya, tingginya tingkat korupsi menimbulkan rendahnya tingkat kepercayaaan terhadap demokrasi.” Dengan kata lain, meminjam istilah Yudi Latif (2002), korupsi sangat erat dengan delegitimasi politik. Walhasil, pemerintahan yang koruptif akan menuai delegitimasi politik yang tidak menguntungkan sama sekali dengan demokrasi.</p> <p> <br />Para hadirin dan hadirat yang berbahagia, <br />Relasi agama dan pemberantasan korupsi dapat disederhanakan sebagai, “prestasi negara yang bangsanya religius akan lebih baik dalam pemberantasan korupsi”. Apabila yang terjadi sebaliknya, kita tidak serta merta menunjuk kesalahan terletak pada an sich agama, namun pada penghayatan keberagamaan masyarakat. Sangat gamblang, semua agama melarang perbuatan korupsi. Tetapi, mengapa orang beragama masih terjerumus pada tindakan yang dimusuhi agama? Salah satu jawabannya adalah tercerabutnya penghayatan terhadap visi agama yang luhur dalam praksis sosial sehari-hari. Sebagian kita masih lebih mementingkan kesalehan individual, dan kehilangan elan kesalehan sosial. Disinilah dibutuhkan peran keteladanan para pemimpin nasional untuk menegakkan kualitas spiritual bangsa, memupuk kualitas moral dan meningkatkan harkat martabat bagsa , menjadi krusial. </p> <p> <br />Kita menaruh harapan besar pada upaya pemberantasan korupsi sebagaimana telah dijanjikan oleh presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono yang kini bekerja keras dengan kabinet Indonesia Bersatu. Selain keberadaan berbagai perundangan untuk penyelenggaraan tata pemerintahan yang bebas KKN, rencana program 100 hari dengan terapi kejut seperti me”Nusakambang”kan para koruptor patut kita apresiasi dan tunggu pengejawantahannya. Larangan yang diserukan Komite Pemberantasan Korupsi supaya pejabat tidak menerima parsel juga merupakan angin segar pertanda mulai muncul gerakan mengurangi masuknya pintu-pintu budaya KKN. <br />Jauh sebelum hingar bingar Pemilu, ormas tertua di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah bersama-sama telah mengikat janji untuk bahu membahu memerangi budaya korupsi. Kita juga bersyukur dengan maraknya jaringan lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non pemerintah sejak beberapa tahun silam membentuk koalisi anti korupsi di setiap kabupaten dan provinsi melalui Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK). <br />Meskipun perlu terus mengkritisi efektivitas gerakan populis tersebut, kita berharap ormas-ormas lain untuk terlibat aktif dan kreatif menyambut semangat perang memberantas korupsi. Secara moral, lembaga dan ormas keagamaan memiliki otoritas menyerukan kepada institusi maupun individu anggotanya untuk menolak keras setiap sumbangan haram yang terindikasikan korupsi. Seruan atau slogan-slogan pemberantasan budaya korupsi seyogianya selalu dikelola secara cerdas dan berkesinambungan, mengimbangi kampanye konsumtivisme, hedonisme dan materialisme yang setiap hari gencar mengepung pemirsa lewat berbagai media massa. <br />Alangkah indahnya membayangkan sinergi agama dan negara dalam pemberantasan korupsi; penegakkan hukum yang adil tanpa pandang bulu dilakukan pemerintah , sementara penghayatan keberagamaan melalui keteladanan para pemimpin dijalankan secara nyata, bukan sekedar wacana belaka. <br />Dengan begitu agama benar-benar mampu menjadi kekuatan solutif bagi problema bangsa dan selalu mengedepankan azas manfaat (utility). Agama seyogianya menjadi ujung tombak yang merekatkan seluruh umat untuk saling mengokohkan eksistensi bangsa dalam memberantas korupsi. Ini sekaligus menepis anggapan negatif bahwa agama menjadi sumber konflik dan teror. Kita patut mendorong fungsi profetik agama yang mengedepankan supremasi hukum, proses demokratiasai dan memerangi korupsi. Fungsi ini hendaknya ditumbuh kembangkan secara partisipatoris dan dialogis mengingat pluralisme dalam kebangsaan kita. Jadi, tidak dibenarkan oleh agama atau hukum positif manapun, upaya pengurasakan secara sepihak terhadap tempat-tempat atau simbol kemaksiatan tanpa mengindahkan dampak yang muncul sebagai akibatnya. <br />Terdapat ungkapan ‘the fish rots from the head’, ikan membusuk dari kepala. Dalam kalimat lain dinyatakan, ‘Bayangan selalu mengikuti sang badan’. Intinya adalah budaya paternalistik kita masih kuat. Rakyat cenderung melihat contoh dari apa yang dilakukan pemimpinnya. Karenanya, budaya paternalistik ini seyogianya mampu kita kelola untuk merekonstruksi perubahan mental pada elitnya. Jika para elit pimpinan bangsa menghendaki perubahan, perubahan itu pun harus dimulai dari pucuk pimpinan. Mustahil mengharapkan muncul perubahan budaya melawan korupsi, apabila elit pemimpin justru merasa nyaman dengan praktik tersebut. Mustahil mengharap negara berani membersihkan koruptor jika pemimpin kita membiarkan inefisiensi birokrasi tetap terjadi. <br />Kebersahajaan, kebersihan dan kepedulian merupakan contoh-contoh ajaran mulia setiap agama untuk diperbincangkan sekedar sebuah idiologi. Semua ini bisa dipraktikkan sehari-hari, dan alangkah indahnya jika dimulai dari para pemimpin kita yang memiliki kedudukan sangat penting di dalam masyarakat, dan karenanya mempunyai pengaruh yang luas dalam masyarakat. <br />Pada dasarnya, semua agama mengajarkan idealisme yang baik bagi penganutnya. Idealisme seperti bersahaja, bersih dan peduli jika dikerjakan dari yang kecil-kecil oleh pemimpin-pemimpin besar kita, maka merupakan bagian dari pengobatan penyakit sosial seperti korupsi. <br />Pemimpin yang peduli tidak akan membiarkan kemungkaran terjadi di depan mata mereka. Mereka tidak saja menjaga fisik dan lingkungan sosial yang bersih, namun lebih dari itu kebersihan moral dan nurani akan selalu dipelihara. Mereka merasa kepemimpinan adalah amanah yang harus dijunjung tinggi, namun tetap dengan sikap bersahaja terhadap rakyat yang dipimpinnya. Mereka yang bersahaja akan jauh dari sikap tamak yang selalu menginginkan kelebihan materialisme dan hedonisme, -sumber godaan melakukan korupsi-. <br />Kebesaran seorang tokoh pemimpin yang bersahaja, bersih dan peduli tidak datang secara sekejap dan tiba-tiba. Ia terlahir dari proses transformasi nilai yang lama ditempa sejak dini dalam lingkungan keluarga. Transformasi nilai tidak datang mendadak dalam kuliah-kuliah di perguruan tinggi atau lembaga-lembaga pendidikan formal. Kepuasan kita selama ini hanya pada verbalisme (Nurcholish Madjid, 2004) Yaitu perasaan telah berbuat sesuatu karena karena telah mengucapkannya sehari-hari. Seolah-olah kalau kita bicara kitab suci, sabda Tuhan, sabda Allah, dan suri tauldan para Rasul, para nabi, para aulia itu semuanya sudah selesai (Mohamad Sobary, 2004). Kebersahajaan, kebersihan dan kepedulian tidak akan terwujud hanya karena dikatakan dan dibicarakan setiap hari –betapapun kita sering dan rajinnya melakukan –melainkan harus dengan tindakan keteladanan yang berani, teguh dan istiqamah. “Mengapa kamu semua mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakannya?! Sungguh besar dosanya di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakannya” <br />Kalau kita tengok sejarah, transformasi nilai yang dialami tokoh-tokoh pemimpin berawal dari didikan sejak kecil pada keluarga mereka. Di rumah tangga, patut diadakan dialog-dialog tata nilai atau ajaran yang meskipun normatif, tidak melulu diajarkan secara normatif. Diperlukan pendekatan secara dialektis dalam keluarga sehingga terlatih jika ada bandingan-bandingan. Ketika orang bicara bersih dan bersahaja, maka bersih dan bersahaja tidak bisa dijejalkan kepada anak sebagai sesuatu yang jadi. Ketika masih kanak-kanak kita tentu hapal bahwa kebersihan sebagian dari iman, namun bagaimana kebersihan sebagian dari iman itu supaya tidak tinggal kata-kata. </p> <p> <br />Secara singkat dapat disimpulkan, kita menginginkan pemimpin bersahaja, bersih dan perduli bukan karena kebetulan bersahaja, bersih dan perduli. Namun karena bersahaja yang betul, tidak karena kebetulan. Bersih dan perduli pun yang betul, bukan karena kebetulan. “Tugas kebudayaan bangsa kita mengubah, mentransformasi segala hal apakah itu wisdom, apakah itu nilai-nilai dan semua perangkat ajaran dari tataran normatif menjadi tataran yang menyejarah, membuat orang-orang jujur itu jujur menyejarah.” (M. Sobary, 2004) .Barangkali inilah saatnya tatkala elit pemimpin kita justru perlu belajar dari kebersahajaan, kebersihan dan kepedulian dari rakyatnya. <br />Keteladanan yang berani, teguh dan istiqamah termasuk nilai budaya yang kita ingin transformasikan sehingga menjadi gerakan nyata baik di tingkat elit pemimpin atau rakyat. Keteladan yang berani dapat muncul oleh karena kesadaran ketuhanan yang merata. Menurut Moh. Iqbal: <br />“The sign of a kafir is that he is lost in horizon, while the sign of a mukmin is that the horizon lost in him”</p> <p> <br />Para hadirin dan hadirat yang berbahagia, <br />Sesuai dengan pasal 32 UUD 1945 yang telah diamendemen, salah satu tugas kebudayaan kita juga adalah mendorong pluralisme budaya. Negara memajukan kebudayaan nasional dengan tetap menjamin kemerdekaan masyarakat dalam melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai kebudayaanya. Selanjutnya, negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Kemajemukan budaya ini harus kita terus dorong tanpa perlu terjebak pada etnosentrime sempit sehingga warisan adi luhung nenek moyang kita tetap eksis di tengah-tengah pertempuran global elemen budaya asing. </p> <p> <br />Salah satu warisan adi luhung yang cukup relevan kita pelihara adalah wasiat Ronggowarsito. Di tengah zaman “edan”, ketika budaya korupsi sudah mewabah demikian dahsyat, nasihat untuk“eling” dan “waspodo” dapat dikontekstualisasi dengan apa yang menjadi nilai-nilai kebangsaan di dalam UUD 1945. </p> <p> <br />Kita diharapkan ‘eling’ bahwa bangsa ini memiliki potensi untuk bangkit dan bersaing dengan budaya bangsa lain (global). Kita menyadari , ‘eling’ sepenuhnya bahwa dengan kesederhanaan ketika masa perjuangan mampu menghantarkan bangsa ini merdeka dari penjajah. <br />“Waspodo” dapat dimaknai agar kita menghadirkan kesadaran penuh tentang jati diri bangsa yang tidak ingin tereduksi justru karena budaya korupsi. Secara sederhana, budaya ‘waspodo’ telah ditunjukkan oleh rakyat kita dalam Pemilu 2004 silam. Budaya ‘money politics’ sudah berkurang tidak seperti dikhawatirkan banyak pihak. </p> <p> <br />Wallahua’lam bishowaab, <br />Wabillahitaufik wal hidaayah, <br />Wassalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.</p> <p>Sumber: www.studentmagz.com</p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-35303058984090609022010-10-09T01:48:00.001-07:002010-10-09T01:48:02.685-07:00Contoh pidato perpisahan SMA<p><strong>Naskah Pidato perpisahan SMAN Cilegon</strong> <br /></p> <p>Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh <br />Kepada Yang Terhormat Bapak dan Ibu Guru SMA N 1 Cilegon. <br />Dan teman teman kelas 12 angkatan 2009 khususnya teman teman 12 ipa 3 yang teramat saya cintai.</p> <p>Pertama tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa karena pada hari yang cerah ini kita semua dapat berkumpul untuk merayakan “Kelulusan dan Perpisahan Murid SMA N 1 Cilegon Angkatan 2008-2009″.</p> <p>Kedua, terima kasih kepada panitia yang telah mengizinkan saya untuk berdiri di sini menyampaikan salam perpisahan ini di depan para hadirin sekalian. <br />Ketiga.. selamat bagi kita semua! Kita berhasil lulus akhirnya.. Alhamdulillah Ya Allah.. Hari hari penuh ujian yang sangat menegangkan kini berakhir sudah.. Kita lulus! Kita bukan anak SMA lagi! Kita akan meninggalkan sekolah ini.. dan berpisah..</p> <p>Perpisahan .. Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan . Kebanyakan dari kita pasti baru bertemu dan berteman akrab saat bersekolah di sini. Atau mungkin juga ada yang sudah berteman sejak SMP, sejak SD atau bahkan sejak masih balita. Alangkah senangnya apabila pertemanan yang telah kita jalin selama tiga tahun ini dapat bertahan selamanya. Seakan tak tergoyahkan oleh apapun.</p> <p>Namun tak dapat kita ingkari bahwa seiring sengan berjalannya kehidupan kita, seiring dengan datangnya hal hal baru seperti kuliah, ngekos, kerja, menikah, dan juga seiring dengan datangnya orang orang baru, teman baru, cowok baru, cewek baru, perpisahan memang hal yang lumrah terjadi.</p> <p> <br />Mungkin di antara kita ada yang merasa bergairah mengalami perpisahan karena yang ia tunggu selama ini adalah hal-hal baru yang terlihat lebih menyenangkan dibanding hal-hal di sini yang sangat membosankan. Tapi mungkin di sisi yang berbeda, ada yang merasa sangat sedih karena telah mengalami banyak hal menyenangkan di sini dan betapa banyaknya kenangan yang telah tercipta.</p> <p>Kenangan.. Teman teman yang saya cintai, sebelum kita terlambat menyadari bahwa waktu tak dapat diputar kembali dan sebelum kita menyesal karena telah menyia-nyiakan masa SMA kita tanpa mengalami satu pun hal berharga. Maka buatlah kenangan sebanyak banyaknya! Lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan. Katakanlah apa yang ingin kamu katakan. Katakanlah kepada guru yang terlalu kaku dalam mengajar untuk lebih santai. Katakanlah kepada cewe-cewe berisik yang ngerasa sok cantik dan populer kalau otak tuh lebih penting dibanding penampilan! Katakanlah kepada cowo cupu di sekolah untuk lebih percaya diri. Katakanlah kepada orang yang kamu cintai bahwa kamu memang mencintainya!! It’s NOW or NEVER, friends! Come On! As time goes by, memory remains. Seiring berjalannya waktu, hanya kenanganlah yang tersisa.</p> <p>Terakhir.. saya kutip dari film Cinta Pertama yang dimainkan oleh Bunga Citra Lestari dan Benjamin Joshua bahwa memang pertemuan tidak ada yang abadi. Tapi saya percaya, seperti pertemuan, perpisahan juga tidak ada yang abadi! Jangan lupakan setiap hal berharga yang telah kita alami selama bersekolah tiga tahun di sini. Simpanlah kenangan itu dalam hati kita semuaaa.. <br /></p> <p>Selamat berpisah! Selamat karena telah menjadi bukan-anak-SMA lagi. Jagalah diri kalian yang berkuliah jauh dari orang tua. <br />Sekian pidato yang saya sampaikan. Mohon maaf apabila ada salah kata.</p> <p>Sumber: www.studentmagz.com</p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-7102798133430703502010-10-09T01:36:00.001-07:002010-10-09T01:36:22.057-07:00Contoh naskah pidato (2)<p><strong>Negara Versus Korupsi: Mencari Indonesia Dalam Agama dan Kebudayaan <br /></strong></p> <p>Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh. <br />Suatu kehormatan yang besar bagi kami memperoleh kesempatan menyampaikan Pidato Kebudayaan “Negara Versus Korupsi: Mencari Indonesia dalam Agama dan Kebudayaan” di Taman Ismail Marzuki. Terlebih lagi, kesempatan ini diberikan di dalam sepertiga akhir bulan mulia Ramadhan 1425 H. </p> <p>Saat dimana kita kian mendekatkan diri kepada-Nya sembari berkaca diri terhadap pencapaian moral spiritual individual dan kesalehan sosial kita. Untuk kehormatan yang membahagiakan ini kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dewan Kesenian Jakarta, yang telah memelihara suatu tradisi positif untuk menciptakan kedekatan hubungan rakyat dengan rakyat dan rakyat dengan pemimpin. </p> <p> <br />Usaha ini perlu dipelihara dan didorong terus, mengingat makin berjaraknya hubungan keduanya. Dus, karena berjaraknya hubungan ini, isu-isu dan agenda bangsa menjadi elitis kian menjauh dari kepentingan kalangan akar rumput. Tradisi tatap muka ini, sangat mungkin menghadirkan kehangatan bersosialisasi, sekaligus memberi kesempatan para pemimpin untuk belajar langsung dari kebersahajaan rakyatnya.</p> <p> <br />Para hadirin dan hadirat yang terhormat, para budayawan, para seniman, para aktivis, para cendekiawan, para mahasiswa dan kawan-kawan tercinta, <br />Dalam kesempatan yang terhormat dan penuh kebahagian ini, sungguh tepat bila kita merenungkan sejenak perjalanan reformasi yang mengamanatkan demokratisasi , pemberantasan korupsi, perbaikan ekonomi dan jaminan keamanan. Perihal proses demokratisi, kita bersyukur kepada Allah SWT, karena rakyat telah berhasil melaksanakan pemilu legislatif, DPD dan pemilihan presiden langsung ; suatu tradisi berdemokrasi yang begitu penting dan akan menentukan nasib bangsa dan negara kita.</p> <p> <br />Harus diakui secara jujur, perjalanan nasib bangsa dan negara kita telah mengalami berbagai musim pancaroba dan gelombang pasang surut yang melahirkan harapan sekaligus kecemasan. Kecemasan yang mendalam selama sewindu krisis multidimensi ini bahkan berimbas pada krisis identitas bangsa. Taufiq Ismail (2003) secara sinis memotret kondisi ini dalam, “Tak Tahu Aku Apa Jati Diriku Kini”: <br />Kita hampir paripurna jadi bangsa porak poranda, <br />terbungkuk dibebani hutang dan merayap melata sengsara didunia <br />Untuk bisa bertahan berakal waras saja di Indonesia kini, sudah untung <br />Pergelanggan tangan dan kaki Indonesia diborgol di ruang tamu Kantor <br />Pegadaian Jagat Raya, dan dipunggung kita kaos oblong dicap sablon <br />besar-besar : Tahanan IMF dan Bank Dunia. <br />Kita sudah jadi bangsa kuli dan babu di dunia, <br />diusir pula di tangga pelabuhan, <br />terapung-apung di lautan, <br />Kita sudah tidak merdeka lagi. <br />Indonesia sudah masuk ke dalam masa kolonialisme baru, <br />dengan penjajah yang banyak negara sekaligus, <br />Nilai-nilai luhur telah luluh lantak, <br />berkeping-keping dan hancur, <br />berserakan di kubangan Lumpur,…” <br />Senada dengan gambaran di atas, dalam bahasa lain yang futuristik, pujangga Ronggowarsito (1802-1873) menulis “Serat Kalatidha” memprediksi munculnya “jaman edan”, suatu masa krisis sebuah bangsa. Secara bijak, pujangga ini menasihati kita agar tetap “eling” dan “waspada”. <br />Amenangi jaman edan ,ewuh aya ing pambudi <br />melu edan ora tahan <br />yen tan melu anglakoni,boya kaduman melik <br />kaliren wekasanipun <br />Ndilallah karsa Allah <br />Sakbeja-bejane kang lali <br />luwih beja kang eling lawan waspada..</p> <p> <br />Para hadirin dan hadirat yang berbahagia, <br />Masalah korupsi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tubuh bangsa ini. Ia telah menjalar sebagai budaya sekaligus penyakit akut bagai virus ganas yang aktif menggerogoti ke sekujur tubuh negara. Ia bukan lagi bisul yang bisa ditutup-tutupi. Sungguh ironis, sebagai bangsa yang berbudaya luhur dan beragama –bahkan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai pilar pertama dasar negara- juara pertama korupsi justru kita sandang. Berbagai indikator “olimpiade korupsi” diselenggarakan oleh lembaga asing semacam Transparancy International (TI) dan Political Economic Risk Consultancy (PERC), menempatkan RI sebagai ‘pemenang’. <br />Dampak praktik korupsi begitu jelas telah memporak-porandakan bangsa kita. Studi Rose Ackerman (1999) menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki tingkat kepercayaan yang rendah terhadap institusi-institusi publik. Ini berakibat lanjut pada pudarnya komitmen warga pada proyek kolektif dan perilaku warga, memacu tingkat kriminalitas dan disorganisasi sosial. Secara lebih khusus, laporan UNSFIR (United Nations Support for Indonesia Recovery, 2000) menyatakan bahwa keterlambatan Indonesia untuk melakukan pemulihan (recovery) pasca krisis yang menimpa Asia sejak 1997 juga akibat meluasnya korupsi di sektor publik. Sedangkan, Della Porta (2000) menengarai bahwa korupsi merupakan sebab dari buruknya kinerja pemerintahan. “Korupsi membawa buruk kinerja pemerintahan, dan buruknya kinerja pemerintahan merangsang warga negara untuk mengembangkan praktik-praktik penyuapan untuk mempermudah urusan atau mempengaruhi proses pengambilan keputusan, yang pada gilirannya kian menyuburkan praktik korupsi. Pada akhirnya, tingginya tingkat korupsi menimbulkan rendahnya tingkat kepercayaaan terhadap demokrasi.” Dengan kata lain, meminjam istilah Yudi Latif (2002), korupsi sangat erat dengan delegitimasi politik. Walhasil, pemerintahan yang koruptif akan menuai delegitimasi politik yang tidak menguntungkan sama sekali dengan demokrasi.</p> <p> <br />Para hadirin dan hadirat yang berbahagia, <br />Relasi agama dan pemberantasan korupsi dapat disederhanakan sebagai, “prestasi negara yang bangsanya religius akan lebih baik dalam pemberantasan korupsi”. Apabila yang terjadi sebaliknya, kita tidak serta merta menunjuk kesalahan terletak pada an sich agama, namun pada penghayatan keberagamaan masyarakat. Sangat gamblang, semua agama melarang perbuatan korupsi. Tetapi, mengapa orang beragama masih terjerumus pada tindakan yang dimusuhi agama? Salah satu jawabannya adalah tercerabutnya penghayatan terhadap visi agama yang luhur dalam praksis sosial sehari-hari. Sebagian kita masih lebih mementingkan kesalehan individual, dan kehilangan elan kesalehan sosial. Disinilah dibutuhkan peran keteladanan para pemimpin nasional untuk menegakkan kualitas spiritual bangsa, memupuk kualitas moral dan meningkatkan harkat martabat bagsa , menjadi krusial. </p> <p> <br />Kita menaruh harapan besar pada upaya pemberantasan korupsi sebagaimana telah dijanjikan oleh presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono yang kini bekerja keras dengan kabinet Indonesia Bersatu. Selain keberadaan berbagai perundangan untuk penyelenggaraan tata pemerintahan yang bebas KKN, rencana program 100 hari dengan terapi kejut seperti me”Nusakambang”kan para koruptor patut kita apresiasi dan tunggu pengejawantahannya. Larangan yang diserukan Komite Pemberantasan Korupsi supaya pejabat tidak menerima parsel juga merupakan angin segar pertanda mulai muncul gerakan mengurangi masuknya pintu-pintu budaya KKN. <br />Jauh sebelum hingar bingar Pemilu, ormas tertua di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah bersama-sama telah mengikat janji untuk bahu membahu memerangi budaya korupsi. Kita juga bersyukur dengan maraknya jaringan lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non pemerintah sejak beberapa tahun silam membentuk koalisi anti korupsi di setiap kabupaten dan provinsi melalui Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK). <br />Meskipun perlu terus mengkritisi efektivitas gerakan populis tersebut, kita berharap ormas-ormas lain untuk terlibat aktif dan kreatif menyambut semangat perang memberantas korupsi. Secara moral, lembaga dan ormas keagamaan memiliki otoritas menyerukan kepada institusi maupun individu anggotanya untuk menolak keras setiap sumbangan haram yang terindikasikan korupsi. Seruan atau slogan-slogan pemberantasan budaya korupsi seyogianya selalu dikelola secara cerdas dan berkesinambungan, mengimbangi kampanye konsumtivisme, hedonisme dan materialisme yang setiap hari gencar mengepung pemirsa lewat berbagai media massa. <br />Alangkah indahnya membayangkan sinergi agama dan negara dalam pemberantasan korupsi; penegakkan hukum yang adil tanpa pandang bulu dilakukan pemerintah , sementara penghayatan keberagamaan melalui keteladanan para pemimpin dijalankan secara nyata, bukan sekedar wacana belaka. <br />Dengan begitu agama benar-benar mampu menjadi kekuatan solutif bagi problema bangsa dan selalu mengedepankan azas manfaat (utility). Agama seyogianya menjadi ujung tombak yang merekatkan seluruh umat untuk saling mengokohkan eksistensi bangsa dalam memberantas korupsi. Ini sekaligus menepis anggapan negatif bahwa agama menjadi sumber konflik dan teror. Kita patut mendorong fungsi profetik agama yang mengedepankan supremasi hukum, proses demokratiasai dan memerangi korupsi. Fungsi ini hendaknya ditumbuh kembangkan secara partisipatoris dan dialogis mengingat pluralisme dalam kebangsaan kita. Jadi, tidak dibenarkan oleh agama atau hukum positif manapun, upaya pengurasakan secara sepihak terhadap tempat-tempat atau simbol kemaksiatan tanpa mengindahkan dampak yang muncul sebagai akibatnya. <br />Terdapat ungkapan ‘the fish rots from the head’, ikan membusuk dari kepala. Dalam kalimat lain dinyatakan, ‘Bayangan selalu mengikuti sang badan’. Intinya adalah budaya paternalistik kita masih kuat. Rakyat cenderung melihat contoh dari apa yang dilakukan pemimpinnya. Karenanya, budaya paternalistik ini seyogianya mampu kita kelola untuk merekonstruksi perubahan mental pada elitnya. Jika para elit pimpinan bangsa menghendaki perubahan, perubahan itu pun harus dimulai dari pucuk pimpinan. Mustahil mengharapkan muncul perubahan budaya melawan korupsi, apabila elit pemimpin justru merasa nyaman dengan praktik tersebut. Mustahil mengharap negara berani membersihkan koruptor jika pemimpin kita membiarkan inefisiensi birokrasi tetap terjadi. <br />Kebersahajaan, kebersihan dan kepedulian merupakan contoh-contoh ajaran mulia setiap agama untuk diperbincangkan sekedar sebuah idiologi. Semua ini bisa dipraktikkan sehari-hari, dan alangkah indahnya jika dimulai dari para pemimpin kita yang memiliki kedudukan sangat penting di dalam masyarakat, dan karenanya mempunyai pengaruh yang luas dalam masyarakat. <br />Pada dasarnya, semua agama mengajarkan idealisme yang baik bagi penganutnya. Idealisme seperti bersahaja, bersih dan peduli jika dikerjakan dari yang kecil-kecil oleh pemimpin-pemimpin besar kita, maka merupakan bagian dari pengobatan penyakit sosial seperti korupsi. <br />Pemimpin yang peduli tidak akan membiarkan kemungkaran terjadi di depan mata mereka. Mereka tidak saja menjaga fisik dan lingkungan sosial yang bersih, namun lebih dari itu kebersihan moral dan nurani akan selalu dipelihara. Mereka merasa kepemimpinan adalah amanah yang harus dijunjung tinggi, namun tetap dengan sikap bersahaja terhadap rakyat yang dipimpinnya. Mereka yang bersahaja akan jauh dari sikap tamak yang selalu menginginkan kelebihan materialisme dan hedonisme, -sumber godaan melakukan korupsi-. <br />Kebesaran seorang tokoh pemimpin yang bersahaja, bersih dan peduli tidak datang secara sekejap dan tiba-tiba. Ia terlahir dari proses transformasi nilai yang lama ditempa sejak dini dalam lingkungan keluarga. Transformasi nilai tidak datang mendadak dalam kuliah-kuliah di perguruan tinggi atau lembaga-lembaga pendidikan formal. Kepuasan kita selama ini hanya pada verbalisme (Nurcholish Madjid, 2004) Yaitu perasaan telah berbuat sesuatu karena karena telah mengucapkannya sehari-hari. Seolah-olah kalau kita bicara kitab suci, sabda Tuhan, sabda Allah, dan suri tauldan para Rasul, para nabi, para aulia itu semuanya sudah selesai (Mohamad Sobary, 2004). Kebersahajaan, kebersihan dan kepedulian tidak akan terwujud hanya karena dikatakan dan dibicarakan setiap hari –betapapun kita sering dan rajinnya melakukan –melainkan harus dengan tindakan keteladanan yang berani, teguh dan istiqamah. “Mengapa kamu semua mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakannya?! Sungguh besar dosanya di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakannya” <br />Kalau kita tengok sejarah, transformasi nilai yang dialami tokoh-tokoh pemimpin berawal dari didikan sejak kecil pada keluarga mereka. Di rumah tangga, patut diadakan dialog-dialog tata nilai atau ajaran yang meskipun normatif, tidak melulu diajarkan secara normatif. Diperlukan pendekatan secara dialektis dalam keluarga sehingga terlatih jika ada bandingan-bandingan. Ketika orang bicara bersih dan bersahaja, maka bersih dan bersahaja tidak bisa dijejalkan kepada anak sebagai sesuatu yang jadi. Ketika masih kanak-kanak kita tentu hapal bahwa kebersihan sebagian dari iman, namun bagaimana kebersihan sebagian dari iman itu supaya tidak tinggal kata-kata. </p> <p> <br />Secara singkat dapat disimpulkan, kita menginginkan pemimpin bersahaja, bersih dan perduli bukan karena kebetulan bersahaja, bersih dan perduli. Namun karena bersahaja yang betul, tidak karena kebetulan. Bersih dan perduli pun yang betul, bukan karena kebetulan. “Tugas kebudayaan bangsa kita mengubah, mentransformasi segala hal apakah itu wisdom, apakah itu nilai-nilai dan semua perangkat ajaran dari tataran normatif menjadi tataran yang menyejarah, membuat orang-orang jujur itu jujur menyejarah.” (M. Sobary, 2004) .Barangkali inilah saatnya tatkala elit pemimpin kita justru perlu belajar dari kebersahajaan, kebersihan dan kepedulian dari rakyatnya. <br />Keteladanan yang berani, teguh dan istiqamah termasuk nilai budaya yang kita ingin transformasikan sehingga menjadi gerakan nyata baik di tingkat elit pemimpin atau rakyat. Keteladan yang berani dapat muncul oleh karena kesadaran ketuhanan yang merata. Menurut Moh. Iqbal: <br />“The sign of a kafir is that he is lost in horizon, while the sign of a mukmin is that the horizon lost in him”</p> <p> <br />Para hadirin dan hadirat yang berbahagia, <br />Sesuai dengan pasal 32 UUD 1945 yang telah diamendemen, salah satu tugas kebudayaan kita juga adalah mendorong pluralisme budaya. Negara memajukan kebudayaan nasional dengan tetap menjamin kemerdekaan masyarakat dalam melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai kebudayaanya. Selanjutnya, negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Kemajemukan budaya ini harus kita terus dorong tanpa perlu terjebak pada etnosentrime sempit sehingga warisan adi luhung nenek moyang kita tetap eksis di tengah-tengah pertempuran global elemen budaya asing. </p> <p> <br />Salah satu warisan adi luhung yang cukup relevan kita pelihara adalah wasiat Ronggowarsito. Di tengah zaman “edan”, ketika budaya korupsi sudah mewabah demikian dahsyat, nasihat untuk“eling” dan “waspodo” dapat dikontekstualisasi dengan apa yang menjadi nilai-nilai kebangsaan di dalam UUD 1945. </p> <p> <br />Kita diharapkan ‘eling’ bahwa bangsa ini memiliki potensi untuk bangkit dan bersaing dengan budaya bangsa lain (global). Kita menyadari , ‘eling’ sepenuhnya bahwa dengan kesederhanaan ketika masa perjuangan mampu menghantarkan bangsa ini merdeka dari penjajah. <br />“Waspodo” dapat dimaknai agar kita menghadirkan kesadaran penuh tentang jati diri bangsa yang tidak ingin tereduksi justru karena budaya korupsi. Secara sederhana, budaya ‘waspodo’ telah ditunjukkan oleh rakyat kita dalam Pemilu 2004 silam. Budaya ‘money politics’ sudah berkurang tidak seperti dikhawatirkan banyak pihak. </p> <p> <br />Wallahua’lam bishowaab, <br />Wabillahitaufik wal hidaayah, <br />Wassalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.</p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-58730834259222177442010-10-09T01:19:00.001-07:002010-10-09T01:32:03.187-07:00Contoh – contoh naskah pidato (1)<p>Judul Naskah Pidato: Kita Harus Mandiri</p> <p> <br />Assalamu'alaikum wr.wb. <br />Yang kami hormati bapak kepala sekolah. Yang Kami hormati bapak wali kelas. Yang kami hormati pula bapak dan ibu guru kami. Juga rekan-rekan yang saya cintai.</p> <p>Pertama-tama kami sangat bersyukur kepada Tuhan Yang maka esa atas curahan rahmat-Nya yang diberikan kepada kita, sehingga pada kesempatan yang baik ini kita dapat berkumpul, ber-muwajahah di tempat ini, ditempat yang berbahagia ini. <br />Rekan-rekan yang saya cintai.</p> <p> <br />Kita tahu bahwa masa muda masa yang sangat labil. Mudah dipengaruhi oleh banyak faktor baik positif maupun negatif. Biasanya faktor negatiflah yang lebih cepat diserap oleh kawan-kawan kita yang lainnya. Ini tentu berakibat buruk terhadap kehidupan dimasa yang akan datang. <br />Bisa kita lihat diberbagai media baik media cetak maupun elektronik, juga dalam kehidupan sehari-hari ini. Tingkah laku mereka sangat tidak terpuji. Ini tentu sangat disayangkan oleh kita yang merasa satu generasi. Mereka ada yang hamil diluar nikah, ada yang ikut geng motor, ada yang bolos sekolah ada yang jadi pecandu narkoba dan lain sebagainya. Sehingga generasi kita tercoreng oleh tingkah segelintir dari generasi muda yang tidak bertanggung jawab. <br />Rekan-rekan yang saya banggakan.</p> <p> <br />Kita sebagai generasi muda yang masih diberi kesadaran kiranya untuk selalu saling mengingatkan akan bahaya-bahaya pergaulan bebas di atas, pergaulan negatif di atas. Jangan sampai kita jadi korban namun kita sendiri tidak merasa bahwa kita jadi korban. <br />Kiranya sudah bukan saatnya lagi kita mudah tergoda dan terbujuk, bukan saatnya lagi kita tidak punya pendirian. Kita harus menyadari hidup yang sekali ini harus dimanfaatkan secara baik-baik. Jangan sampai kita menyianyiakan masa muda ini yang kemudian menyesal dimasa tua. <br />Kita harus punya prinsip dalam hidup, kita harus mandiri dan mampu membawa diri sehingga bukan kita yang menjadi korban jaman, bukan kita yang menjadi korban lingkungan. tetapi mari kita menjadi generasi yang justru mampu membawa perubahan bagi masyarakat. <br />Sebagai generasi muda, banyak potensi yang bisa kita kembangkan. Banyak potensi yang bisa kita optimalkan. Bukan untuk siapa-siapa melainkan untuk kita sendiri. Untuk kebaikan kita dimasa yang akan datang.</p> <p> <br />Rekan-rekan dan hadirin yang saya banggakan. <br />Marilah sudah saatnya kita sebagai generasi muda untuk bangkit dari tidur dan menunjukkan kepada dunia bahwa kita pun mampu. Kita punya sesuatu yang berharga yang patut diperhitungkan. Kita pastikan bahwa kita bukan generasi sampah yang bisanya hanya menjadi beban orang tua dan beban lingkungan. <br />Ada beberapa langkah sederhana yang bisa kita lakukan mulai dari sekarang : <br />• pertama, sekuat tenaga kita belajar yang rajin dan tunjukkan kepada orang tua bahwa kitapun mampu meraih nilai yang terbaik. <br />• kedua, sekuat tenaga tidak terbawa pengaruh oleh teman-teman kita yang lain yang senangnya membolos karena suatu saat mereka akan merasakan sendiri akibatnya. Bisa jadi anaknya nanti akan seperti mereka, susah di atur dan melawan orang tua sebagaimana yang mereka lakukan saat ini. tentu ini tidak kita harapkan. <br />• ketiga, Berapapun kita dikasih ongkos maka sekuat tenaga untuk bisa mengatur sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran. Jangan pernah UNIKO-usaha nipu kolot. Karena ini biang yang membuat kita tidak mendapat berkah dimasa yang akan datang. <br />• keempat, cari teman gaul dan tempat gaul yang positif baik di sekolah maupun di luar sekolah. Pergaulan kita akan membentuk karakter kita secara perlahan. <br />Sebagai pelajar barangkali empat langkah sederhana ini bisa kita praktekkan mulai saat ini. Kita menentukan nasib kita dimasa depan. Karenanya saya berpesan kepada rekan-rekan semua marilah kita manfaatkan masa muda ini sebaik-baiknya agar masa depan kita cerah. <br />Demikian yang bisa saya sampaikan. Mohon maaf jika ada salah kata.</p> <p> <br />Assalamu'alaikum wr.wb.</p> <p>Sumber: <a href="http://www.studentmagz.com">www.studentmagz.com</a></p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-33983994852771304332010-09-25T18:02:00.001-07:002010-09-25T18:02:30.316-07:00Richard Oh<strong></strong> <p> <br /><b></b> <br />Richard Oh <br />Richard Oh seakan tidak bisa dilepaskan dari buku. Di beberapa tempat di Jakarta, ia membuka toko buku dengan konsep baru. Seperti di Singapura atau Hong Kong, toko bukunya, QB Book Store, dilengkapi dengan kafe dan sofa-sofa untuk membaca. Dan seluruh buku yang sebagian besar berbahasa Inggris itu tidak ada yang disegel. Pengunjung bisa leluasa membaca-baca buku sambil santai di sofa. Di toko bukunya, para pencinta buku bisa bertemu dan berdiskusi tentang buku. Di QB Pondok Indah, Jakarta Selatan, diadakan pemutaran film seni tiap Sabtu. <br />Prihatin terhadap kondisi buku-buku sastra Indonesia yang kurang laku, ia pun menaruh perhatian terhadap kemajuan sastra di negeri sendiri. Ia mendirikan penerbit Metafora—yang menerbitkan buku-buku terjemahan sastra Indonesia dalam bahasa Inggris—dan menerbitkan Jurnal Prosa dan Jakarta Review Book untuk menjaring kaum ekspat yang kurang tahu keadaan sastra Indonesia. Dalam rangka mengangkat sastra Indonesia, ia merintis anugerah Khatulistiwa Literary Award, dengan total hadiah Rp 30 juta pada 2001 dan untuk tahun 2002 ditingkatkan menjadi Rp 50 juta. <br />Richard sendiri adalah seorang sastrawan. Selain cerpen, ia menulis dua novel dalam bahasa Inggris. “Saya merasa ada keleluasan menulis dalam bahasa Inggris,” begitu alasannya. Sebab, untuk satu kata ia bisa menemukan lima sampai enam padanan. <br /></p> <p>Cita-cita jadi pengarang sudah terlintas waktu Richard kanak-kanak di kota kelahirannya, Tebingtinggi, Sumatera Utara. “Mungkin karena banyak membaca buku dan terlalu heboh dalam menggambarkan dunia, jadi ada harapan besar menjadi pengarang,” ujarnya. Kebetulan, ayahnya seorang pengusaha yang sejak muda terbiasa membaca buku-buku serius. Begitu pula dengan paman-pamannya. Ia memulainya dengan membaca buku-buku silat dan komik. <br />Tertarik pada bahasa ketika pindah ke Jakarta, ia tinggal bersama pamannya yang pemilik pabrik dan memiliki perpustakaan yang cukup lengkap. Mulailah ia berkenalan dengan sastra dunia semacam karya Joseph Conrad. Lewat sastra dunia itu, “Saya menemukan bahasa dan sastra Inggris yang indah dan saya ingin menguasainya,” katanya. Dari larut membaca, pada usia 17 tahun, ia terdorong mengikuti lomba penulisan cerpen yang diselenggarakan oleh majalah Asia Week. Walau tidak menang, cerpennya mendapat salah satu penghargaan. <br />Untuk mewujudkan cita-citanya itu, ia belajar penulisan kreatif di Universitas Wisconsin, Madison, dan UC Berkeley. Ini membuat keluarganya kaget, karena biasanya orang kuliah di Amerika mengambil jurusan marketing atau finance. Awalnya ia sempat depresi, merasa tidak popular, lalu jadi pemurung. Ia pun sempat belajar pada Lary More, penulis buku yang masuk nominasi National Book Award. “Saya tahu betapa susahnya orang Indonesia menulis dalam bahasa Inggris,” tuturnya. <br /></p> <p>Walau kreativitas tidak bisa diajarkan, dari bangku kuliah ia bisa tahu macam-macam teori kreativitas, bisa belajar bagaimana menulis yang lebih mementingkan pembaca ketimbang penulis. Pun bisa membedakan menulis secara obyektif dan subyektif. Richard memulai menulis pendek-pendek dan saat itu belum mampu menulis novel. <br />Terdesak oleh tekanan keluarga, yang mengukur kesuksesan seseorang dari materi, sepulang dari Amerika ia memutuskan bekerja di perusahaan advertising. Padahal, inginnya ia menulis saja, sementara istrinya bergelar MBA dan bekerja di perusahaan multinasional. “Saya berbicara pada diri sendiri bahwa jika tidak bisa menjadi seniman, harus menjadi orang yang punya uang,” katanya. Akhirnya, ia berhasil membuat biro iklan yang banyak mendapat klien-klien besar. <br />Saat krisis ekonomi, Richard lelah di dunia periklanan, sampai ia depresi dan merokok tiga bungkus sehari, jarang pulang dan mandi. “Badan saya menjadi bau sekali. Anak dan istri menjadi benci,” tuturnya. <br /></p> <p>Peristiwa Mei 1998 menjadi titik balik dalam kehidupan Richard untuk kembali ke obsesi semula: menulis. Peristiwa, yang disertai pembakaran dan pemerkosaan terhadap orang-orang Cina, membuat endapan yang selama puluhan tahun terpendam itu meledak. “Tiba-tiba saya bisa dengan lancar menulis novel,” kata lelaki keturunan etnis Tionghoa itu. “Saya marah sampai saya menulis buku. Saya tulis bagaimana sekelompok orang turunan dan pribumi bekerjasama tetapi selalu dicurigai oleh pemerintah,” tuturnya. Sedang novel keduanya ia tulis dalam keadaan yang lebih sulit karena kesibukan dengan toko bukunya. Sekarang ia tengah mengerjakan novel ketiga. <br />Menikah dengan Inggid pada 1983, Richard ayah tiga anak. Oleh teman-temannya, Richard sering ditanya bagaimana membiasakan anak-anak membaca buku. “Syaratnya gampang: orangtua harus gemar membaca,” katanya. Di zaman yang serba cepat, membaca seperti membalikkan waktu, sehingga terasa hidup menjadi pelan. Menurut dia, membaca buku jauh sebenarnya lebih mengasyikkan daripada menonton film atau televisi. “Proses membaca membuat otak jauh lebih aktif dan membawa kita ke suatu dunia yang berbeda,” ujarnya lagi. </p> <p> </p> <p><b>Nama</b> : <br />Richard Oh <br /><b>Lahir</b> : <br />Tebingtinggi, Sumatera Utara, 30 Oktober 1959 <br /><b>Pendidikan</b> : <br />Sastra Inggris dan Penulisan Kreatif di Universitas Wisconsin, Madison, dan UC Berkeley, Amerika Serikat <br /><b>Karir</b> : <br />- Copywriter senior di Parwanal DMB&B dan di AdForce-JWT (1989) <br />- Pendiri dan pemilik NuvoCOm Advertising (1989-sekarang) <br />- Pendiri dan pemilik QB World Books (1999-sekarang). <br /><b>Keluarga</b> : <br />Istri : Inggid Anak : 3 orang</p> <p> </p> <p>Sumber: <a title="http://www.pdat.co.id/hg/apasiapa/html/R/ads,20030630-129,R.html" href="http://www.pdat.co.id/hg/apasiapa/html/R/ads,20030630-129,R.html">http://www.pdat.co.id/hg/apasiapa/html/R/ads,20030630-129,R.html</a></p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-60163912073740354952010-09-08T03:27:00.001-07:002010-09-08T03:27:04.934-07:00tes<p><a href="http://www.swfcabin.com/open/1283936224">Tes kuis</a></p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-64700536665227889692010-09-01T07:48:00.001-07:002010-09-01T07:48:33.328-07:00Puisi – puisi Pablo Neruda<p>SEEKOR ANJING TELAH MATI</p> <p>Anjingku telah mati, kukubur dia di kebun <br />disebelah mesin tua penuh karat</p> <p>Suatu saat aku pun akan menemaninya di sana <br />tapi saat ini biar dia bersama mantel kusutnya <br />tabiat buruknya, dan hidungnya yang beringus <br />dan aku, si gila dunia yang tidak meyakini <br />apapun yang dijanjikan surga di angkasa pada <br />tiap yang berbelas kasih <br />Aku percaya, di surga para anjing <br />dimana anjingku akan menunggu kehadiranku <br />meriakkan hembusan serupa goyang ekor persahabatannya <br />aku yakin, aku tak akan pernah menginjakkan kaki di sana</p> <p>Ah, aku takkan mengobral kesedihan di tanah ini <br />karena telah kehilangan seorang sahabat <br />yang tidak pernah kehilangan martabat <br />persahabatannya untukku, persis seperti landak <br />yang mempertahankan kerajaannya <br />persahatan sebiji bintang, jauh terpencil <br />tanpa sautan hadir keintiman, tanpa dilebih-lebihkan</p> <p>Sama sekali dia tak pernah melompat ke atas pakaianku <br />dan menularkan kudisnya ke seluruh tubuhhku <br />dia juga sama sekali tak pernah menggosok-gosok ke lututku <br />layaknya anjing-anjing yang lain yang doyan bercinta <br />tidak, anjingku hanya menatapku lurus <br />hanya memberi perhatian yang kubutuhkan <br />perhatian yang wajib hadir <br />untuk membuat orang yang tak berguna sepertiku mengerti <br />bahwa menjadi seekor anjing telah membuang-buang waktunya</p> <p>Dengan mata yang lebih jernih daripada milikku <br />dia akan tetap menatapku <br />dengan raut muka tertentu yang hanya dia perlihatkan padaku <br />semua hal manisnya dan kehidupan kusutnya <br />selalu berada di dekatku <br />tak pernah menyusahkanku dan tak pernah meminta apapun</p> <p>Ah pada ekornya, berapa kali aku termakan cemburu <br />saat berjalan bersama di bibir pantai <br />di sepi musim dingin Isla nigra <br />saat burung-burung musim itu memenuhi angkasa <br />dan rambutku morat-marit dipermainkan dahsyat gelombang angin <br />anjing pengembaraku itu akan mendengus-dengus <br />dengan ekornya yang keemasan berdiri tegak <br />langgsung menantang semburan muka samudera</p> <p>Riang, riang, riang <br />seperti satu-satunya anjing yang tahu mengecam kebahagiaan <br />tidak ada kata perpisahan untuk anjingku yang telah mati <br />dan kami, segera atau tidak kapanpun pernah berbaring <br />sebelah menyebelah</p> <p>Jadi sekarang dia telah mati dan aku menguburkannya <br />dan hanya itu, hanya untuk itu dia hadir</p> <p>(Pablo Neruda)</p> <p>SONETA II</p> <p>Kasihku, berapa banyak jalan harus kutempuh untuk mendapatkan ciuman, <br />berapa kali aku tersesat kesepian sebelum menemukanmu! <br />Kereta kini melaju menembus hujan tanpa diriku. <br />Di Taltal musim semi belum kunjung tiba.</p> <p>Tapi aku dan engkau, kasihku, kita bersama-sama, <br />bersama dari pakaian hingga tulang, <br />bersama di musim gugur, di air kita, di pinggul, <br />hingga akhirnya hanya engkau, hanya daku, kita berdua.</p> <p>Bayangkan betapa semua bebatuan itu diangkut sungai, <br />mengalir dari mulut sungai Boroa; <br />bayangkan, betapa bebatuan itu dipisahkan oleh kereta dan bangsa</p> <p>Kita harus saling mencinta, <br />sementara yang lainnya semua kacau, laki-laki maupun perempuan, <br />dan bumi yang menghidupkan bunya anyelir.</p> <p>(Pablo Neruda)</p> <p>DONGENG PUTRI DUYUNG DAN PEMABUK</p> <p>Semua laki-laki itu berada di dalam ruangan <br />saat dia masuk bertelanjang <br />Mereka semua telah mabuk: mereka mulai menyibak <br />baru-baru ini dia muncul dari bibir sungai tanpa tahu apapun <br />Seekor putri duyung yang tersesat jalan</p> <p>Dari kilatan tubuhnya celaan segera meluap <br />kecabulan basah kuyup di payudaranya yang keemasan <br />ia tidak mengenal airmata jadi ia tak pernah mengusap air mata <br />ia tidak mengenal pakaian dia tak memilikinya <br />mereka menyelimutinya dengan sumbat-sumbat gabus hangus <br />dan puntung-puntung rokok <br />digelindingkan beriring derai tawa di lantai kedai</p> <p>Dia sama sekali tidak berbicara, karena dia tak mengenal kata <br />matanya adalah warna cinta yang asing dingin <br />bibirnya bergerak, sunyi, dalam cahaya batu karang <br />dan tiba-tiba dia pergi keluar melalui pintu di sana <br />masuk ke dalam sungai yang menyucikannya <br />bersinar seperti pualam di musim hujan <br />tanpa menoleh dia terus berenang <br />berenang keketiadaan, menuju maut</p> <p>(Pablo Neruda)</p> <p>KUTU ITU BEGITU MENARIK PERHATIAN</p> <p>Kutu itu begitu menarik perhatian <br />maka kubiarkan ia menggigitku berjam-jam <br />mereka begitu sempurna, purba, sanskrit <br />mesin yang setuju untuk tidak pernah memohon terlebih dahulu</p> <p>Mereka tidak menggigit untuk makan <br />mereka hanya menggigit sebagailompatan <br />mereka bak penari-penari ruang angkasa dengan <br />akrobat-akrobat halus sebuah sirkus paling lembut nan dalam <br />kubiarkan mereka mencongklang di kulit <br />merembeskan semua rahasia perasaannya <br />menghibur diri sendiri dengan darahku</p> <p>Ah, seseorang harusnya mengenalkannya padaku <br />aku ingin mengenalnya lebih intim <br />aku ingin mengetahui apa yang dipercayainya</p> <p>(Pablo Neruda)</p> <p>KUCANDUI MULUTMU, SUARAMU, RAMBUTMU</p> <p>jangan pernah pergi jauh, meski hanya untuk sehari <br />jangan pernah pergi jauh, meski hanya untuk sehari <br />karena, karena aku tak tahu bagaimana mengucapkannya: <br />sehari adalah waktu yang begitu lama <br />dan aku akan menunggumu di stasiun yang melompong ini <br />ketika kereta-kereta tak lagi singgah disini, tertidur</p> <p>jangan tinggalkan aku, meski hanya satu jam, karena <br />sejak itu, tetes-tetes kecil kesedihan akan berpacu bersama <br />asap yang mengembara mencari rumah terseret hanyut <br />dalam diriku, mencekik hatiku yang sekarat</p> <p>ah, barangkali siluetmu tak pernah larut di pantai <br />barangkali kelopak matamu tidak pernah berdenyar <br />di bentang jarak yang hampa <br />jangan pernah tinggalkan aku sedetikpun sayang <br />karena jika terjadi, kau akan terlanjur begitu jauh</p> <p>aku akan mengembara, melantur di seluruh penjuru bumi <br />bertanya-tanya apakah kau akan kembali? <br />apakah kau akan meninggalkanku disini meregang mati?</p> <p>(Pablo Neruda)</p> <p>TAWAMU</p> <p>ambil saja nafas ini dariku, jika kamu memohon, <br />ambil juga udara ini, tapi <br />jangann ambil dariku tawamu</p> <p>jangan ambil mawar <br />kembang tombak yang kau tusukkan lalu kau cerabut <br />hingga tiba-tiba air meluap-luap bahagia tanpa henti <br />gelombang tiban yang melahirkan perak dalam dirimu</p> <p>perjuanganku sungguh kasar dan aku kembali <br />dengan mata lelah <br />sejak mula melihat dunia yang tak berubah <br />tapi ketika tawamu lahir <br />tawa itu melontar ke angkasa dan segera mencariku <br />dan membuka seluruh pintu-pintu hidupku</p> <p>sayangku, dalam masa paling gelap <br />tawamu hadir, dan tiba-tiba <br />lihatlah darahku luntur mengotori batu-batu jalan <br />tertawa, karena tawamu digenggamanku <br />akan menjelma serupa pedang yang baru ditempa</p> <p>di bahu laut musim gugur <br />tawamu pasti menegakkan bebuih jeram <br />dan di musim semi, sayangku <br />tawamu seperti bunga yang kutunggu-tunggu <br />bunga biru, mawar yang menggema di seantero penjuru</p> <p>tawa yang tersangkut di malam <br />pada hari, pada bulan, <br />tawa yang berpantul-pantul di jalan-jalan di pulau ini <br />tawa pada bocah ceroboh yang mencintaimu <br />tawa berkelebat saat aku memejam dan membuka mata <br />tawa ketika langkahku maju, ketika langkahku surut <br />mengingkari tarikan nafas, udara, sinar, semi, tapi <br />jangan pernah ambil tawamu <br />atau aku akan binasa</p> <p>(Pablo Neruda)</p> <p>TERSESAT DI HUTAN</p> <p>Tersesat du hutan, kupatahkan reranting gelap dahan <br />yang meruapkan bisikan-bisikan di bibirku yang dahaga <br />mungkin itu suara tangisan hujan <br />pecah genta atau hati yang terajam kelam</p> <p>Sesuatu yang terindera berasal dari langkah yang jauh <br />dalam dan rahasia, tersembunyi di dalam bumi <br />seperti teriakan yang teredam oleh gunungan musim gugur <br />oleh lembab dan kibas setengah terbuka kegelapan dedaun <br />terbangun dari mimpi hutan disana, kabut <br />bernyanyi di bawah lidahku, menghanyut wewangian <br />meruyap naik di alam bawah sadarku</p> <p>Saat telah kutinggalkan di belakang, tiba-tiba akar-akar <br />menangis padaku, tanah yang telah hilang bersama masa kanak-kanakku <br />dan aku berhenti, terluka oleh harum pengembaraan</p> <p>(Pablo Neruda)</p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-71676677691417479252010-09-01T07:16:00.001-07:002010-09-01T07:16:46.977-07:00Siapa Takut, Nirwan Dewanto?<p> <br />* Mengembangkan Sastra dengan Merebutnya dari Para Ahli Sastra <br /><strong>Richard Oh</strong></p> <strong> <p> <br /></p> Ada beda yang sangat kentara antara penulis sastra dan ahli sastra. <br />Seorang penulis sastra berusaha, dengan serampangan tanpa mengikuti <br />suatu metode, memetik apa saja dari sumber sastra untuk tujuan <br />seninya. Ia mengolahnya untuk mengisi kebutuhan seninya. Yang ia <br />pelajari bukan sintaksis atau teori, tapi gerak "menuju pengungkapan <br />baru, menghancurkan ekspektasi genre yang ada". Seorang ahli sastra, <br />anggaplah dia akademikus di fakultas sastra, berusaha terus mengolah <br />dari sastra sumber-sumber yang bisa disatukan dalam suatu teori atau <br />persepsi yang kemudian dibakukan menjadi metode. Untuk meyakinkan <br />kolega, mereka menulis temuan mereka dalam bentuk makalah dengan <br />bahasa formal sarat jargon akademis. </strong> <p> <br />Bagi dunia sastra inilah soalnya. Bagaimana bisa kita kembangkan <br />sastra dengan panduan yang begitu kaku dan teoretis? Berbagai makalah <br />sudah ditulis tentang puisi TS Eliot, The Waste Land. Begitu hebat <br />makalah-makalah tentang puisi ini, sampai-sampai mahasiswa takut <br />mendekatinya. Takut, seperti akademisi yang pertama kali <br />diperkenalkan dengan puisi ini tahun 1922. Pada waktu itu ahli sastra <br />tak memahami makhluk baru yang mereka hadapi. Dalam kekalutan <br />penafsiran mereka, diperkeruh lagi dengan catatan tambahan di akhir <br />puisi itu, pengejaran pada makna The Waste Land makin dahsyat. <br />Semakin kalut pencarian para akademisi, semakin salut mereka pada <br />kehebatan puisi ini.</p> <p> <br />Namun, lihatlah nasib puisi ini sekarang, hampir seabad kemudian? <br />Di Amerika banyak mahasiswa yang sama sekali tak mengenalnya. <br />Pelacakan di Internet memperlihatkan The Waste Land jadi judul sitcom <br />populer. Setelah memelajarinya sekian lama, baru pada sekitar 2002 <br />saya menemukan pencerahan tentang puisi ini dalam pengantar kumpulan <br />puisi TS Eliot oleh Mary Karr, penulis memoir, eseis, dan penyair. Di <br />situ Karr mengatakan sebenarnya segala cara menemukan makna yang <br />berarti dari puisi itu tak akan membuahkan hasil berarti. Mengapa? <br />Karena Eliot, seperti juga para penyair simbolis zaman itu macam <br />Rimbaud, memadukan berbagai elemen ke dalam puisinya: mitos, <br />referensi, bahkan larik-larik esoteris tembang Australia hingga chant- <br />chant Upanishad. Tujuannya, menciptakan efek menggugah suasana <br />nostalgia, warna dan aksen yang mencerminkan kegersangan generasi <br />Eliot setelah Perang Dunia Pertama. Jadi, yang diinginkan penyair <br />bukan erudikasi, melainkan makna yang dibisa diserap dari esensi <br />puisi itu sendiri.</p> <p> <br />Dampak puisi ini kemudian berlanjut dengan terwujudnya cara <br />pembacaan ketat yang membuahkan satu aliran New School of Criticism. <br />Oleh kelompok ini, kenikmatan sastra bukan lagi prioritas sebab <br />mereka percaya hanya dengan memahami sepenuhnya latar dan referensi <br />tiap bait syair, kita bisa menikmati sebuah karya sastra secara utuh. <br />Saya kira ini pemikiran keliru yang memberi dampak negatif pada karya <br />penyair modern. Karya puisi menjadi gersang, terlalu akademis, dan <br />sama sekali tak lagi merefleksikan kedalaman jiwa, tapi tekanannya <br />berat pada erudikasi.</p> <p> <br />Aliran yang diciptakan Eliot secara kebetulan ini menciptakan lebih <br />banyak ahli sastra hebat daripada penyair hebat. Karr menyebutkan <br />sebenarnya puisi Eliot menjerit supaya kita mendengarnya. Jangan <br />menganalisisnya. Dengarkan irama setiap stanza. Nikmati imaji dan <br />ambience yang dievokasikan oleh kata-kata yang begitu padat, begitu <br />akurat, begitu berbeda dengan puisi-puisi zaman sebelumnya yang <br />terkesan sangat didaktik serta padat muatan moral dan kotbah regilius.</p> <p> <br /><strong>Seni dan penafsiran seni</strong> <br />Dalam What is Literature?, Jean Paul Sartre mengatakan "sebuah <br />karya seni tidak bisa direduksi menjadi sebuah pemikiran, pertama- <br />tama karena seni adalah produksi atau reproduksi dari keberadaan, <br />being, sesuatu yang tak akan membiarkan dirinya dipikirkan sebab <br />keberadaan ini dipenetrasi sepenuhnya oleh sebuah eksistensi, yakni <br />sebuah kebebasan yang menentukan nasib dan nilai dari pemikiran itu." <br /> <br /> Kalau pernyataan ini punya validitas, bagaimana seharusnya kita <br />tanggapi buku-buku karya akademisi itu? Apa guna concordance tentang <br />kebobrokan humanitas dalam novela Joseph Conrad, Heart of Darkness? <br />Apa guna menulis makalah akademis? Menurut saya, tulisan akademisi <br />hanya berguna bagi dan membantu pengembangan sastra bila mencerahkan <br />dan memandu apresiasi atas karya sastra itu tanpa mencoba <br />merangkumnya ke dalam suatu teori seperti yang terjadi pada Ulysses. <br />Bayangkan, sejak buku itu tampil tahun 1920-an hampir bersamaan <br />dengan puisi Eliot, ribuan bahkan jutaan buku akademisi telah <br />diterbitkan mengupas makna terpendam Ulysses. Sampai hari ini ia <br />masih diperdebatkan di bar-bar di Irlandia. Ada lelucon: kalau ada <br />yang berani mengaku memahami sepenuhnya Ulysses, ia akan menjadi <br />orang pertama yang dilempar keluar dari bar itu. James Joyce, sang <br />penulis Ulysses, dalam pengakuannya menyatakan ingin menulis satu <br />buku yang akan dibahas oleh para profesor selama seratus tahun. <br />Keinginannya jadi kenyataan. Apakah karyanya punya makna yang dalam <br />tentang humanitas? Apakah ia membantu pengembangan sastra? <br /> <br />Saya mengambil beberapa kutipan untuk membantu memperdalam <br />pemahaman kita. Virginia Woolfe menulis dalam catatan hariannya, Rabu <br />6 September 1922, "Saya menyelesaikan Ulysses dan merasa bahwa karya <br />ini meleset. Kejeniusan memang ia punyai, tapi bukan karya unggul. <br />Buku ini kurang fokus. Terlalu keruh. Pretensius. Ia kurang kaya, <br />bukan saja dalam arti yang sudah jelas, tetapi dalam arti literer <br />sekalipun. Penulis kelas teratas, menurut hemat saya, terlalu <br />menghargai penulisan untuk sengaja membuatnya menjadi berbelit-belit, <br />sengaja mengagetkan, memamerkan kehebatan." <br /> <br />Pada Selasa 26 September 1922 Virginia Woolfe mengutip komentar <br />Eliot tentang buku Ulysses, "Buku ini akan jadi tonggak karena ia <br />melumatkan seluruh abad ke-19. Ia bahkan tidak menyisakan apa-apa <br />lagi bagi Joyce untuk menulis. Ia menunjukkan betapa sia-sianya semua <br />gaya penulisan Inggris. Dia (Tom) merasa di beberapa bagian <br />penulisannya sangat indah, tapi tidak ada suatu 'konsepsi mutakhir'. <br />Itu memang bukan tujuan utama Joyce. Dia berpikir, Joyce melakukan <br />sepenuhnya seperti apa yang dia inginkan. Namun, Tom merasa Joyce <br />tidak memberikan gagasan baru apa pun bagi sifat manusia --tidak <br />mengungkapkan sesuatu yang baru seperti Tolstoy. Bloom tidak <br />menyampaikan apa pun kepada kita." <br /></p> <p>Di zaman ini kita tentu paham yang dimaksudkan Eliot dengan <br />ketiadaan konsep besar dalam karya ini adalah pendekatan Joyce <br />melalui teknik Epiphany, yaitu pencerahan demi pencerahan dari momen- <br />momen kecil. Yang mungkin bisa dikagumi dari prestasi buku ini adalah <br />bahwa hingga hari ini ia masih jadi bahan bahasan di mana-mana. <br />Apakah ia memajukan pengembangan sastra? <br /> <br /> Karya ini-seperti juga The Waste Land-menciptakan satu generasi <br />kritikus dan penulis yang, menurut saya, tidak memajukan sastra, <br />melainkan membuat sastra jadi kompleks seperti yang disebut Siegel: <br />membuat membaca sastra seperti memerlukan sertifikat mengendalikan <br />mobil. Untung di zaman ini kita punya Jose Saramago, Gabriel Garcia <br />Marquez, dan Julio Cortazar yang melepaskan kita dari belenggu sastra <br />sarat referensi dan erudikasi ini. <br /> <br /><strong>Sastra: pendekatan alami</strong> <br /> <br />Saya kira pendekatan Robert Pinksky, yang pernah jadi poet laureat <br />di Amerika dulu, terhadap sastra lebih menarik. Dia <br />mengatakan, "Pengetahuan dari pendengaran kita untuk memahami satu <br />larik puisi adalah pengetahuan pola bahasa yang sudah terbiasa pada <br />kita sejak masih bayi." Pada intinya puisi bisa kita nikmati, seperti <br />kita menikmati percakapan, lagu, tanpa perlu pengetahuan khusus sebab <br />puisi dan rima-rimanya mengetuk hati kita bagai detak jantung. Bila <br />ingin mempelajari metrik tradisional, kita hanya perlu baca kumpulan <br />puisi William Butler Yeats atau Ben Johnson. Untuk memahami free <br />verse, baca dua volume kumpulan puisi William Carlos Williams dan <br />Wallace Stevens. Untuk memahami linea pendek, baca kumpulan puisi <br />Emily Dickinson. Tentang adaptasi metrik balada ke dalam puisi <br />modern, baca kumpulan puisi Thomas Hardy. Menurut Robert Pinsky, tak <br />ada manual instruksi yang bisa lebih membantu memahami puisi selain <br />mendengar dengan cermat bunyi yang tebersit dalam setiap puisi yang <br />dibaca. <br /> <br /> Lee Siegel dalam pengantar novel DH Lawrence, The Lost Girl, yang <br />diterbitkan kembali setelah ditelantari sekian tahun, <br />mengatakan, "Sebagai akibat diakademikannya sastra, orang-orang <br />literer ketika mengapresiasi fiksi menganggap perasaan dan persepsi <br />merupakan ungkapan bagi seorang amatir. Bahkan di luar tembok <br />universitas, dalam kritik sastra kita masih juga menemukan bahasan <br />tentang alam sadar dan ironi, karakter dan karikatur, realisme <br />sejarah dan realisme psikologis, dan lain sebagainya. Pembaca mulai <br />merasa tak punya kualifikasi membaca, bagai mengendarai mobil tanpa <br />SIM. Namun, sebenarnya tak ada sesuatu yang literer tentang sebuah <br />novel yang efektif. Ia tak ubah laksana ekspresi kreatif sealami <br />pernafasan kita." <br /></p> <p>Kutipan ini sangat menarik untuk beberapa hal. Yang pertama, <br />menyangkut beda persepsi seorang akademikus dengan seorang penulis. <br />Bagi seorang penulis sastra, penulisan merupakan reaksinya pada <br />tempat, mood, waktu, dan kenyataan di sekelilingnya. Mereka menulis <br />tanpa memikirkan teori, tanpa mengikuti metode pemahaman sastra baik <br />dari buku sastra maupun dari universitas, sebab reaksi tiap penulis <br />pada suatu kenyataan berbeda-beda. Hal kedua adalah bila penulis <br />sastra menulis dengan "ekspresi kreatif sealami pernafasan", maka <br />menikmati karya-karya penulis sastra seharusnya tak memerlukan <br />analisis yang membuat kening berkerut.</p> <p><strong></strong></p> <p><strong>Pemahaman keliru tentang lirisisme dalam prosa</strong> <br />   Perkembangan sastra dalam negeri saat ini, menurut saya, cukup <br />memprihatinkan karena penekanannya lebih pada sintaksis ketimbang <br />integritas dan keunikan ekspresi. Maka, sering kita baca betapa <br />dahsyat Cala Ibi karena pengungkapannya yang unik. Ia bahkan dianggap <br />memperbarui bahasa dan lain-lain. Kenyataannya, setelah membaca <br />beberapa halaman novel ini, pembaca akan menemukan paragraf demi <br />paragraf sarat purple prose. Saya jadi ingat kata-kata Virginia <br />Woolfe "mannered, self-conscious". Kalimat yang seharusnya tak perlu <br />kompleks dan bisa ditulis sangat sederhana dipuisikan, dinyanyikan, <br />dibuat keruh serasa pembaca senantiasa dibombardir oleh aliterasi, <br />rima haram bagi novelis di mana saja karena ia menjadi distraksi <br />tersendiri dan mengganggu laju arus cerita. Metafor ataupun <br />simbolisme yang dalam kamus seorang penulis seharusnya diungkapkan <br />untuk memperkuat makna keseluruhan satu karya-seperti kejadian di <br />awal bab novel Anna Karenina di mana seorang wanita mencampakkan diri <br />ke dalam rel kereta meramal kematian Anna Karenina sendiri pada akhir <br />novel- disalahpahami oleh penulis Cala Ibi sebagai kreativitas dalam <br />berbahasa. Penggalan ini saya ambil secara acak dari novel itu. <br /></p> <p>Bapakku bening air kelapa muda. Ibuku sirup merah kental manis <br />buatan sendiri. Aku Bloody Mary. Jumat malam alkoholik, happy hours, <br />Jumat pagi robotik. Kadang aku minum jus tomat, dan merasa sehat. <br />Kadang berseru alhamdulillah, ini hari Jumat-atau Ahad, Rabu, hari <br />apa saja. Kor lepas dengan beberapa temanku di sore-sore hari, seraya <br />aku membayangkan gelas berkaki tinggi dan hijau margarita dan kristal <br />garam berkilau di bibir gelas, seperti sesosok perempuan, datang dari <br />kejauhan. <br /> <br /> Bayangkan ini hanya satu penggalan kalimat. Begitu padat dengan <br />informasi, berputar-putar tidak menuju satu tujuan yang memberikan <br />pencerahan makna. Apa artinya "Bapakku bening air kelapa <br />muda"? "Ibuku sirup merah kental manis" saja sudah membingungkan, <br />tetapi kemudian ditambah dengan "kental manis buatan sendiri". Dan, <br />apa pula artinya "Jumat pagi robotik"? Ada kesan, dalam menulis <br />kalimat-kalimat ini penulis ingin memaksakan makna ke dalam tiap <br />baris prosa, seperti seorang penyair karena keterbatasan ruang <br />memadatkan larik dengan makna. Kalimat demi kalimat kalau dibaca <br />bagaikan puisi sahut-menyahut, namun jadi sangat mengganggu <br />kelancaran cerita novel ratusan halaman ini selain menambah <br />kelelahan. Di sini terlihat jelas penulisnya tidak paham sama sekali <br />penggunaan puisi dalam penulisan novel. <br />  <br /> Sebelum meninggal, Italo Calvino menulis buku tipis Six Memos for <br />the New Millenium. Ia menurunkan kepada penulis generasi penerus enam <br />hal penting tentang penulisan, elemen-elemen pembangun sebuah karya <br />sastra. Dia membicarakan tentang lightness, ringan yang membebaskan <br />tapi berbobot, dengan mengutip Paul Valery, "One should be light like <br />a bird, and not like a feather." Dia juga bahas quickness, kegesitan <br />prosa, dengan mengambil contoh keefektifan struktur sebuah dongeng <br />rakyat. Kita bisa memahami makna sebuah dongeng rakyat dengan begitu <br />mudah karena rentetan cerita bergerak maju cepat tanpa hambatan <br />detail yang mengganggu. Dia membahas exactitude, presisi bahasa <br />ungkapan, dan visibility, kekuatan visual dalam prosa. Dia kemudian <br />mengupas multiplicity, yaitu suatu karya seni harus punya ambisi dan <br />mencakup semua seperti pada novel ambisius Flaubert, Bouvard et <br />Pecuchet, yang mencoba menuangkan semua pengetahuan dunia dalam satu <br />buku. Untuk menulis buku ini, Flaubert membaca ribuan buku dalam <br />pelbagai bidang disiplin. <br />  <br /> Dengan tolok ukur Calvino ini, banyak aspek dari Cala Ibi yang <br />perlu dipertimbangkan. Ia terlalu lamban, maka kurang quickness, <br />seperti sebuah dongeng rakyat. Ia kurang lightness karena prosanya <br />tak mengalir. Mungkin cukup kaya dengan visualisasi, tapi kurang <br />exactitude sebab kreativitas dalam kata tak berarti presisi kata. Ia <br />terlalu memikirkan permainan kata dan irama daripada ketepatan frase <br />bagi suatu ungkapan. Untuk aspek multiplicity, di sini mungkin <br />terlihat cakupan ambisinya, tapi tetap miskin karena kurang <br />konsisten. Kritikus yang mencintai permainan kata dan kekayaan <br />sintaksis memuji karya ini karena merasa novel ini telah memperbarui <br />bahasa dengan padatnya metafora dalam kalimat-kalimat, tapi <br />membutakan mata memeriksa integritas ungkapan yang memperkukuh makna <br />utama novel itu. <br /> <br /> Namun, tak satu pun kritikus yang dapat mengungkapkan secara <br />konkret apa sebenarnya yang ingin disampaikan novel ini. Apakah <br />lantas kita juga harus menyukainya dengan cara pembacaan yang <br />dianjurkan oleh Karr terhadap puisi The Waste Land, yaitu <br />menikmatinya segmen demi segmen tanpa terlalu memikirkan kesempurnaan <br />struktur keseluruhan. Untuk bisa menikmati sepenuhnya, kita perlu <br />menilai segi presisi bahasa, problema overwriting, dan kelancaran <br />cerita yang terhambat oleh metafora yang berkelebat dan saling tubruk <br />tanpa menciptakan makna, mengevokasi mood, atau aksen yang jelas. <br />Sangat berbeda dengan The Waste Land atau Ulysses yang, walau sangat <br />susah dipahami secara keseluruhan, bisa dinikmati dalam momen <br />epiphany demi epiphany. <br /></p> <p> <br /> <strong>Bahasa vernakular dalam penulisan sastra</strong> <br /></p> <p> Di Indonesia kritikus dan sekelompok sastrawan masih saja berkutat <br />dalam persoalan bahasa. Penekanan ini membuat banyak dari mereka <br />menilai keberhasilan sebuah karya terutama pada kepiawaian berkalimat <br />secara puitis. Padahal, dalam perkembangan penulisan sastra di <br />seluruh penjuru dunia, perhatian sudah bergeser ke hal-hal yang lebih <br />menarik, seperti bagaimana memadukan berbagai elemen yang berbeda, <br />tetapi mengikat dalam satu karya sastra yang unik. Sejak Mark Twain, <br />yang membawa bahasa vernakular dalam sastra Amerika, kemudian <br />dilanjutkan oleh Hemingway, yang membebaskan bahasa berbelit-belit <br />dari prosa, perkembangan sastra dunia sudah lama lepas dari penulisan <br />purple prose dan mengarah ke pelbagai perkembangan menakjubkan, <br />seperti belakangan ini bisa kita lihat dalam karya WG Sebald dan Gao <br />Xinjian. <br /> <br /> Begitu piawai mereka memadukan fakta dan fiksi sehingga terciptalah <br />karya-karya yang begitu menghanyutkan. Karya-karya mereka bisa dibaca <br />bagai sejarah atau karya sastra. Baca juga karya Michel Houllebecq <br />yang menggegerkan Eropa sewaktu menerbitkan Atomised. Dalam buku ini <br />kita lihat betapa sastra sudah berubah. Bab-bab tentang elemen <br />partikel berdampingan dengan dan memperkaya bab-bab narasi tentang <br />hubungan dua saudara yang wataknya sangat berbeda. <br /></p> <p><strong> Sebuah metode alternatif mengapresiasi sastra</strong> <br />  <br /> Setelah berkeliling mengitari berbagai pokok persoalan, sekarang <br />saya ingin kembali ke topik pembahasan kita: cara terbaik <br />mengembangkan sastra. Saran saya adalah merebutnya kembali dari para <br />ahli sastra. Saya percaya pada kata-kata Sartre bahwa seni tidak bisa <br />direduksi ke dalam sebuah pemikiran. Nah, kalau seni tak bisa <br />direduksi ke dalam satu pemikiran, pendekatan akademisi yang <br />cenderung ingin meneorikan semua hal sangat bertolak belakang dengan <br />premis ini. Bagaimana bisa kita menghargai sebuah karya seni, yang <br />merupakan produk atau reproduksi keberadaan, being, dengan bahasa <br />yang kaku dan cara pembahasan yang rigid pula? <br />  <br /> Karya seni sebaiknya tidak ditelaah hingga titik koma sebab itu <br />menjadikannya kering kerontang. Saya setuju bahwa untuk menikmati <br />suatu karya, sedikit pengetahuan sebagai prerequisite bisa membantu <br />menghargai seni. Namun, seperti kata Robert Pinsky, manusia <br />sebenarnya secara alami sudah dibekali menghargai seni dari rima <br />bahasa sehari-hari, panca indra, dan nalar halus. Yang dibutuhkan <br />bukan lebih banyak teori lagi, tapi cara mengupas dan menyerap esensi <br />karya seni dengan cara sangat alami. <br />  <br /> Penelaahan yang terlalu kritis pada sebuah karya seni akan <br />menakutkan para pemula dan pencinta seni mendekati seni itu, seperti <br />yang sudah terjadi di Amerika: banyak mahasiswa merasa tak punya <br />kualifikasi menikmati puisi Ezra Pound atau TS Eliot. Tujuan utama <br />suatu karya seni adalah ia bisa dinikmati lapisan permukaan dan <br />dihargai lebih dalam sewaktu ia dikupas lapisan lain. Semua karya <br />seni yang berhasil sukses karena semua elemen dalam karya itu hold <br />true, bentuknya boleh tidak menyatu tapi konsisten dan mencerminkan <br />visi individualisme sang pencipta.</p> <p>Dengan membebaskan karya sastra dari akademisasi berlebihan, <br />mungkin ia bisa berkembang lebih baik. Di masa yang didominasi oleh <br />media elektronik dan mainan virtual ini, banyak distraksi kehidupan <br />yang jadi penghalang bagi perkembangan sastra. Untuk bisa bersaing <br />dengan media elektronik, sekelompok penulis muda yang terdiri dari <br />Alex Garland, novelis The Beach, dan 14 rekannya dari Inggris <br />memproklamasikan manifesto baru yang diterbitkan dalam buku All Hail <br />the New Puritans. Berikut butir-butir manifesto itu: <br /> <br /><strong> 1</strong>. Kepada pengrajin cerita, terutama, kami patuh pada bentuk narasi <br /><strong>2</strong>. Kami adalah penulis prosa dan tahu bahwa prosa adalah bentuk <br />ungkapan dominan. Karena itu, kami menghindari puisi dan lisensi <br />puitis dalam bentuk apa pun. <strong>3</strong>. Walau mengakui nilai sebuah genre <br />fiksi, dalam bentuk klasik atau modern, kami akan selalu bergerak <br />menuju ungkapan-ungkapan baru, menghancurkan ekspektasi genre yang <br />ada. <strong>4.</strong> Kami percaya pada kesederhanaan teks dan berjanji akan <br />menghindari segala alat pengungkapan: retorika maupun teknik <br />pengomentaran serampangan pengarang.<strong> 5</strong>. Atas nama kejernihan, kami <br />mengakui pentingnya prosa linier dan menghindari kilas balik, narasi <br />tempo ganda, dan teknik foreshadowing, serta menanamkan simbol- <br />simbol pada awal narasi.<strong> 6.</strong> Kami percaya akan kemurnian gramatika dan <br />menghindari tanda-tanda baca rumit <strong>7</strong>. Kami mengakui bahwa karya yang <br />diterbitkan juga merupakan dokumen bersejarah. Sebagai fragmen dari <br />masa kita, semua teks tercatat dalam waktu dan berpacu pada masa ini. <br />Semua produk, lokasi, seniman, dan objek yang disebut adalah seperti <br />yang sebenarnya. <strong>8.</strong> Sebagai representasi setia pada zaman ini, semua <br />teks akan menghindari spekulasi yang muskil atau yang tak dapat <br />dipastikan tentang masa lampau atau masa depan. <strong>9.</strong> Kami semua <br />moralis, jadi semua teks merangkum suatu realitas etika yang mudah <br />dikenal.<strong> 10</strong>. Walau demikian, tujuan utama kami adalah integritas <br />ekspresi diletakkan di atas dan terlepas dari komitmen apa pun pada <br />bentuk. <br />  <br /> Ada beberapa butir dalam manifesto ini yang tak saya setujui. Butir <br /><strong>5</strong> yang mengacu pada keberatan pada linear temporal satu arah tanpa <br />kilas balik atau narasi ganda suara. Butir 8 yang menganjurkan agar <br />penulis menghindar dari spekulasi fantastis masa lampau atau masa <br />depan, yang sebenarnya lahan bagi penulis fiksi sains. Menurut saya, <br />kedua butir ini mengekang kebebasan penulis dalam berkreasi. Saya <br />sangat setuju dengan butir 2 yang menyatakan penulis sebaiknya <br />menghindari prosa puitis dalam karya prosa karena bahasa puitis <br />cenderung jadi distraksi dan menghambat kelancaran cerita. Yang <br />paling saya suka adalah butir 10: tujuan utama penulis prosa adalah <br />integritas ekspresi ketimbang komitmen pada bentuk. Jadi, <br />penekanannya pada integritas ekspresi, bukan kreativitas kata atau <br />permainan metafor. <br /> <br /> Seperti juga Karr yang membebaskan rasa takut saya terhadap puisi <br />The Waste Land, saya juga ingin pecinta sastra di negeri kita tidak <br />ditakut-takuti oleh Nirwan Dewanto atau ahli sastra di universitas <br />yang sering mengintelektualkan sastra. Mungkin ini reaksi berlebihan <br />dari seorang penulis. Saya kadang suka terkagum-kagum mendengar <br />analisis seorang kritikus. Begitu dahsyat analisisnya hingga penulis <br />sastra tiba-tiba terheran sendiri, "Oh ya, saya benar menulisnya <br />seperti itu?"</p> <p> <br /> Saya juga mengerti paham yang mengatakan begitu sebuah karya lepas <br />dari penulisnya, ia punya nyawa sendiri. Pramoedya Ananta Toer <br />menggambarkan buku-buku yang ia tulis sebagai anak-anak spiritualnya. <br />Dalam perjalanan hidup mereka, ada yang berhasil, makmur, dan tak <br />berhasil. Biarkan anak-anak spiritual penulis ini mengembara terus <br />dan mencari pembacanya masing-masing. Seperti juga Siddharta yang <br />memilih mendapat pelajaran tentang hidup dengan mengarungi kehidupan <br />itu sendiri, tak seperti temannya, Govinda, yang memilih belajar dari <br />seorang guru bijak, namun hingga akhir hidupnya tak menemukan <br />pencerahan, pembaca sastra sendiri yang menentukan nasib anak-anak <br />spiritual penulis. <br /></p> <p> RICHARD OH Direktur Toko Buku QB <br />Tulisan ini disajikan pada sidang pleno Konferensi Himpunan Sarjana <br />Kesusastraan Indonesia di Manado, 25-27 Agustus 2004.</p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-27988681282155754532010-08-31T20:32:00.001-07:002010-08-31T20:32:23.627-07:00Puisi-puisi Taufik Ismail<p>MALU [Aku] JADI ORANG INDONESIA <br />1998 <br />I </p> <p>Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga <br />Ke Wisconsin aku dapat beasiswa <br />Sembilan belas lima enam itulah tahunnya <br />Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia <br />Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia <br />Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda <br />Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya, <br />Whitefish Bay kampung asalnya <br />Kagum dia pada revolusi Indonesia <br />Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya <br />Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama <br />Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya <br />Dadaku busung jadi anak Indonesia <br />Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy <br />Dan mendapat Ph.D. dari Rice University <br />Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army <br />Dulu dadaku tegap bila aku berdiri <br />Mengapa sering benar aku merunduk kini </p> <p>II </p> <p>Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak <br />Hukum tak tegak, doyong berderak-derak <br />Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak, <br />Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza <br />Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia <br />Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata <br />Dan kubenamkan topi baret di kepala <br />Malu aku jadi orang Indonesia. </p> <p>III </p> <p>Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu, <br />Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi <br />berterang-terang curang susah dicari tandingan, <br />Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu <br />dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek <br />secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu, <br />Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan, <br />senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan <br />peuyeum dipotong birokrasi <br />lebih separuh masuk kantung jas safari, <br />Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal, <br />anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden, <br />menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati, <br />agar orangtua mereka bersenang hati, <br />Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum <br />sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas <br />penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan, <br />Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan <br />sandiwara yang opininya bersilang tak habis <br />dan tak utus dilarang-larang, <br />Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata <br />supaya berdiri pusat belanja modal raksasa, <br />Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah, <br />ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, <br />sekarang saja sementara mereka kalah, <br />kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka <br />oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat, <br />Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia <br />dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, <br />kabarnya dengan sepotong SK <br />suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi, <br />Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, <br />lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman, <br />Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja, <br />fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar, <br />Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat <br />jadi pertunjukan teror penonton antarkota <br />cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita <br />tak pernah bersedia menerima skor pertandingan <br />yang disetujui bersama, </p> <p>Di negeriku rupanya sudah diputuskan <br />kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa, <br />lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil <br />karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta, <br />sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja, <br />Di negeriku ada pembunuhan, penculikan <br />dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh, <br />Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng, <br />Nipah, Santa Cruz dan Irian, <br />ada pula pembantahan terang-terangan <br />yang merupakan dusta terang-terangan <br />di bawah cahaya surya terang-terangan, <br />dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai <br />saksi terang-terangan, <br />Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, <br />tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang <br />menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi. </p> <p>IV </p> <p>Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak <br />Hukum tak tegak, doyong berderak-derak <br />Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak, <br />Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza <br />Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia <br />Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata <br />Dan kubenamkan topi baret di kepala <br />Malu aku jadi orang Indonesia <br /></p> <p> </p> <p> </p> <p>12 MEI 1998 </p> <p>Empat syuhada berangkat pada suatu <br />malam, gerimis air mata <br />tertahan di hari keesokan, telinga kami <br />lekapkan ke tanah kuburan <br />dan simaklah itu sedu sedan <br />Mereka anak muda pengembara tiada <br />sendiri, mengukir reformasi <br />karena jemu deformasi, dengarkan saban <br />hari langkah sahabat- <br />sahabatmu beribu menderu-deru, <br />Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu <br />Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom <br />abad duapuluh satu <br />Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi <br />kalian tertinggi di Trisakti bahkan di seluruh negeri, karena <br />kalian berani mengukir <br />alfabet pertama dari kata reformasi-damai <br />dengan darah <br />arteri sendiri, <br />Merah putih yang setengah tiang ini, merunduk <br />di bawah garang <br />matahari tak mampu mengibarkan diri <br />karena angin lama <br />bersembunyi, <br />Tapi peluru logam telah kami patahkan <br />dalam doa bersama, dan kalian <br />pahlawan bersih dari dendam, karena jalan <br />masih jauh <br />dan kita perlukan peta dari Tuhan </p> <p>Republika, <br />16 Agustus 1998 <br />Sajak-sajak Reformasi Indonesia <br />Taufik Ismail </p> <p> </p> <p> </p> <p>TAKUT 66, TAKUT 98 <br />Oleh : <br />Taufiq Ismail </p> <p>Mahasiswa takut pada dosen <br />Dosen takut pada dekan <br />Dekan takut pada rektor <br />Rektor takut pada menteri <br />Menteri takut pada presiden <br />Presiden takut pada mahasiswa </p> <p>1998 <br />Republika Online edisi : 07 Juni 1998 1999 <br /></p> <p> </p> <p>DENGAN PUISI INI, AKU </p> <p>Dengan puisi aku bernyanyi <br />Sampai senja umurku nanti <br />Dengan puisi aku bercinta <br />Berbatas cakrawala <br />Dengan puisi aku mengenang <br />Keabadian Yang Akan Datang <br />Dengan puisi aku menangis <br />Jarum waktu bila kejam mengiris <br />Dengan puisi aku mengutuk <br />Nafas zaman yang busuk <br />Dengan puisi aku berdoa <br />Perkenankanlah kiranya. </p> <p>1965 <br /></p> <p> </p> <p>HARMONI <br />1966 </p> <p>Enam barikade telah dipasang <br />Pagi ini <br />Ketlka itu langit pucat <br />Di atas Harmoni </p> <p>Senjata dan baju-baju perang <br />Depan kawat berduri <br />Kota yang pengap <br />Gellsah menanti </p> <p>Bendera setengah tiang <br />Di atas Gayatri <br />Seorang ibu menengadah <br />Menyeka matanya yang basah. <br /></p> <p> </p> <p>BENTENG <br />1966 </p> <p>Sesudah siang panas yang meletihkan <br />Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas <br />Dan kita kembali ke kampus ini berlindung <br />Bersandar dan berbaring, ada yang merenung </p> <p>Di lantai bungkus nasi bertebaran <br />Dari para dermawan tidak dikenal <br />Kulit duku dan pecahan kulit rambutan <br />Lewatlah di samping Kontingen Bandung <br />Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana <br />Semuanya kumal, semuanya terbakar matahari <br />Semuanya letih, semuanya tak bicara <br />Tapi kita tidak akan terpatahkan <br />Oleh seribu senjata dari seribu tiran </p> <p>Tak sempat lagi kita pikirkan <br />Keperluan-keperluan kecil seharian <br />Studi, kamar-tumpangan dan percintaan <br />Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam <br />Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam. <br /></p> <p> </p> <p>MEMBACA TANDA-TANDA </p> <p>Kita saksikan Gunung memompa abu, </p> <p>Abu membawa batu, </p> <p>Batu membawa lindu, </p> <p>Lindu membawa longsor, </p> <p>Longsor membawa air, </p> <p>Air membawa banjir, </p> <p>Banjir membawa air, Air Mata </p> <p> </p> <p> </p> <p>KEMIS PAGI </p> <p>Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan </p> <p>Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran </p> <p>Dan menaiki kereta-kereta kencana </p> <p>Dan menggunakan materai kerajaan </p> <p>Dengan suara lantang memperatas-namakan </p> <p>Kawula dukana yang berpuluh-juta </p> <p>Hari ini kita serahkan mereka </p> <p>Untuk digantung ditiang Keadilan </p> <p>Penyebar bisa fitna dan dusta durjana </p> <p>Bertahun-tahun lamanya. </p> <p>Mereka yang merencanakan seratus mahligai raksasa </p> <p>Membeli benda-benda tanpa-harga dimanca-negara </p> <p>Dan memperoleh uang emas beratus juta </p> <p>Bagi diri sendiri, dibank-bank luar negeri <br /></p> <p> </p> <p>KITA ADALAH PEMILIK SAH REPUBLIK INI <br />1966 </p> <p>Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus </p> <p>Berjalan terus </p> <p>Karena berhenti atau mundur </p> <p>Berarti hanyut </p> <p>Apakah akan kita jual keyakinan kita </p> <p>Dalam pengabdian tanpa harga </p> <p>Akan maukah kita duduk satu meja </p> <p>Dengan para pembunuh tahun yang lalu </p> <p>Dalam setiap kalimat yang berakhiran: </p> <p>“Duli Tuanku”? </p> <p>Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus </p> <p>Berjalan terus </p> <p>Kita adalah manusia bermata sayu, yang ditepi jalan <br /></p> <p> </p> <p>DOA </p> <p>Tuhan kami </p> <p>Telah nista kami dalam dosa bersama </p> <p>Bertahun membangun kultus ini </p> <p>Dalam pikiran yang ganda </p> <p>Dan menutupi hati nurani </p> <p>Ampunilah kami </p> <p>Ampunilah </p> <p>Amin </p> <p>Tuhan kami </p> <p>Telah terlalu mudah kami </p> <p>Menggunakan asmaMu </p> <p>Bertahun di negeri ini </p> <p>Semoga </p> <p>Kau rela menerima kembali </p> <p>Kami dalam barisanMu </p> <p>Ampunilah kami </p> <p>Ampunilah </p> <p>Amin. </p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-11460226249283950232010-08-29T10:24:00.000-07:002010-08-29T10:36:59.843-07:00Sejarah Ringkas ImajismeGERAKAN Imajis melibatkan para penyair di Inggris dan Amerika pada awal Abad ke-20. Mereka menulis sajak bebas dan mempersembahkannya untuk "kejernihan ekspresi melalui pemakaian ketepatan imaji-imaji visual."<br /><br />GERAKAN ini disemikan dari ide T.E. Hulme, yang di awal tahun 1908 membahas pada sebuah Klub Puisi di London sebuah puisi yang ditulis berdasarkan penggambaran dengan akurat subyek setepat-tepatnya, tak ada kata-kata berlebihan yang tak berguna. Ezra Pound memproklamasikan gerakan ini pada tahun 1912. Kala itu dia membaca sebuah sajak Hilda Doolittle, dan menyebutnya sebagai "H.D. Imagiste" lalu mengirimnya ke Harriet Monroe di Majalah Poetry.<br /><br />RUKUN iman pertama dari manifesto gerakan Imajis adalah "Menggunakan bahasa dari percakapan yang umum, tapi selalu memberdayakan kata yang setepatnya kata, bukan kata yang hampir-tepat, bukan kata-kata dekoratif belaka."<br /><br />CONTOH yang kerap disebut adalah puisi Ezra Pound berikut ini:<br /><br /> Di Stasiun Metro<br /><br /> Di kerumun orang, wajah-wajah menyelinap hilang;<br /> Basah kelopak kembang, di hitam cabang-cabang.<br /><br /><br /><br />Sajak ini dimulai dari wajah-wajah pemandangan di statiun bawah tanah yang gelap lalu lalu membawa pada pandangan lain dengan menyejajarkan dengan imaji yang lain. Dari situ hadir metafora yang membangkitkan penemuan intutitif yang tajam untuk meraih esensi kehidupan.<br /><br />EZRA Pound mendefinisikan imaji sebagai "apa yang padanya, dalam waktu sekilas seketika, menghadirkan sebuah kompleksitas emosi dan intelektual". Puisi Imajis, dirumuskannya antara lain sebagai: Puisi dengan memperlakukan langsung "sesuatu", sebagai subyek atau obyek; dan Mutlakiah menggunakan, tak satupun kata yang tak memberikan sumbangan makna.<br /><br />ANTOLOGI puisi Imajis terbit 1914 berisi karya-karya William Carlos Williams, Richard Aldington, dan James Joyce, serta H.D. dan Pound. Penyair Imajis lainnya adalah F. S. Flint, D. H. Lawrence, dan John Gould Fletcher. Setelah antologi itu terbit, Amy Lowell dipandang sebagai pemimpin gerakan tersebut. Tahun 1917 gerakan imajis dianggap sudah berakhir tetapi idenya terus memberi pengaruh menembus abad 20. Dokrtin puisi imajis, sadar atau tidak banyak mempengaruhi puisi-puisi karya penyair Indonesia.<br /><br />sumber:http://sejuta-puisi.blogspot.com/2006/08/sejarah-ringkas-imajisme-gerakan.htmlUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-89799732778925628632010-08-29T10:03:00.000-07:002010-08-29T10:08:21.093-07:00<span style="font-weight:bold;">SUMBER: TEROKA KOMPAS</span><br /><span style="font-weight:bold;">Lirisisme dan Tubuh yang "Mata Bahasa"</span><br /><br />Sabtu, 23 Agustus 2008 | 01:08 WIB<br /><br />Apa yang harus digugat dengan imperium puisi liris di Indonesia? Apakah karena kita mulai takut bahwa bahasa Indonesia sedang tenggelam oleh globalisasi bahasa-bahasa internasional, oleh hancurnya perilaku politik nasional, oleh kebingungan memandang masa lalu dan masa depan?<br /><br />Pak Sarip, di Stren Kali Surabaya, meninggalkan desanya di Mojokerto karena menurutnya desa sudah bangkrut. Di kota, dia hidup miskin. Pak Sarip hampir tidak memiliki kehidupan sosial dan ruang aktualisasi sosial dengan warga kampung.<br /><br />Saya mencoba memintanya menyanyikan lagu berbahasa Jawa yang masih diingatnya. Tiba-tiba wajah dan tubuhnya seperti baru saja hadir di depan saya menjadi tubuh yang hidup. Dia mulai menyanyi dengan gerak tubuh yang berusaha mengikuti irama yang dinyanyikan. Geraknya seperti alang-alang yang tertiup angin.<br /><br />Pak Sarip, di kota menghadapi dua hal sekaligus: Pertama, kebangkrutan desa itu berlanjut lewat formalisme kota yang tidak bisa menerima kehadiran warga seperti Pak Sarip yang tidak memiliki pendidikan, akses pekerjaan, modal, dan pemukiman.<br /><br />Kedua, konstruksi budaya yang dibawanya dari desa, yang hidup dalam tubuhnya, harus berhadapan dengan gaya hidup kosmopolitan yang menuntut tubuh yang lain. Akhirnya tubuh Pak Sarip ikut tenggelam bersama konstruksi budaya masa lalu yang membentuknya. Tubuh desa dan tubuh agrarisnya tidak mampu mengakses tubuh kosmopolitan.<br /><br />”Pak Sarip, kenapa tidak kembali ke desa?”<br /><br />”Di desa sudah tidak ada apa-apa lagi,” jawabnya. Jawaban untuk mengatakan bahwa sisa hidupnya sebenarnya hanya tinggal bertahan untuk bisa makan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Bertahan dalam bahasa</span><br /><br />Bahasa, sejarah, dan seni memberikan kepada kita imajinasi tentang kehidupan bersama, waktu dan ruang yang kita kenali, penghormatan kepada bendera kebangsaan dan foto keluarga, termasuk membuat wacana terhadap tubuh. Karena itu Amir Hamzah percaya, walaupun Malaka direbut Portugis, selama bahasa Melayu dijaga lewat pantun dan syair, bangsa Melayu tidak akan hancur.<br /><br />Di Desa Tutup Ngisor, lereng Gunung Merapi, masyarakat juga masih percaya, orang Jawa belum menjadi Jawa kalau tidak bisa nembang atau nabuh gamelan. Bahasa Jawa diajarkan kepada anak-anak lewat kesenian dan sastra yang mereka miliki, yang memperlihatkan bahwa bahasa tidak semata-mata soal tata bahasa. Masyarakat Bali, termasuk Dayak, juga masih melakukan hal yang sama.<br /><br />Lalu, apa yang kita cemaskan dengan lirisisme?<br /><br />Hampir seluruh budaya tradisi kita sebenarnya ditopang oleh lirisisme. Estetika ini pada awalnya hampir tidak terpisahkan dengan teologi masyarakat tradisi, yang sebagian besar hidup dalam budaya agraris. Estetika di mana ”aku” belum dibaca sebagai ”aku-individu”, masih sebagai ”aku-bersama”.<br /><br />Estetika lirisisme diturunkan hampir ke seluruh pernik-pernik kebudayaan dari pakaian (batik atau songket, misalnya), senjata (keris, misalnya) hingga ukiran-ukiran untuk rumah.<br /><br />Lirisisme seakan-akan lahir dari masyarakat yang sudah melampaui masalah-masalah ekonomi dan politik.<br /><br />Dalam masyarakat budaya lisan, lirisisme merupakan produk dari ”bagian-dalam” budaya lisan: inside dari budaya lisan itu sendiri. Dan folklore sebagai outside-nya. Karena itu, lirisisme seperti memiliki watak kromonisasi yang berlangsung di dalamnya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Aku yang individu</span><br /><br />Perubahan ekonomi untuk pengembangan investasi, penguasaan terhadap sumber-sumber alam yang melahirkan kolonialisme, membuat prosedur baru terhadap posisi ”aku” menjadi ”aku-individu” yang mengubah dan menaklukkan.<br /><br />”Aku-liris” tidak siap berhadapan dengan ”aku-modern” seperti ini. Rustam Effendi dan Sutan Takdir Alisjahbana mengatakannya sebagai kebudayaan yang kalah yang harus ditinggalkan, seperti melemparkan seruling dan pantun.<br /><br />Chairil Anwar menjadi penting karena dialah yang kemudian berhasil mengubah sifat mendasar dari estetika lirisisme ini dengan munculnya ”aku-individu” yang penuh luka, sudah jadi binatang. Chairil Anwar tiba-tiba menjadi sebuah perayaan baru dalam sastra Indonesia.<br /><br />Lirisisme yang menjadi nakal dan sehari-hari pada puisi-puisi Rendra maupun Subagio Sastrowardoyo, lirisisme yang berjalan ke mana-mana yang dibawa oleh Sitor Situmorang. Juga harus disebut Ramadhan KH dengan Priangan Si Jelita-nya, Toto Sudarto Bachtiar dan Amarzan dengan puisi-puisi baladanya.<br /><br />Sapardi Djoko Damono, lewat jalan imajisme, tiba-tiba mengembalikan lirisisme kepada watak dasarnya sebagai ”aku-mistis”.<br /><br />Imajisme puisi-puisi Sapardi ”aku telah menjadi kata”, merupakan pembebasan baru di mana lirisisme memasuki medan penuh dengan imaji-imaji tak terduga.<br /><br />Lirisisme memang merupakan mainstream dalam puisi Indonesia modern, termasuk Yudhistira M Massardi, Sutardji Calzoum Bachri, maupun Wiji Thukul.<br /><br />Sementara itu, F Rahardi seperti dinding luar dari lirisisme yang tidak sepenuhnya berada di luar lirisisme, termasuk Darmanto Jt.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Afrizal Malna Penyair, menetap di Yogyakarta</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-56647816316535624912010-08-25T15:17:00.001-07:002010-08-25T15:17:38.922-07:00Puisi-puisi Kriapur<p> <br />KUPAHAT MAYATKU DI AIR</p> <p> <br />kupahat mayatku di air <br />namaku mengalir <br />pada batu dasar kali kuberi wajahku <br />pucat dan beku <br />di mana-mana ada tanah <br />ada darah <br />mataku berjalan di tengah-tengah <br />mencari mayatku sendiri <br />yang mengalir <br />namaku sampai di pantai <br />ombak membawa namaku <br />laut menyimpan namaku <br />semua ada di air</p> <p> <br />Solo, 1981</p> <p> </p> <p> <br />AKU INGIN MENJADI BATU DI DASAR KALI <br />Aku ingin menjadi batu di dasar kali <br />Bebas dari pukulan angin dan keruntuhan <br />Sementara biar orang-orang bersibuk diri <br />Dalam desau rumput dan pohonan <br />Jangan aku memandang keluasan langit tiada tara <br />seperti padang-padang tengadah <br />Atau gunung-gunung menjulang <br />Tapi aku ingin menjadi sekedar bagian <br />dari kediaman <br />Aku sudah tak tahan lagi melihat burung-burung pindahan <br />Yang kau bunuh dengan keangkuhanmu —yang mati terkapar <br />Di sangkar-sangkar putih waktu <br />O, aku ingin jadi batu di dasar kali</p> <p> <br />1982</p> <p> </p> <p> <br />NATAL BAGI MUSUH-MUSUHKU <br />aku tak mampu membeli daun-daun <br />ini fajar dengan bangunan dari air biru <br />membebaskan ketaklukan diriku <br />dan mereka yang terus mencari kematianku <br />kuterima dengan doa <br />dan bukan lagi musuhku</p> <p> <br />Solo, 1986</p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-86860251343685928632010-08-19T20:41:00.001-07:002010-08-19T20:41:36.902-07:00Inovasi dalam Cerpen Koran<p>Nenden Lilis A * <br />http://www2.kompas.com/</p> <p>NIRWAN Dewanto, pada periode 90-an, sempat memuji cerpen koran, “Harus kita akui, bahwa cerpen-cerpen terbaik di Indonesia selama lima tahun terakhir muncul di Kompas dan Matra, bukan di Horison.” (lihat Pengantar Nirwan Dewanto dalam Pelajaran Mengarang, Cerpen Pilihan Kompas 1993). Dalam pengantar yang sama, melihat kondisi cerpen koran pada saat itu, Nirwan pun sempat berkomentar bahwa ruang cerpen di surat kabar, betapa pun terbatas, menyediakan potensi penyegaran sastra yang tidak kecil.</p> <p>Akan tetapi, dalam tulisan, “Masih Perlukah Sejarah Sastra? (Kompas, 4/3/2000), Nirwan menulis kalimat yang agak mengejutkan, “…penulis yang ada sekarang hanya mampu menghasilkan cerpen koran.” Tersirat pada peremehan terhadap mutu cerpen koran dalam kalimat tersebut.</p> <p>Sikap Nirwan yang seolah berbalik di atas memang mengherankan. Namun perlu segera disadari bahwa cerpen koran memang telah lama dan telah banyak mendapat kritik yang tidak mengenakkan.</p> <p>Kritik yang ditujukan terhadap cerpen koran mengarah pada penilaian bahwa cerpen koran mengecewakan dari berbagai seginya, terutama dalam upaya melakukan pencapaian estetika.</p> <p>Salah satu hal yang dianggap menjadi penyebabnya adalah terbatasnya ruang (jumlah halaman) yang disediakan. Mengenai ruang ini, para pengamat maupun para penulis cerpen sering membandingkannya dengan majalah.</p> <p>Seperti diketahui bersama, pada awal perkembangannya (1945-1970-an), cerpen tumbuh dalam majalah. Terutama majalah kebudayaan/kesusastraan, seperti Pantja Raya, Zenith, Indonesia, Kisah, Sastra, Zaman Baru (majalah Lekra), Horison, Basis, dan lain-lain. Majalah-majalah tersebut memiliki visi-misi untuk pengembangan kebudayaan/kesusastraan. Dengan karakteristiknya ini, majalah-majalah tersebut memberikan ruang yang leluasa bagi cerpen. Longgarnya ruang ini diyakini merupakan faktor yang menyebabkan cerpen dapat melakukan eksplorasi dalam bidang estetika.</p> <p>Sekarang, seiring dengan kematian majalah, cerpen tumbuh dalam koran dengan ruangan yang terbatas. Terbatasnya ruang ini menjadi masalah tersendiri bagi para penulis cerpen, terutama penulis generasi cerpen majalah. Pendeknya, dari keterbatasan koran tersebut, para pengarang merasakan berbagai “kehilangan”. Adapun para pengamat merasakan berbagai penurunan kualitas, yang menimbulkan semacam keyakinan bahwa cerpen majalah lebih berhasil melakukan pencapaian estetika daripada cerpen koran.</p> <p>Harus diakui bahwa tak semua cerpen koran berhasil melakukan pencapaian estetika. Namun juga tak semua cerpen majalah berhasil melakukannya. Karya-karya dari cerpen majalah yang sering disebut berhasil melakukan pencapaian estetik tentunya hanya sebagian atau beberapa saja yang memang merupakan masterpiece. Begitu pula dengan cerpen koran. Tak semua cerpen koran bersifat lugas, topikal, dan permukaan. Banyak pula yang berhasil melakukan pencapaian estetik sekalipun ruangnya terbatas. Bahkan, pencapaian estetika dari cerpen koran, dapat dikatakan telah sampai pada tahap inovasi, seperti yang dilakukan Joni Ariadinata. <br />***</p> <p>INOVASI dalam karya sastra sudah terjadi sejak 1942-an tatkala konsep estetika Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru dirombak oleh angkatan 1945-an. Inovasi ini terjadi lagi tahun 1970-an, dan terjadi juga sekarang, terutama dalam bidang cerpen.</p> <p>Idrus adalah salah seorang pengarang yang sering dinyatakan sebagai pembaharu dalam bidang prosa. Ia adalah pemisah antara prosa zaman revolusi dengan angkatan Pujangga Baru. Inovasinya adalah hal isi, gaya dan penggunaan bahasa dianggap revolusioner. A. Teeuw dalam Sastra Baru Indonesia I (1980) pernah mengulas bahwa berbeda dengan angkatan Pujangga Baru yang mementingkan keindahan dan kehalusan, Idrus justru memilih kenyataan yang kejam, kasar, hal-hal yang menyinggung dan kata-kata yang dikemukakan kepada pembaca dengan cara yang agak menentang. Kekterusterangan dan kesederhanaan menjadi norma karya prosanya. Kalimat-kalimat yang digunakan dalam karyanya pendek-pendek dan bersahaja dengan kecenderungan terhadap pembentukan kalimat nominal. Kata dasar banyak menggantikan kata berimbuhan. Ia pun tak segan-segan memasukkan bahasa Jakarta-Jawa sehari-hari, dan bahasa-bahasa asing menggantikan bahasa Melayu resmi.</p> <p>Pada tahun 1970-an, inovasi terjadi dalam cara melihat kenyataan. Pada waktu itu, meminjam ungkapan Th Sri Rahayu Prihartini (Kompas, 14/6/1998), sastra realis “dirongrong” oleh para inovator seperti Putu Wijaya dan Danarto. Begitu pula segi estetika. Alur tidak harus terikat hukum kausalitas, peristiwa bukan hanya yang masuk akal, latar waktu tidak hanya terikat lampau dan kini, pencerita pun kadang-kadang tidak pasti kedudukannya.</p> <p>Pada Joni Ariadinata (salah seorang cerpenis yang tumbuh lewat koran), cerpen-cerpennya masih bersifat realis. Inovasinya ini nampak pada bidang bahasa. Dikatakan inovasi karena bahasa yang digunakan Joni berbeda dengan bahasa yang digunakan atau yang terdapat dalam karya-karya sastra sebelumnya dan karya sastra pada umumnya. Inovasi ini tidak tampak sebagai upaya “beraneh-aneh”, tetapi dilakukan dalam upaya untuk mengedepankan, mengaktualkan (foreground) sesuatu yang dituturkan sehingga pas dengan ide yang ingin disampaikan.</p> <p>Dalam menulis cerpen, Joni sangat mempertimbangkan kepekatan dan efektivitas bahasa. Kesungguhan dalam memperoleh kepekatan tersebut sejajar dengan cara penyair mengeksplorasi kata untuk puisi: mencari kata yang paling pas untuk suatu ide, mengupayakan tumbuhnya berbagai efek dari bahasa yang disajikannya sehingga terdengar bunyinya, terasa iramanya, terlihat bentuknya, dan seterusnya, seperti ini: Kalimas berdengung, lalat menemplek di tiang besi, tembok-tembok: air surut. Pada lumut tersembul, dan lumpur. Para keting -dagingnya tak enak -ikan betok berkecipluk memakan kotoran; bulet-bulet, warna hitam. Gelepok! Keciprak Mak Nil membuang sampah… (cerpen “Rumah Bidadari”).</p> <p>Selain upaya membuat efek seperti di atas, Joni cenderung tak mau berpanjang-panjang dengan kalimat dalam mendeskripsikan sesuatu. Ia cukup menyimpan satu kata atau satu frasa, tetapi efektif dalam memberi gambaran sesuatu. Bahkan demi efektivitas ini, Joni tak segan-segan melakukan penyimpangan kebahasaan. Pada umumnya berupa pemendekan kalimat, yakni pemenggalan kata-kata yang seharusnya merupakan satu kalimat menjadi beberapa kalimat sehingga terjadilah penghilangan (baca: pelesapan) unsur subjek, predikat atau objek. Pemendekan kalimat tersebut menjadikan bahasa dan informasi yang disampaikan lebih efektif. Kalimat-kalimat pendek (umumnya hanya terdiri atas satu kata atau frasa) ternyata mencapai efek estetis tertentu, yakni sekalipun hanya satu kata/frasa, tapi berbicara banyak. Lihatlah petikan berikut:</p> <p>Ini rumah. Cuma satu. Atap seng bekas, berkarat, triplek templek-templek, ditambal plastik, ada tikar: tentu, ember buat cebok. Dua ruang: satu untuk Siti, tak boleh diganggu gugat. Yang lain, tempat Mak Nil biasa kerja… Tak butuh jendela. Kalau masuk membungkuk. Sumpek. (Cerpen Rumah Bidadari).</p> <p>Dalam dialog, Joni pun tak mau berpanjang-panjang dengan kalimat penjelasan. Contohnya seperti ini: “Siti itu anakmu… Kuwalat!! Dasar bajingan. Kalian meniduri anakmu sendiri heh?! Ya Gustiii…” beledek.</p> <p>atau: “Aku tak ingin Mak diam di sini!” gelisah. “Aku ingin kau segera enyah dari sini,” diam.</p> <p>Satu kata, seperti beledek, gelisah, diam, bagi Joni cukup menjelaskan situasi/suasana, gerak-gerik tokoh, atau siapa yang bicara. <br />***</p> <p>BEGITULAH, ternyata dari tumpukan keluhan dan kekesalan terhadap mutu cerpen koran, kita menemukan mutiara yang terpendam jauh di dasar samudra sastra. Ia tak akan kita temukan jika hanya mencari di atas permukaan. Kita harus menyelaminya terlebih dahulu hingga ke dasarnya untuk menemukan kelebihan dan eksplorasi-eksplorasi yang ada. Di sini pula terlihat bahwa persoalan eksplorasi estetika tidak selalu tergantung pada ruangan. Apalagi kini terlihat tak ada perbedaan mencolok antara cerpen majalah dan cerpen koran. Sastra adalah sastra di manapun ia berada. ***</p> <p>*) Nenden Lilis A, cerpenis.</p> <p>Sumber: <a title="http://www.sastra-indonesia.com/2009/03/inovasi-dalam-cerpen-koran/" href="http://www.sastra-indonesia.com/2009/03/inovasi-dalam-cerpen-koran/">http://www.sastra-indonesia.com/2009/03/inovasi-dalam-cerpen-koran/</a></p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-66783537907591854542010-08-14T15:18:00.001-07:002010-08-14T15:18:38.518-07:00Robohnya Surau Kami (A.A.Navis)<p> </p> <p><strong>ROBOHNYA SURAU KAMI</strong> </p> <p>1 <br /> <br />Kalau beberapa  tahun yang  lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan <br />akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di  jalan <br />kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. <br />Dan di ujung  jalan nanti akan Tuan  temui sebuah surau  tua. Di depannya ada kolam  ikan,  yang <br />airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. <br />Dan  di  pelataran  kiri  surau  itu  akan  Tuan  temui  seorang  tua  yang  biasanya  duduk  di  sana <br />dengansegala  tingkah  ketuaannya  dan  ketaatannya  beribadat. Sudah  bertahun-tahun  ia  sebagai <br />garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek. <br />Sebagai penajag surau, Kakek  tidak mendapat apa-apa.  Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya <br />sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari <br />kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin <br />ia  tak  begitu  dikenal.  Ia  lebih  di  kenal  sebagai  pengasah  pisau. Karena  ia  begitu mahir  dengan <br />pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan <br />apa-apa.  Orang-orang  perempuan  yang  minta  tolong  mengasahkan  pisau  atau  gunting, <br />memberinya  sambal  sebagai  imbalan.  Orang  laki-laki  yang  minta  tolong,  memberinya  imbalan <br />rokok,  kadang-kadang  uang.  Tapi  yang  paling  sering  diterimanya  ialah  ucapan  terima  kasihdan <br />sedikit senyum. <br />Tapi kakek ini sudah tidak ada  lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa <br />penjaganya.  Hingga  anak-anak  menggunakannya  sebagai  tempat  bermain,  memainkan  segala <br />apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan <br />dinding atau lantai di malam hari. <br />Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian <br />yang  bakal  roboh.  Dan  kerobohan  itu  kian  hari  kian  cepat  berlangsungnya.  Secepat  anak-anak <br />berlari di dalamnya,  secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan  yang  terutama  ialah  sifat <br />masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi. <br />Dan  biang  keladi  dari  kerobohan  ini  ialah  sebuah  dongengan  yang  tak  dapat  disangkal <br />kebenarannya. Beginilah kisahnya. <br />Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku <br />suka memberinya  uang.  Tapi  sekali  ini  Kakek  begitu muram.  Di  sudut  benar  ia  duduk  dengan <br />lututnya menegak menopang  tangan  dan  dagunya.  Pandangannya  sayu  ke  depan,  seolah-olah <br />ada  sesuatu  yang  yang mengamuk  pikirannya.  Sebuah  belek  susu  yang  berisi minyak  kelapa, <br />sebuah  asahan  halus,  kulit  sol  panjang,  dan  pisau  cukur  tua  berserakan  di  sekitar  kaki  Kakek. <br />Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah  salamku  tak disahutinya  seperti <br />saat  itu.  Kemudian  aku  duduk  disampingnya  dan  aku  jamah  pisau  itu.  Dan  aku  tanya  Kakek, <br />"Pisau siapa, Kek?" <br />"Ajo Sidi." <br />"Ajo Sidi?" <br />Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan <br />aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang <br />dengan bualannya  yang aneh-aneh  sepanjang hari. Tapi  ini  jarang  terjadi karena  ia begitu sibuk <br />dengan  pekerjaannya.  Sebagai  pembual,  sukses  terbesar  baginya  ialah  karena  semua  pelaku- <br />pelaku  yang  diceritakannya  menjadi  model  orang  untuk  diejek  dan  ceritanya  menjadi  pameo <br />akhirnya.  Ada-ada  saja  orang-orang  di  sekitar  kampungku  yang  cocok  dengan  watak  pelaku- <br />pelaku ceritanya. Ketika sekali  ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada <br />pula  seorang  yang  ketagihan  menjadi  pemimpin  berkelakuan  seperti  katak  itu,  maka  untuk <br />selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak. <br />Tiba-tiba  aku  ingat  lagi  pada  Kakek  dan  kedatang  Ajo  Sidi  kepadanya.  Apakah  Ajo  Sidi  telah <br />membuat  bualan  tentang Kakek? Dan  bualan  itukah  yang mendurjakan Kakek? Aku  ingin  tahu. <br />Lalu aku tanya Kakek lagi. "Apa ceritanya, Kek?" <br />"Siapa?" <br />"Ajo Sidi." <br />"Kurang ajar dia," Kakek menjawab. <br />"Kenapa?" <br />"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya." <br />"Kakek marah?" <br />"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah  lama <br />aku  tak marah-marah  lagi. Takut aku kalau  imanku  rusak  karenanya,  ibadatku  rusak karenanya. <br />Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku <br />menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal." <br />Ingin  tahuku  dengan  cerita  Ajo  Sidi  yang  memurungkan  Kakek  jadi memuncak.  Aku  tanya  lagi <br />Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?" <br />Tapi  Kakek  diam  saja.  Berat  hatinya  bercerita  barangkali.  Karena  aku  telah  berulang-ulang <br />bertanya,  lalu  ia  yang bertanya padaku,  "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah <br />disini.  Sedari  mudaku,  bukan?  Kau  tahu  apa  yang  kulakukan  semua,  bukan?  Terkutukkah <br />perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?" <br />Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia <br />takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.  <br />"Sedari muda  aku  di  sini,  bukan?  Tak  kuingat  punya  isteri,  punya  anak,  punya  keluarga  seperti <br />orang  lain,  tahu?  Tak  kupikirkan  hidupku  sendiri.  Aku  tak  ingin  cari  kaya,  bikin  rumah.  Segala <br />kehidupanku,  lahir  batin,  kuserahkan  kepada  Allah  Subhanahu  wataala.  Tak  pernah  aku <br />menyusahkan  orang  lain.  Lalat  seekor  enggan  aku  membunuhnya.  Tapi  kini  aku  dikatakan <br />manusia  terkutuk. Umpan  neraka. Marahkah  Tuhan  kalau  itu  yang  kulakukan,  sangkamu? Akan <br />dikutukinya  aku  kalau  selama  hidupku  aku mengabdi  kepada-Nya?  Tak  kupikirkan  hari  esokku, <br />karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku <br />bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari  tidurnya,  supaya <br />bersujud  kepada-Nya.  Aku  sembahyang  setiap waktu. Aku  puji-puji Dia.  Aku  baca  Kitab-Nya.     <br />  Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya.     Astagfirullah kataku bila aku terkejut.    <br />  Masya  Allah  kataku  bila  aku  kagum.  Apa  salahnya  pekerjaanku  itu?  Tapi  kini  aku  dikatakan <br />manusia terkutuk." <br />Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, "Ia katakan Kakek begitu, Kek?" <br />"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya." <br />Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati <br />Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan <br />akhirnya Kakek bercerita lagi. <br />"Pada suatu waktu,  ‘kata Ajo Sidi memulai,  ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang  yang <br />sudah  berpulang. Para malaikat  bertugas  di  samping-Nya. Di  tangan mereka  tergenggam  daftar <br />dosa  dan  pahala  manusia.  Begitu  banyak  orang  yang  diperiksa.  Maklumlah  dimana-mana  ada <br />perang. Dan  di  antara  orang-orang  yang  diperiksa  itu  ada  seirang  yang  di  dunia  di  namai  Haji <br />Saleh. Haji Saleh  itu  tersenyum-senyum saja, karena  ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke <br />dalam  surga.  Kedua  tangannya  ditopangkan  di  pinggang  sambil  membusungkan  dada  dan <br />menekurkan  kepala  ke  kuduk.  Ketika  dilihatnya  orang-orang  yang  masuk  neraka,  bibirnya <br />menyunggingkan  senyum  ejekan.  Dan  ketika  ia  melihat  orang  yang  masuk  ke  surga,  ia <br />melambaikan  tangannya,  seolah  hendak  mengatakan  ‘selamat  ketemu  nanti’.  Bagai  tak  habis- <br />habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan <br />Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.  <br />Akhirnya  sampailah  giliran  Haji  Saleh.  Sambil  tersenyum  bangga  ia  menyembah  Tuhan.  Lalu <br />Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.  <br />‘Engkau?’  <br />‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’  <br />‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’  <br />‘Ya, Tuhanku.’  <br />‘apa kerjamu di dunia?’  <br />‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’  <br />‘Lain?’  <br />‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu. ’  <br />‘Lain.’  <br />‘Ya, Tuhanku,  tak ada pekerjaanku  selain daripada  beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut <br />nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku <br />selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’  <br />‘Lain?’  <br />Haji Saleh  tak dapat menjawab  lagi.  Ia  telah menceritakan segala yang  ia kerjakan. Tapi  ia  insaf, <br />pertanyaan  Tuhan  bukan  asal  bertanya  saja,  tentu  ada  lagi  yang  belum  di  katakannya.  Tapi <br />menurut  pendapatnya,  ia  telah  menceritakan  segalanya.  Ia  tak  tahu  lagi  apa  yang  harus <br />dikatakannya.  Ia  termenung  dan  menekurkan  kepalanya.  Api  neraka  tiba-tiba  menghawakan <br />kehangatannya  ke  tubuh Haji Saleh. Dan  ia menangis.  Tapi  setiap  air matanya mengalir,  diisap <br />kering oleh hawa panas neraka itu.  <br />‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.  <br />‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, <br />Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji <br />Tuhan  dengan  pengharapan  semoga  Tuhan  bisa  berbuat  lembut  terhadapnya  dan  tidak  salah <br />tanya kepadanya.  <br />Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’  <br />‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’  <br />‘Lain?’  <br />‘Sudah  kuceritakan  semuanya,  o,  Tuhanku.  Tapi  kalau  ada  yang  lupa  aku  katakan,  aku  pun <br />bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’  <br />‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’  <br />‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’  <br />‘Masuk kamu.’  <br />Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh  tidak mengerti kenapa <br />ia di bawa ke neraka.  Ia  tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan  ia percaya <br />Tuhan tidak silap.  <br />Alangkah  tercengang  Haji  Saleh,  karena  di  neraka  itu  banyak  teman-temannya  di  dunia <br />terpanggang  hangus, merintih  kesakitan.  Dan  ia  tambah  tak mengerti  dengan  keadaan  dirinya, <br />karena  semua orang  yang dilihatnya di neraka  itu  tak kurang  ibadatnya  dari  dia  sendiri. Bahkan <br />ada  salah seorang  yang  telah  sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu <br />Haji  Saleh  mendekati  mereka,  dan  bertanya  kenapa  mereka  dinerakakan  semuanya.  Tapi <br />sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.  <br />‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat, <br />teguh beriman? Dan  itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan- <br />Nya ke neraka.’  <br />‘Ya,  kami  juga  heran.  Tengoklah  itu  orang-orang  senegeri  dengan  kita  semua,  dan  tak  kurang <br />ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.  <br />‘Ini sungguh tidak adil.’  <br />‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.  <br />‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’  <br />‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’  <br />‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.  <br />‘Kalau  Tuhan  tak mau mengakui  kesilapan-Nya,  bagaimana?’  suatu  suara melengking  di  dalam <br />kelompok orang banyak itu.  <br />‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.  <br />‘Apa  kita  revolusikan  juga?’  tanya  suara  yang  lain,  yang  rupanya  di  dunia  menjadi  pemimpin <br />gerakan revolusioner.  <br />‘Itu  tergantung  kepada  keadaan,’  kata  Haji  Saleh.  ‘Yang  penting  sekarang,  mari  kita <br />berdemonstrasi menghadap Tuhan.’  <br />‘Cocok  sekali. Di dunia  dulu dengan  demonstrasi  saja, banyak  yang  kita perolah,’  sebuah  suara <br />menyela.  <br />‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.  <br />Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.  <br />Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’  <br />Haji  Saleh  yang  menjadi  pemimpin  dan  juru  bicara  tampil  ke  depan.  Dan  dengan  suara  yang <br />menggeletar dan berirama rendah,  ia memulai pidatonya:  ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami <br />yang  menghadap-Mu  ini  adalah  umat-Mu  yang  paling  taat  beribadat,  yang  paling  taat <br />menyembahmu.  Kamilah  orang-orang  yang  selalu menyebut  nama-Mu, memuji-muji  kebesaran- <br />Mu,mempropagandakan  keadilan-Mu,  dan  lain-lainnya. Kitab-Mu  kami  hafal  di  luar  kepala  kami. <br />Tak  sesat  sedikitpun  kami  membacanya.  Akan  tetapi,  Tuhanku  yang  Mahakuasa  setelah  kami <br />Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum  terjadi hal-hal yang <br />tak  diingini,  maka  di  sini,  atas  nama  orang-orang  yang  cinta  pada-Mu,  kami  menuntut  agar <br />hukuman  yang  Kaujatuhkan  kepada  kami  ke  surga  sebagaimana  yang  Engkau  janjikan  dalam <br />Kitab-Mu.’  <br />‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.  <br />‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’  <br />‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’  <br />‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’  <br />‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, <br />bukan?’ <br />‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena <br />fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa <br />Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.  <br />‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’  <br />‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’  <br />‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’  <br />‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’  <br />‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’  <br />‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’  <br />‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’  <br />‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’  <br />‘Di  negeri  yang  selalu  kacau  itu,  hingga  kamu  dengan  kamu  selalu  berkelahi,  sedang  hasil <br />tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’  <br />‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami <br />ialah menyembah dan memuji Engkau.’  <br />‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’  <br />‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’  <br />‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’  <br />‘Sungguhpun  anak  cucu  kami  itu melarat,  tapi mereka  semua  pintar mengaji.  Kitab-Mu mereka <br />hafal di luar kepala.’  <br />‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’  <br />‘Ada, Tuhanku.’  <br />‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang <br />harta bendamu kaubiarkan orang  lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau  lebih <br />suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya <br />raya,  tapi kau malas. Kau  lebih suka beribadat saja, karena beribadat  tidak mengeluarkan peluh, <br />tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. <br />Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. <br />hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!"  <br />Semua menjadi pucat pasi  tak berani berkata apa-apa  lagi. Tahulah mereka sekarang apa  jalan <br />yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya <br />di dunia  itu  salah atau  benar. Tapi  ia  tak berani bertanya  kepada Tuhan.  Ia  bertanya  saja  pada <br />malaikat yang menggiring mereka itu.  <br />‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.  <br />‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau  terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau  takut masuk <br />neraka,  karena  itu  kau  taat  sembahyang.  Tapi  engkau  melupakan  kehidupan  kaummu  sendiri, <br />melupakan  kehidupan  anak  isterimu  sendiri,  sehingga mereka  itu  kucar-kacir  selamanya.  Inilah <br />kesalahanmu  yang  terbesar,  terlalu  egoistis.  Padahal  engkau  di  dunia  berkaum,  bersaudara <br />semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’  <br />Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.  <br />Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.  <br />"Siapa yang meninggal?" tanyaku kagut.  <br />"Kakek."  <br />"Kakek?"  <br />"Ya.  Tadi  subuh Kakek  kedapatan mati  di  suraunya  dalam  keadaan  yang mengerikan  sekali.  Ia <br />menggoroh lehernya dengan pisau cukur."  <br />"Astaga!  Ajo  Sidi  punya  gara-gara,"  kataku  seraya  cepat-cepat  meninggalkan  istriku  yang <br />tercengang-cengang.  <br />Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.  <br />"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.  <br />"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"  <br />"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."  <br />"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo <br />Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang kemana dia?"  <br />"Kerja."  <br />"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.  <br />"Ya, dia pergi kerja." <br />                                                                                            ---******--- </p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-3200473339906049352010-08-14T00:37:00.001-07:002010-08-14T00:37:15.902-07:00Rumah Bercerita 460 Watt<p> </p> <p><strong>Cerpen: Afrizal Malna <br />Sumber: Kompas, Edisi 04/02/2006</strong> </p> <p>Hampir dua minggu ini bayanganku sibuk dengan rumah kontrakan kami yang baru. Hampir tak ada waktu untuk istirahat. Memperbaiki talang yang bocor, menggali lubang untuk resapan, membuat pagar bambu, mengecat kamar mandi, memperbaiki engsel pintu dan jendela, memasang kabel-kabel listrik. </p> <p>Tapi kapasitas listrik di rumah itu hanya 460 watt. Tidak cukup untukku hidup. Aku biasa hidup paling sedikit dengan listrik yang berkapasitas 900 watt. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana bisa hidup dengan 460 watt. Tapi aku akan mencobanya, hidup dengan 460 watt. Mungkin tanganku yang kanan tidak harus mendapatkan listrik. Biarkan tanganku yang kiri saja yang mendapatkan listrik, karena tanganku yang kanan lebih biasa kerja dengan tenaga alamiah, tidak terlalu membutuhkan listrik. </p> <p>Kepalaku yang botak selalu membutuhkan listrik yang lebih besar. Kadang aku <em>sebel</em>, karena kepalaku mengambil listrik terlalu banyak dibandingkan dengan tubuhku yang lain. Kalau listrik tiba-tiba mati, karena pemakaian yang berlebihan, aku langsung bisa menduga pasti itu karena kepalaku yang botak yang terlalu rakus dengan listrik. Karena sebel, kadang aku biarkan listrik tetap mati, lalu kepalaku mulai berwarna keabu-abuan seperti gusi pada kedua ekor anjingku. </p> <p>Uang yang dikeluarkan menjadi sangat besar untuk perbaikan rumah itu. Padahal aku mengontraknya hanya satu juta setahun. Sebagai seorang penulis, aku menjadi sangat kerepotan. Tak ada honor untuk kontrak rumah. Beberapa teman membantuku. Ah… Han, Boi, Katon, Wianta… tengkeyu. Jewe yang baru kukenal bersama istrinya yang sedang hamil ikut membantu sibuk-sibuk. He-he… tengkeyu. Tengkeyu, man. </p> <p>Tubuh bayanganku seperti awan gelap yang menyimpan hujan. Aku kadang cemas melihatnya bekerja berlebihan. Khawatir hujan tumpah dari tubuhnya. Dan aku tak tahu bagaimana mencegahnya bila terjadi banjir, walau sudah dibuatkan lubang resapan air sedalam enam buah bis beton. Hanya sekitar tiga meter dalamnya di halaman depan. Dan sebuah galian terbuka di halaman belakang.</p> <p>Rumah itu sebuah kubangan besar memang. Satu-satunya rumah yang berdiri sekitar tiga meter di bawah jalan raya. Kubangan terjadi karena tanah di atas rumah itu sebelumnya pernah disewakan untuk pembuatan batu bata. Tanah untuk pembuatan batu bata diambil langsung dari tanah yang disewakan itu. Terus dikeduk, sehingga terjadi sebuah kubangan besar. </p> <p>Di sebelah rumah, ada bilik sederhana berdiri, tempat seorang petani biasa beristirahat. Kadang aku seperti melihat bayangan hitam mirip binatang menyelinap ke dalam gubuk itu. Kadang aku ragu, apakah bayangan itu bayanganku sendiri yang melompat dari tubuhku untuk menyendiri dalam gubuk itu. Tapi tak ada siapa-siapa dalam gubuk itu, hanya sebuah bale tua terbuat dari bambu untuk tidur.</p> <p>Rumah ini sudah dua tahun kosong. Tak ada orang yang mengontrak. Sebelumnya pernah ditinggali sekelompok seniman musik dan perupa. Kehidupan mereka mirip dengan kaum yang berusaha mengusir negara dan agama dari tubuh mereka, termasuk mengusir rezim kesenian. Membiarkan tubuh mereka bebas tanpa rezim yang mendiktekan moralitas bikinan yang tidak sesuai dengan kodrati mereka sebagai manusia. Aku melihat mereka seperti sufi tanpa negara dan tanpa agama.</p> <p>Mereka tidak membuat garis perbedaan yang memisahkan antara rumah dan jalan raya. Maka rumah ini penuh dengan mural karya mereka, dari teras depan hingga kamar mandi; beberapa lukisan berjamur, timbunan pasir yang mengotorinya, dan sebuah tempat pembakaran dari tanah untuk memasak di tengah-tengah ruang. Dapur memang bisa berada di mana saja dalam rumah ini.</p> <p>Seorang teman bercerita, di antara lukisan itu terdapat lukisan seorang pelukis perempuan yang mengendarai motor menjelang pagi dalam keadaan mabuk, lalu mengalami kecelakaan dan mati. Pelukis perempuan itu sudah mati, tapi lukisannya masih ada. Ada di depanku. Lukisan tentang seorang penari balet yang terperangkap dalam panggung akrobat. </p> <p>Aku seperti melayang dalam ruang yang bersayap. Waktu yang membuat sebuah pintu, tapi aku tak tahu apakah pintu itu untuk ke luar atau untuk ke dalam. Mereka juga mungkin tidak membuat garis perbedaan yang memisahkan antara kehidupan dan kematian. Mungkin tubuh mereka seperti angin. Tidak sama dengan bayanganku yang seperti awan gelap dan menyimpan hujan. </p> <p>Sepasang anjing kami, Kopi dan Kremi, langsung kawin di rumah ini dan langsung hamil. Kadang mereka menggonggongi bayanganku. Kalau mereka menggonggong sedemikian rupa, kecemasanku muncul lagi. Aku khawatir awan hitam pada bayanganku menumpahkan hujan seperti langit yang berlubang.</p> <p>Lembab. Tembok seperti mengeluarkan keringat bukan karena panas, tetapi karena lembab. Beberapa genteng kaca dan bambu-bambu tua pada atapnya. Aku bisa melihat gerimis lewat genteng kaca itu, kadang kilatan-kilatan petir. Kalau hampir satu jam aku memandangi genteng-genteng kaca itu, aku mulai lupa apakah tubuhku terbaring di bawah memandang genteng-genteng kaca itu, atau tubuhku terbaring di atas dan genteng-genteng kaca itulah yang memandangiku.</p> <p>Antara aku dan genteng kaca, seperti sepasang mata yang hidup dalam sebuah boks. Sepasang mata itu saling berganti posisi memandang satu sama lainnya. Mata memandang mata. Mata memandang mata. Mata memandang mata. Dan mereka tidak bisa saling mendusta.</p> <p>Rasanya aku tak ingin punya kamar mandi. Dan mandi di ruang terbuka di halaman belakang. Orang lain mungkin akan melihatku telanjang, tapi aku melihat tubuhku sedang mandi, membersihkan diri dari kotoran. Rumah tanpa kamar mandi seperti sebuah legenda-legenda tua tentang bidadari yang mandi di sungai. Aku tak tahu apakah bidadari itu sungguh-sungguh mandi di sungai, atau sungai yang justru sedang mandi dalam tubuh bidadari-bidadari itu.</p> <p>Kira-kira 10 tahun yang lalu, aku pernah datang ke rumah ini. Rumah yang pernah dihuni Dadang Christanto, seorang perupa yang kini menetap di Australia sejak meletusnya reformasi. Dan banyak orang yang meninggalkan Jakarta atau meninggalkan Indonesia setelah itu. Dadang menyewa tanah ini selama 15 tahun, dan memasang dua buah rumah Jawa dalam ukuran kecil. Orang cerita bahwa Dadang membeli rumah Jawa itu harganya masih 650 ribu. Harga yang kini tidak cukup untuk hidup seminggu.</p> <p>Aku merasa betapa kian terpisahnya nilai uang dengan nilai barang. Uang dan barang kian tidak memiliki hubungan untuk mengukur hubungan antarmanusia. Rasanya hidup semakin sunyi dalam hubungan seperti ini. Kesunyian yang membuat kawat berduri dari leher kita hingga saat kita menyalakan kompor untuk memasak air. </p> <p>Air yang mendidih dalam panci sama dengan ketakutan yang berkeliaran di jalan raya. Betapa malangnya hidup ini, kalau kita hidup hanya untuk terus-terusan berhadapan dengan ketakutan.</p> <p>Bayang-bayangku mulai memasang pagar bambu. Menanam tanaman-tanaman liar yang aku ambil dari kebun sebelah. Kebun yang juga ketakutan setiap saat akan tergusur, lalu berdiri sebuah bangunan baru, entah untuk rumah atau untuk ruko. Dan rumah untuk air dan tanaman kian berkurang lagi, diambil oleh beton-beton.</p> <p>Lalu bayang-bayangku begitu sibuk membongkari setiap halaman yang sudah tertutup semen. Membongkari dengan rasa panik yang berlebihan, agar rumah tempat kami tinggal bisa berbagi halaman dengan air. Rasa panik agar kalau air datang tidak ikut tidur bersama kami dengan kasur dan bantal yang sama. Rasa panik kalau-kalau rumah kami berubah menjadi sebuah telaga kecil. </p> <p>“Dang, apakah rumah ini pernah mengalami banjir?” tanyaku kepada Dadang. Dadang ternyata juga sedang mencari rumah di Australia dalam waktu yang bersamaan dengan saat aku pindah ke rumahnya, karena dia harus pindah ke kota lain. </p> <p>“Ya, kalau hujan besar, air akan datang dari halaman depan dan halaman belakang. Rumah dari halaman sebelah juga ikut mengirim air ke halaman belakang,” jawab Dadang.</p> <p>Aku teringat 1.000 patung-patung Dadang yang dipasang dengan sebagian tubuh-tubuh patung itu tenggelam di laut, di Ancol, mungkin sekitar 15 tahun yang lalu. Sebuah instalasi yang mengingatkanku tentang manusia-manusia yang hidupnya dalam keadaan setengah tenggelam. Setengah tubuhnya ada di dalam air dan setengahnya lagi ada di luar. Manusia yang oleh keadaan tertentu harus hidup di antara sebagai ikan dan sebagai kodok. Sebagian tubuhnya yang berada di dalam air tidak bisa berenang seperti ikan. Dan sebagian lagi yang berada di luar air tidak bisa melompat seperti kodok. </p> <p>Aku tak tahu apakah patung-patung itu sekarang berada di dasar laut atau di sebuah museum di luar negeri. Tapi aku tak yakin ada museum yang terbuat dari laut, dan kita bisa melihat hempasan-hempasan ombaknya lewat kaca jendela museum. 1.000 patung Dadang ada di dalamnya, mungkin diberi judul: “Instalasi Manusia Pengungsi”.</p> <p>Rumah yang aku tempati kini mungkin juga sebuah museum. Museum untuk berbagai cerita dari para penghuni sebelumnya. Di antaranya seorang manajer untuk furnitur di Jepara. Manajer itu orang asing. Ketika dia meninggalkan rumah ini, dia juga meninggalkan sejumlah perabot antik yang kini raib entah ke mana. Aku jadi ikut ketakutan pompa listrikku akan hilang dicuri. Kalau ada yang mencuri pompa listrikku, aku harus kembali menimba air dari sumur. </p> <p>Rumah itu memang terus bercerita. Hampir setiap hari selalu ada tema baru yang muncul. Dan aku mulai kehabisan uang. Aku harus punya uang agar rumah itu terus bercerita. Ketika aku tak punya uang, rumah itu mirip dengan peti mati. Rumah itu memang hampir tak ada bedanya dengan peti mati. Kalau aku mati, pintu dan jendela-jendelanya tinggal ditutup, maka rumah itu pun telah berubah menjadi peti mati. </p> <p>Peti mati tidak memerlukan pintu dan jendela-jendela, bukan? Karena itu pintu dan jendela-jendelanya memang harus ditutup. </p> <p>Hmmm… </p> <p>Hmmm…</p> <p>He-he-he.</p> <p>Fit, sayangku, hari ini Petrus akan datang bersama Miko. Dia akan datang dengan sepeda yang stangnya tinggi melebihi kepalanya sendiri. Dia akan datang dengan sebotol Vodka, saxophon, dan sebuah harmonika. Dia akan bernyanyi tentang post-realisme. </p> <p>Bayang-bayangku mulai berubah jadi hujan. Hujan yang berjalan-jalan hingga ke kamar tidur kami. Air seperti tamu agung yang datang dari halaman depan dan halaman belakang. Air tak berdinding seperti makhluk buta memasuki rumah kami. Aku menyambutnya dengan ember-ember. Aku terus menggali setiap halaman yang masih bisa digali untuk tempat duduk air. Aku terus menggali.</p> <p>Dan rumah itu semakin dalam seperti sebuah sumur. Waktu terasa dingin, bergerak dari punggungku hingga jari-jari tanganku yang terus mengangkut tanah dengan ember. Perutku seperti tertekuk ke dalam, menahan beratnya tanah dalam ember yang telah bercampur dengan air. </p> <p>Aku sangat terkejut ketika tiba-tiba aku melihat bayang-bayang mataku sendiri yang dipantulkan cahaya di permukaan air sumur. Mata menatap mata. Aku yakin itu adalah bayangan mataku sendiri, dan bukan bayangan mata air. Kalau itu juga adalah bayangan mata air, maka aku harus menerima kenyataan bahwa air memiliki mata. </p> <p>Hujan mulai berhenti. Langit mulai terang, biru yang tipis dan warna yang masih keabu-abuan. Perlahan-lahan aku mulai melihat bayang-bayang timba sumur menggantung di atas. Talinya yang terbuat dari karet ban menjulur hingga permukaan sumur. </p> <p>……</p> <p>Aku melihat hidup. </p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-85651028282418344342010-08-14T00:35:00.001-07:002010-08-14T00:35:12.567-07:00Sajak-sajak Afrizal Malna [Kompas, Minggu, 6 Desember 2009]<p><strong></strong></p> <p><strong>kesepian di lantai 5 rumah sakit</strong> </p> <p>Lelaki itu menatapku setelah selesai mengucapkan doa. <br />Keningnya seperti mau berkata, apakah aku sedang membuat dusta? <br />Aku menghampirinya, dan mencium bibirnya. <br />Tubuh manusia itu sedih dan menyimpan bangkai masa lalu. <br />Tetapi keningnya mengatakan, <br />bahuku sakit dan bisa merasakan ciuman dari seluruh kesepian. </p> <p>Aku kembali mencium lelaki itu, <br />seperti jus tomat yang tidak tahu kenapa lelaki itu <br />berdoa dan sekaligus merasa telah berdusta. <br />Aku memeluk lelaki itu di lantai 5 sebuah rumah sakit. <br />Lelaki itu melihat ambulan datang <br />dan menerobos begitu saja ke dalam jantungnya. <br />Dia tidak yakin apakah ambulan itu apakah jantung itu. </p> <p>Lalu aku melompat dari lantai 5 rumah sakit itu, <br />lalu aku melihat tubuhku melayang, <br />batang-batang rokok berhamburan dari saku bajuku. <br />Aku melihat kesunyian meledak dari seragam seorang suster, <br />lalu aku tidak melihat ketika tiba-tiba aku <br />tidak bisa lagi merasakan waktu: <br />tuhan, jangan tinggalkan kesepian berdiri sendiri <br />di lantai 5 sebuah rumah sakit. <br />Lelaki itu tidak tahu apakah kematian itu <br />sebuah dusta tentang waktu dan tentang cinta. </p> <p>Lelaki itu kembali menatapku setelah selesai mengucapkan kesunyian, <br />dan membuat ladang bintang-bintang di kaca jendela rumah sakit. <br />Ciumannya seperti berkata, kesunyian itu, <br />tidak pernah berdusta kepadamu. <br />Aku lihat wajah lelaki itu, seperti selimut yang berbau obat-obatan. <br />Perangkap tikus di bawah bantal. <br />Dan kau tahu, akulah tahanan dari luka-lukamu. </p> <p> </p> <p><strong>khotbah di bawah tiang listrik</strong> </p> <p>Aku membiarkan malam membuat balok kayu di punggungku. <br />Angin berhembus seperti tiang gantungan yang menyeret talinya sendiri. <br />Seorang lelaki, setelah menutup pintu mobilnya, berlari ke tiang listrik. <br />Suara lubang dari tubuhnya <br />terdengar mengerikan seperti suara sel penjara jam 11 malam. <br />Kenapa kau berada di luar khotbah yang kau buat sendiri? <br />Kenapa ada lendir yang menetes dari jam 11 malam? </p> <p>Lelaki itu adalah jam 11 malam yang meninggalkan khotbahnya sendiri. <br />Adalah jam 11 malam yang baru menemukan lubang <br />sebesar paku di telapak tangannya sendiri, <br />menyeret kesunyian dari leher tuhan yang telah menciptakan lelaki jam 11 malam. <br />Bekas kawat berduri di keningnya, dan sisa-sisa nikotin di jari-jari tangannya. <br />Lelaki itu membersihkan semua vagina untuk menemukan anaknya, <br />khotbah-khotbah yang selalu ditutup dengan hujan yang digantung di tiang listrik. </p> <p>Benarkah, tuhan, benarkah aku bisa melihat? <br />Benarkah aku bisa mendengar? <br />Benarkah, tuhan, benarkah aku sedang berdiri di bawah tiang listrik ini? <br />Benarkah aku telah menggantikan khotbah dengan kematianku sendiri, <br />bukan dengan kematian orang lain. <br />Benarkah aku sedang berjalan meninggalkanmu, <br />meninggalkan pakaianku di dalam mobil. <br />Benarkah tubuhku telah menjadi lantai dalam geraja itu. </p> <p> </p> <p><strong>antri uang di bank</strong> </p> <p>Seseorang datang menemui punggungku. <br />Membicarakan sesuatu, menghitung sesuatu, <br />seperti kasur yang terbakar dan hanyut di sungai. <br />Lalu ia meletakkan batu es dalam botol mineralku. </p> <p><strong>batu dalam sepatu</strong> </p> <p>Selamat pagi Kamsudi, selamat pagi Busro, <br />selamat pagi Remy dan Aidil yang marah. <br />Kami masih di sini, di warung sop buntut kemarin, <br />gelas kopi kemarin, asbak dan kursi plastik kemarin. <br />Kami masih menjaga sebuah batu yang kami simpan dalam sepatu kami. <br />Kami memotret tubuh kami sendiri di depan warung kopi, <br />di samping tong sampah. <br />Rambut putih yang putus dari kepala kami, <br />setelah tertawa tertahan, dan hari kemarin masih di sini. </p> <p>Selamat pagi, waktu. <br />Selamat pagi semua yang telah menggantikan malam kami <br />dengan cerita-cerita kecil. <br />Waktu yang melapukkan atap kamar tidur kami, <br />sebelum kami sempat terpulas, <br />mengintip mimpi dari tembok-tembok berjamur. <br />Hampir 50 tahun kami menunggu hingga sepatu kami <br />kembali berubah menjadi kulit sapi. <br />Waktu, seperti makhluk-makhluk asing <br />yang beranak-pinak dalam tubuh kami. <br />Puisi yang sampai sekarang tidak tahu bagaimana cara menuliskannya: <br />12 selimut untuk teman-teman dari Makassar. <br />12 selimut untuk teman-teman dari Padang dan Lampung. </p> <p>Dan besok, besok kami akan datang lagi ke warung kemarin, <br />ke Jalan Cikini kemarin <br />yang telah menjadikan tubuh kami sebagai percobaan waktu untuk menunggu, <br />percobaan menunggu untuk bisa melihat, <br />percobaan melihat untuk mengenal kedatanganmu tak terduga. <br />Percobaan untuk tetap berada di hari kemarin. <br />Para gubernur datang dan berganti di kota ini, <br />seperti permainan dalam kota-kota kolonial. <br />Membuat peti telur untuk puisi dan teater. </p> <p>Kemarin. Kami—kami tidak pernah tahu tentang hari ini dan hari esok. <br />Dan batu lebih dalam lagi, lebih keras lagi, <br />antara sepatu dan kulit sapi. <br />Batu—untuk semua negeri yang terlalu curiga pada kebebasan, <br />pada kemiskinan dan orang-orang yang masih tetap berjalan dengan kakinya. </p> <p><strong>kartu identitas penduduk di china</strong> </p> <p><strong><em>untuk lan zhenghui</em></strong> </p> <p>Aku sudah menyiapkan tas ransel, <br />mesin pencukur jenggot, <br />dan sebuah kebangsaan yang dipotret di kantor kecamatan. <br />Setiap terbangun, aku takut ketinggalan pesawat. <br />Atau menemukan diriku sedang bercinta <br />dengan bahasa China di kamar orang lain. <br />Hari Selasa kemarin tidak datang. Besok masih besok. <br />Kemarin entah ke mana sebelum hari Minggu. <br />Hari Selasa masih menunggu kemarin yang tidak datang. <br />Hari Selasa bukan hari Selasa kalau belum hari Selasa. </p> <p>Besok, hari Selasa mulai akan melubangi bayanganku dari punggungku, <br />untuk mendengar bahasa China dari sipit mataku hingga hardware komputerku. <br />Besok masih besok sebelum kemarin. <br />Hari Selasa tidak menyimpan 100 tahun <br />dari ketakutan setiap generasi pada Kartu Identitas Penduduk, <br />pendidikan dan lapangan kerja. <br />Orang-orang membuat rumah untuk berdusta. <br />Menjeritkan generasi yang berceceran di tangga eskalator. <br />Dan menjeritkan lagi ketakutan mereka di atas great wall. <br />Sejarah seperti obeng dan gergaji yang menjauhkan manusia dari tangan-tangan waktu. </p> <p>Apakah kamu dari Indonesia? <br />Tanya supir taksi. Ya jawabku. <br />Seperti menjawab suara jeritan dari toko-toko yang terbakar di Jakarta. <br />Perempuan mereka yang ditelanjangi dan diperkosa. <br />Tubuh-tubuh yang berubah menjadi arang hitam. <br />Sejarah yang mengambil tangan kita, <br />dan membenamkannya kembali berulang ke dalam luka yang sama. <br />Luka yang kembali bertanya: Apakah kamu dari Indonesia? </p> <p>Pagi itu kabel-kabel listrik di jalan masih menahan dingin, <br />melepaskan sisa-sisa malam, lemak dan kembang api olimpiade. <br />Seorang teman memesan topi Mao. <br />Apa yang aku kenang tentang negeri ini dari great wall, <br />topi bulu musang dari Mongol, teguran politik dari Tibet, <br />air terjun manusia yang tumpah <br />dari lubang langit – hingga manajemen komunis <br />yang mengatur penghasilan penduduk sampai kamar hotelku. </p> <p>Zhenghui, aku mengagumi lukisanmu, <br />yang kembali ke kertas bubur beras dan tinta China. <br />Angin menjelang musim dingin mulai menyapa leherku. </p> <p><strong>Sajak-sajak Afrizal Malna <br />Minggu, 6 Desember 2009 | 02:42 WIB </strong></p> <p><strong>Afrizal Malna lahir di Jakarta dan kini tinggal di Yogyakarta. <br />Kumpulan puisinya antara lain Abad yang Berlari (1984), <br />Arsitektur Hujan (1995), <br />Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2002), <br />dan Teman-temanku dari Atap Bahasa (2008).</strong></p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-35490554018280779622010-08-12T05:57:00.001-07:002010-08-12T05:57:21.048-07:00Resensi, Jawa Pos [ Minggu, 02 Mei 2010 ]<p><strong></strong></p> <p><strong>Jadi Guru yang Menginspirasi Siswa</strong> <br /></p> <p>DUNIA pendidikan kita kembali dirundung duka. Hasil pengumuman ujian nasional (unas) Senin lalu (26/4) benar-benar mengejutkan banyak pihak. Pasalnya, jumlah siswa yang tidak lulus meningkat drastis. Pada unas SMA (dan sederajat) 2010, yang lulus hanya 89,88 persen. Sedangkan angka kelulusan unas 2009 mencapai 94,85 persen. Sebanyak 154.079 di antara 1.522.162 siswa peserta unas harus mengikuti unas ulang pada 10-14 Mei mendatang. Siapa yang patut disalahkan dalam kasus ini? </p> <p>Tentu ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi keterpurukan kelulusan tersebut. Salah satunya kompetensi guru. Memang, setiap orang bisa menjadi guru. Tetapi, tak bisa disangkal bahwa tidak semua orang mampu menjadi guru yang baik, mengobarkan semangat, menginspirasi, memancarkan energi, mencerahkan, sekaligus menanamkan pengaruh yang luar biasa sehingga bisa membekas sepanjang hidup di benak anak didik. Padahal, guru yang mampu menginspirasi dan mencerahkan itulah yang saat ini dibutuhkan di negeri ini. Sebab, guru semacam itu akan mengantarkan kesuksesan siswa di kelak kemudian hari dan membawa kemajuan bangsa. </p> <p>Sayang, guru yang inspiratif dan mencerahkan seperti itu tidak banyak. Sebagian besar guru hanya guru kurikulum, tidak meninggalkan kesan mendalam di benak siswa karena tidak banyak hal penting yang diwariskan. Yang diberikan tak lebih sekadar pengetahuan dan wawasan yang menjadi tugasnya: sosok guru yang hanya patuh pada kurikulum sebagaimana isi buku yang ditugaskan sesuai dengan acuan kurikulum. </p> <p>Guru sekadar mengajar dan tidak dapat berperan sekaligus sebagai pendidik. Padahal, untuk mencapai kemajuan dan kesuksesan siswa, jelas dibutuhkan guru yang tidak sekadar mengajar sesuai dengan kurikulum melainkan, dapat menginspirasi dan memengaruhi sekaligus mengubah jalan hidup anak didik jadi lebih baik. Lebih ironis, tidak jarang ada sosok guru justru tampil dengan wajah sangar, menakutkan, dan tak menjadikan murid tumbuh semangat untuk menuntut ilmu. </p> <p>Fenomena mengenaskan tentang angka kelulusan unas tahun ini dan minimnya guru inspiratif (dan tak sedikit guru yang menakutkan di sisi yang lain) menjadikan buku karya Ngainun Na'im, Menjadi Guru Inspiratif: Memberdayakan dan Mengubah Jalan Hidup Siswa, patut direnungkan. Penulis yang juga staf pendidik di STAIN Tulungagung itu tak hanya menggugat potensi guru yang tak kompeten, melainkan juga memantik kesadaran guru untuk menjadi ''sosok yang inspiratif dan mampu mengubah'' kehidupan siswa. Pasalnya, guru inspiratif seperti itu -di mata penulis yang kini menempuh pendidikan S-3 Islamic Studies di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta- bisa mengantarkan murid meraih kehidupan yang bermakna dan berkualitas. </p> <p>Harapan penulis dapat dipahami karena guru inspiratif adalah guru yang mampu menularkan pengetahuan sekaligus menggerakkan perubahan dan memengaruhi siswa. Jadi, guru inspiratif bukanlah sekadar guru kurikulum, tapi mampu mengembangkan potensi dan kemampuan siswa, berpikir kreatif dan mampu melahirkan siswa yang tangguh dan siap menghadapi aneka tantangan dan perubahan (hlm. 73). </p> <p>Guru tidak sekadar mengajar sebagai kewajiban seperti ditentukan kurikulum, melainkan juga senantiasa berusaha mengembangkan potensi, wawasan, cara pandang, dan orientasi siswa. Kesuksesan mengajar seorang guru tak diukur secara kuantitatif dari angka-angka yang diperoleh dalam evaluasi, tetapi bagaimana guru itu memberikan sumbangsih yang berarti bagi siswa dalam menjalani kehidupan selanjutnya setelah menyelesaikan masa studi. </p> <p>Bagaimana menjadi guru yang inspiratif? Ngainun Na'im sadar sepenuhnya, menjadi guru inspiratif tidak gampang. Sebab, guru inspiratif tidak bersifat permanen. Spirit inspiratif yang dimiliki guru inspiratif kadang bisa memudar. Tetapi, kalau jiwa guru itu sudah diberkati anugerah inspiratif, yang diperlukan adalah bagaimana dia selalu menemukan pemantik/penyulut spirit inspirasi. Untuk menyulut kembali spirit inspirasi itu, tentu setiap guru punya cara sendiri. Tapi, bagi penulis, buku ini setidaknya bisa dibangun lewat tiga elemen; komitmen (berkomitmen selalu menginspirasi siswa), cinta (memiliki kecintaan dalam mendidik), dan memiliki visi. </p> <p>Dengan peran guru inspiratif yang memiliki komitmen, cinta, dan visi itu, murid akan mampu membangkitkan potensi dan minatnya untuk menguasai pelajaran. Di sisi lain, mereka memiliki sikap serta ''semangat tinggi untuk maju'', kreatif, tercerahkan, bahkan termotivasi untuk bisa sukses. Sebab, guru inspiratif semacam itu memiliki semangat terus belajar, kompeten, ikhlas dalam mengajar, mendasarkan niat mengajar pada ''landasan spiritualitas'', total, kreatif, dan selalu berusaha mendorong siswa untuk maju. </p> <p>Potensi kreatif itulah yang menjadikan guru inspiratif tidak pernah kehilangan cara dan media dalam mendidik. Diaa bisa membangun iklim pembelajaran dengan seribu cara. Tak salah jika murid selalu merindukan guru seperti itu hadir di kelas hingga pelajaran yang sudah berlangsung dua jam seperti tidak terasa. Sesudah belajar, murid memperoleh pencerahan dan motivasi, pelajaran pun tertanam dalam benak siswa. Lebih dari itu, para siswa menjadi ''inspiratif'' sehingga mengalami revolusi diri; berubah lebih baik, mengenal bakat terpendam yang dimiliki, dan kreatif. </p> <p>Buku hasil dari pergulatan, diskusi, dan perenungan penulisnya ini -tidak dapat disangkal- memberikan sumbangsih yang berarti bagi khazanah pendidikan di negeri ini. Apalagi, tuntutan jadi guru inspiratif tidak bisa dinafikan. Maklum, guru adalah penggerak roda peradaban bangsa dan peran guru inspiratif akan membawa kemajuan bangsa kita ke depan. </p> <p>Sejumlah kisah-kisah inspiratif dalam buku ini pun -tidak ditepis- bisa menjadi spirit, motivasi, dan pembanding bagi guru dalam menghadapi kasus-kasus yang dihadapi untuk menjadikan anak didik tercerahkan dan kreatif. (*) </p> <p>Judul buku: Menjadi Guru Inspiratif: Memberdayakan dan Mengubah Jalan Hidup Siswa </p> <p>Penulis: Ngainun Na'im </p> <p>Penerbit: Pustaka Pelajar, Jogjakarta </p> <p>Cetakan: Pertama, 2009 </p> <p>Tebal buku: xvi + 289 halaman </p> <p>*) N. Mursidi , alumnus pesantren An-Nur Lasem, Jateng</p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-71336877128732787962010-08-12T05:54:00.001-07:002010-08-12T06:33:15.026-07:00A.S. Laksana, Jawa Pos [ Minggu, 25 April 2010 ]<p> <br /><strong>Bencana Sebagai Watak Pemerintahan <br /></strong></p> <p><strong>Saudara-saudara</strong> sekalian, sampai hari ini sesungguhnya saya masih penasaran kenapa dulu Presiden SBY dengan mudah mengurungkan niatnya untuk menggugat Anggodo dan Ong Juliana Gunawan yang telah menyebut-nyebut RI-1 berada di belakang mereka dalam skenario pelumpuhan KPK. Padahal sebelumnya ia tampak sangat tidak nyaman dan berniat mengambil langkah hukum yang tegas. </p> <p>''Pokoknya didukung. Jadi nanti KPK ditutup. Ngerti ga?" kata Ong kepada Anggodo. Dan sekarang kita harus berurusan dengan Anggodo lagi, Bibit-Chandra lagi, ''kriminalisasi reptil'' lagi. Apakah kita akan menunggu presiden berpidato lagi? </p> <p>Ini sungguh njelehi. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan baru saja memenangkan gugatan praperadilan Anggodo terhadap keputusan Kejaksaan Agung mengeluarkan SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan) atas kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Dengan demikian, ada kemungkinan Bibit dan Chandra harus diproses di pengadilan atas kasus yang dituduhkan kepada mereka. Jika proses peradilan berlangsung beres, mereka bisa membuktikan diri secara hukum apakah mereka tidak bersalah, atau sebaliknya, pengadilan akan membuktikan mereka bersalah. Hanya saja, pada saat berlangsungnya proses peradilan mereka harus non-aktif karena berstatus terdakwa. KPK kehilangan dua petingginya. </p> <p>Dalam kasus Bibit-Chandra, Anda tahu, banyak orang meyakini bahwa yang terjadi adalah kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Hasil penyadapan oleh KPK, yang berupa rekaman percakapan Anggodo, Ong Juliana, dan para kolega mereka, memperkuat keyakinan tersebut. Namun, saya ingat, para politisi DPR punya suara yang lucu yang bertentangan dengan simpati rakyat kepada Bibit dan Chandra. Sambil memperlihatkan sikap antipati kepada KPK (apakah karena para politisi Senayan banyak digarap oleh KPK?), DPR tampak sangat berpihak kepada polisi yang menetapkan kedua petinggi KPK itu sebagai tersangka --meski tuduhan yang dilemparkan kepada keduanya terus berubah-ubah, seperti mood para remaja yang ruwet sendiri ketika jatuh cinta. </p> <p>Pada waktu itu, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR berkaitan dengan kasus tersebut, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri mengeluarkan pernyataan yang membuat saya mak tratap, deg-degan dan harap-harap cemas. ''Tak ada anggota saya yang melacurkan diri, mempermalukan institusi. Kami pertanggungjawabkan dunia akhirat,'' katanya. Anggota DPR sangat girang. ''Saya tidak rela polisi diobok-obok,'' kata DPR. ''Polisi harus diselamatkan dari kriminalisasi publik.'' </p> <p>Sekarang, Anda bisa melihat bahwa Kapolri sudah membuat pernyataan yang benar-benar susah dipertanggungjawabkan dunia akhirat. Komjen Susno Duadji, polisi yang duduk di sebelahnya dalam rapat dengan anggota DPR, telah membuktikan bahwa Kapolri keliru. Banyak orang di kepolisian yang melakukan tindakan, dalam bahasa Pak Jenderal Kapolri, melacurkan diri dan mempermalukan institusi. </p> <p>Lalu dengan cara bagaimana kita akan membicarakan kemenangan praperadilan Anggodo? Susno, si buaya yang dulu menjadi tokoh antagonis dalam kasus ''kriminalisasi'' Bibit-Chandra, kini sudah berubah menjadi penguak fakta tentang adanya makelar kasus di kepolisian. Itu tindakan yang membalikkan posisinya dari orang yang sebelumnya dicerca menjadi orang yang patut dibela. Jadi, akan bergerak ke mana lagi kasus Bibit-Chandra kali ini? Mengembalikan Susno ke posisi semula? </p> <p>Setelah Kasus Century saya sempat berpikir bahwa kasus demi kasus yang dimunculkan belakangan adalah bentuk serangan balasan atas runyamnya posisi pemerintah. Dalam kasus ini, Anda tahu, suara koalisi pecah; sebagian anggota koalisi mengambil opsi keras yang menyudutkan pemerintah yang mereka dukung. Namun kemudian saya merasa bahwa pikiran itu terlalu simplistik, kendati manuver para politisi memang sering sangat simpel dan mudah diduga. Bahkan kalaupun itu benar demikian, kita bisa apa dengan pikiran semacam itu? </p> <p>Saya kira ada kenyataan yang lebih besar di luar motif balas dendam itu. Jangan-jangan ini sebuah pola penyelesaian masalah, atau sebuah ciri lain dari pemerintahan SBY periode kedua. Anda tahu, lima tahun pertama pemerintahan SBY dicirikan oleh mbludak-nya bencana alam yang terjadi susul-menyusul. Pada periode kedua ini bencana alam tampaknya bergeser (atau meluaskan diri?) ke bencana politik, yang juga terjadi secara berturutan. Dugaan semacam itu membawa saya ke satu pertanyaan, ''Apakah masalah demi masalah di negeri ini hanya bisa diselesaikan melalui bencana?'' </p> <p>Untuk satu dua kasus mungkin iya. Masalah kemanusiaan yang berkepanjangan di Aceh, misalnya, menjadi agak dipermudah penyelesaiannya ketika terjadi tsunami. Setelah bencana besar itu, seluruh pikiran dan empati serta merta diarahkan ke sana. Orang berhenti membicarakan GAM, DOM, dan penderitaan apa saja yang sebelumnya mencincang daerah tersebut. Seluruh konsentrasi, dalam dan luar negeri, dikerahkan untuk membangun kembali daerah itu. Walhasil, bencana tsunami menjadi sebuah blessing in disguise bagi pemerintahan SBY sehingga masalah Aceh bisa diselesaikan dalam cara yang relatif lebih mudah. Kasus Aceh seperti selesai dengan sendirinya tanpa pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang tepat untuk menyelesaikannya. </p> <p>Memang bencana bisa menjadi pola penyelesaian masalah. Setidaknya pola semacam itu bisa Anda temui dalam beberapa cerita di kitab suci: Sodom dan Gomorah hancur diguncang bencana, tentara-tentara Firaun digulung Laut Merah, dan Qarun yang tamak ditelan rekahan tanah beserta seluruh hartanya (namanya menyumbang satu kosakata dalam bahasa Indonesia, sehingga kita menyebut harta terpendam sebagai harta karun). Bencana-bencana dalam kitab suci itu menjadi sebuah happy ending, yakni ketika Tuhan sendiri turun tangan untuk menyelesaikan masalah di bumi. </p> <p>Namun, Anda tentunya tidak bisa berharap bahwa sebuah pemerintahan akan terus-menerus bersandar pada bencana sebagai solusi. Akan ngawur sekali jika pengambil kebijakan hanya mengandalkan penyelesaian setiap urusan pada bencana. Jika demikian, demi mengusir orang pindah dari tempat permukiman mereka, yang perlu dilakukan hanya berdoa agar di situ terjadi tanah longsor atau semburan lumpur. Orang-orang yang tinggal di sana akan menyingkir dengan sendirinya. Sama ngawurnya juga saya kira jika pemerintah menjalankan kebijakan yang meniru pola bencana. Misalnya, karena suatu tempat harus dikosongkan untuk kepentingan lain dan di situ tidak memungkinkan adanya tanah longsor atau semburan lumpur, maka didatangkanlah bencana buatan, yakni Satpol PP. </p> <p>Dalam beberapa kejadian, Anda tahu, Satpol PP, juga organisasi-organisasi otot lainnya, sanggup mendatangkan bencana, jika diperlukan, dengan karakter yang bisa sama merusaknya sebagaimana bencana alam. Mereka akan bekerja seperti semburan lumpur atau letusan gunung atau guncangan gempa untuk mendatangkan bencana bagi orang-orang yang tak sudi meninggalkan tempat mereka. Dan, sebagaimana bencana alam yang ''tugasnya'' memang menimbulkan kerusakan, mereka tampaknya juga memiliki ''tugas'' yang serupa. </p> <p>Sekiranya watak penyelesaian seperti itu dipertahankan, agaknya akan lebih berguna jika bencana buatan itu diamalkan untuk menyelesaikan masalah korupsi. Saya kira Anda pun bersedia ikut memikirkan kemungkinan untuk melibatkan Satpol PP dalam program penggusuran para para koruptor dan bagaimana cara mendatangkan bencana buat mereka. Maksud saya, jika mereka bisa digunakan untuk mendatangkan bencana buat rakyat kecil, maka mereka juga bisa digunakan untuk mendatangkan bencana buat para koruptor. </p> <p>Saya kira Satpol PP akan senang juga jika diberi tugas menggusur para koruptor; itu akan membuat mereka lebih banyak gunanya ketimbang sekarang. Kita juga akan lebih tenteram melihat kehadiran mereka, lebih tenang mengikuti kasus apa pun, entah Bibit-Chandra atau siapa pun, dan presiden tidak perlu bolak-balik berpidato atau mengeluh pada setiap kasus. Pada saat itu saya kira Kapolri juga tidak perlu membuat pernyataan teledor yang melibat-libatkan dunia akhirat. (*) </p> <p>*) A.S. Laksana, kolomnis yang beralamat di aslaksana@yahoo.com</p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-17259587807271258682010-08-12T05:52:00.001-07:002010-08-12T06:33:15.026-07:00A.S. Laksana, Jawa Pos [ Minggu, 20 Desember 2009 ]<p> <br /><strong>Bagaimana Mengelola Politik tanpa Operasi Otak <br /></strong></p> <p>Menurut Anda, skandal Bank Century ini kasus apa tepatnya? Apakah ia masalah administrasi belaka, atau masalah perampokan, atau masalah hukum, atau masalah politik, atau bahkan masalah intelijen? </p> <p>Ini pertanyaan yang sangat serius. Jika kita berhasil menetapkan itu kasus apa, mungkin kita bisa menemukan cara penyelesaian yang lebih mudah. Anda tahu, setiap urusan konon akan beres jika diserahkan kepada ahlinya. (Kalimat ''serahkan kepada ahlinya'' pernah digunakan oleh Pak Fauzi Bowo sebagai jargon kampanye pemilihan gubernur DKI Jakarta; ia menang dan ternyata ia tidak ahli-ahli amat untuk membebaskan Jakarta dari banjir dan kemacetan, dua masalah yang parah sekali di wilayah pemerintahannya.) </p> <p>Sebelum Anda bisa memastikan, saya kira ada baiknya kita membahas seluruh kemungkinan. Berikut ini adalah beberapa pertimbangan yang bisa saya sampaikan: </p> <p><strong>Masalah administrasi</strong>. Jika skandal Bank Century adalah masalah administrasi, maka urusannya harus diserahkan kepada orang yang benar-benar jagoan dalam urusan administrasi dan bukan pegawai administrasi biasa yang ngantuk melulu. Mungkin agak susah mencarinya, sebab administrasi adalah masalah yang sangat rumit dan berbelit-belit. Bahkan administrasi pembuatan KTP saja lama sekali pembenahannya; masalah daftar pemilih tetap dalam pemilu legislatif yang lalu juga kisruh, apalagi ini masalah administrasi sebuah bank (''Hanya bank kecil,'' kata beberapa orang) yang digelontor dana besar. </p> <p><strong>Masalah perampokan</strong>. Tidak ada kemungkinan lain kecuali kita pasrahkan saja urusan Bank Century ini kepada polsek terdekat. Kita berikan sepenuhnya kepercayaan kita kepada aparat polsek. Paling-paling kita hanya perlu mewanti-wanti agar polsek terdekat jangan sampai salah tangkap dan salah hajar orang. Kalau sering-sering begitu, citra polsek terdekat tentu saja akan merosot. </p> <p><strong>Masalah intelijen</strong>. Ini wilayah yang gelap sekali. Kadang-kadang informasinya benar, kadang-kadang meleset, tetapi bagaimanapun dunia intelijen harus tetap gelap. Kalau terang benderang namanya kabar burung. Menurut aturan, konon hanya Pak Presiden yang bisa mendapatkan informasi intelijen. Tetapi Ruhut Sitompul rupa-rupanya bisa mendapatkan juga informasi intelijen. Berkaitan dengan simpang-siur skandal Century, ia bilang ada dua bekas menteri yang berkhianat kepada SBY. ''Ini info dari BIN,'' katanya. </p> <p><strong>Masalah hukum</strong>. Saya agak buntu kalau ini ternyata masalah hukum. Di satu saat, sering hukum kita tampak sangat berwibawa, misalnya ketika mengadili Nek Minah (pemetik tiga butir kakao) dan Nek Manisih (pengumpul sisa-sisa panen kapuk randu yang diancam hukuman 7 tahun penjara). Di saat lain, hukum sering tampak sebagai kegiatan persekongkolan. </p> <p>Saya pribadi abstain untuk kasus kedua nenek ini, sebagaimana presiden juga pernah abstain beberapa waktu dalam kasus Bibit-Chandra sambil mencari saat yang tepat untuk pidato. Jika Anda marah karena para nenek diperlakukan seperti itu dan rasanya mau mengamuk, saya kira Anda harus mengarahkan amukan Anda kepada negara. Negara ini terus-menerus gagal memenuhi janjinya yang berbunyi, ''fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara''. Kegagalan inilah yang menyebabkan kedua nenek itu, keduanya fakir miskin, diadili sebagai pencuri dalam upaya mereka mempertahankan hidup. </p> <p>Kembali ke kasus Century, pikiran saya bolak-balik tidak bisa menemukan kemungkinan terbaik tentang siapa yang bisa diserahi urusan sekiranya ini adalah masalah hukum. Kadang terpikir bahwa Anggodo atau Robert Tantular atau orang-orang semacam itu mungkin akan tepat menanganinya. Kadang terpikir mungkin Ruhut Sitompul (baca: Ruhut Sitompul) lebih tepat. Ruhut sering memberi tahu kita dalam pernyataan-pernyataannya bahwa dia ahli hukum. Namun, karena tetap buntu, saya pikir kita serahkan saja urusan ini kepada Pak Presiden yang sudah berjanji akan membabat mafia hukum. Saya kira itu janji yang baik dan bukan fitnah. </p> <p><strong>Masalah politik.</strong> Karena politik terlalu berbahaya jika diserahkan urusannya hanya kepada para politisi, dan Anda sendiri mungkin meragukan kemampuan para politisi kita untuk menyelesaikan masalah-masalah, maka semua orang boleh ikut serta. Setiap orang boleh menggalang dukungan untuk membela jagoannya masing-masing. </p> <p>Paling-paling saya hanya akan menambahkan sedikit catatan di sini berkenaan dengan cara kita mengelola politik yang, menurut saya, sama persis dengan cara kita mengelola alam. Dan mungkin sama persis juga dengan cara kita mengelola apa saja. Kita mengelola alam begitu rupa sehingga bencana demi bencana, yang tampak berpindah-pindah tetapi sesungguhnya adalah perambatan di sepanjang jalur patahan, selalu menghasilkan banyak korban. (Kata ''menghasilkan'' ini sekali waktu pernah saya dengar diucapkan oleh presenter salah satu televisi, seolah-olah gempa bumi adalah kegiatan pabrik.) </p> <p>Gempa politik kelihatannya seperti itu juga. Setiap kejadian tampak sebagai satuan-satuan yang terpisah, tetapi saya kira yang terjadi juga perambatan. Namun dalam urusan ini saya tidak berani memutuskan mana gempa pertamanya: Mungkin peristiwa jatuhnya Pak Harto, atau proklamasi, atau masuknya kompeni. </p> <p>Anda menganggap itu kejauhan? Oke, mungkin gempa pertamanya dekat-dekat saja, tetapi saya tetap tidak bisa memastikan apakah itu penjarahan kolosal melalui BLBI, atau terungkapnya suap Rp 6 miliar oleh Bunda Ayin kepada jaksa Urip Tri Gunawan, atau gonjang-ganjing di seputar pemilihan deputi gubernur BI, atau terseretnya besan Pak Presiden dalam pengadilan korupsi oleh KPK, atau peristiwa alam yang sangat menakjubkan baru-baru ini: cecak menelan buaya. Saya ingin sekali, suatu saat nanti, membuat dongeng anak-anak tentang gejala ajaib ini. </p> <p>Sekarang, Saudara-Saudara, kita sedang menikmati perambatan mutakhir. Taruh kata gempa pertamanya adalah Century, maka ia juga telah merambat di sepanjang jalur patahan. Dan susah memperkirakan akan berapa banyak jatuh korban. </p> <p>Beberapa waktu kita disekap dalam situasi seolah-olah kasus Century adalah sebuah bom yang bisa merontokkan kekuasaan. Orang juga sempat yakin bahwa PPATK akan berani mengeluarkan data sehingga publik bisa tahu ke mana saja dana mengalir jauh; dari BI menuju Century, lalu ke orang-orang tertentu, lalu sampai ujung sekali. Mungkin sampai ke transaksi di Glodok, Mangga Dua, atau Pasar Klewer. </p> <p>Tak terjadi gempa besar di situ, tetapi terus terjadi perambatan. Sempat muncul pembicaraan tentang pemakzulan (impeachment); juga ide penonaktifan, yang lalu didebat tidak ada dasar hukumnya. Sekarang belok ke pertarungan Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie; masalah pajak dihembuskan. Oya, tiba-tiba Benny K. Harman, anggota Komisi III DPR, secara serampangan mengingatkan bahwa rapat angket itu merupakan rapat konsultasi, bukan rapat pemeriksaan. Akan dibawa ke mana lagi? </p> <p>Untuk kemiripan antara gempa bumi dan gempa politik ini, saya kira ada ucapan Einstein yang patut diingat. Ia bilang, cara berpikir yang menyebabkan kita dirundung masalah amat mustahil digunakan untuk menyelesaikan masalah yang lahir justru karena cara berpikir tersebut. </p> <p>Jadi, jika kita menyepakati Einstein, untuk mengatasi gempa bumi maupun bencana politik yang terus merambat, rasa-rasanya yang harus dibereskan pertama kali adalah cara berpikir. Hanya mengubah cara berpikir, dan tidak harus operasi otak. Untuk kasus-kasus cara berpikir yang agak parah, mungkin bisa diatasi dengan hipnoterapi. Saya kira ini penting terutama bagi para pejabat, juga politisi, sebab dari merekalah muncul segala macam kebijakan dan manuver yang memengaruhi kehidupan orang banyak. (*) </p> <p>*) A.S. Laksana, penulis, tinggal di aslaksana@yahoo.com</p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-59480335064033747322010-08-12T05:49:00.001-07:002010-08-12T06:33:15.026-07:00A.S. Laksana, Jawa Pos [ Minggu, 07 Februari 2010 ]<p> <br /><strong>Berpikir Jernih dalam Situasi Remang-Remang <br /></strong></p> <p><strong>SAYA</strong> berangkat ke Surabaya Jumat pekan lalu dengan dengkul cedera dan pikiran risau. Jawa Pos meminta saya bicara hari Sabtu pagi dalam forum temu penulis opini dan, sejak menerima undangan, saya sudah beberapa hari gelisah memikirkan apa hal terbaik yang bisa saya sampaikan kepada para peserta forum. Kegelisahan saya bertambah lagi ketika memikirkan apa pesan yang nantinya bisa diingat oleh para undangan setelah acara selesai dan masing-masing dari kami pulang ke rumah. </p> <p>Kerisauan semacam ini benar-benar membuat saya tidak bisa menikmati perjalanan, tetapi sekaligus membuat saya lupa bahwa dengkul saya sebenarnya sangat nyeri ketika itu. Cedera tersebut saya dapatkan sehari sebelum saya berangkat ke Surabaya dari Jakarta dan karena itu saya harus menopang diri dengan kruk. Akhirnya, dengan tetap risau, saya menyelesaikan acara hari Sabtu itu --yang terasa pendek karena berlangsung menyenangkan. Dan saya hanya bisa menyampaikan pesan bahwa menulis adalah latihan paling tepat untuk mengasah pikiran. </p> <p>Di hari Minggu keesokan paginya Lan Fang, kawan baik saya dan penulis yang sangat produktif, mengirimkan pesan singkat. Bunyinya: ''Aku melihat fotomu dengan kruk di Jawa Pos hari ini.'' Saya menjawab: ''Apakah terlihat mengharukan dan penyakitan?'' Dia membalas: ''Tidak. Kau terlihat berwibawa dan karismatis.'' </p> <p>Saya harus berterima kasih kepada kawan saya itu. Dengkul saya rasanya akan cepat sembuh begitu membaca pesan singkatnya. </p> <p>Tentang menulis sebagai latihan paling tepat untuk mengasah pikiran, saya kira ini hal yang tidak banyak diurus oleh kurikulum pendidikan kita. Saya menduga karena para pembuat kebijakan di bidang pendidikan masih belum melihat perlunya memberikan keterampilan menulis kepada para siswa sekolah. Padahal, Anda tahu, ketika Anda menulis maka pada saat itu Anda mengerahkan seluruh kerja pikiran: mengingat, berlogika, menganalisis, menerapkan pengetahuan yang telah Anda pelajari, menyusun alasan, dan sebagainya. </p> <p>Ketika menulis Anda menuntut diri Anda menggunakan bahasa dengan baik. Dan, bukankah kita menyampaikan isi pikiran dengan bahasa, dengan kata-kata? Agaknya dari sanalah muncul pepatah yang menyatakan bahwa kata lebih tajam dari pedang. Dan itu merupakan pengakuan bahwa ketajaman pedang tak akan pernah bisa mengalahkan ketajaman pikiran. Maka, saya selalu senang mengingatkan: menulislah agar pikiran Anda (sesuatu yang lebih tajam dari pedang) bisa menjadi kian tajam. </p> <p>Anda bisa mengasah ketajaman pikiran dengan menuliskan tema apa saja yang Anda sukai. Jika Anda menyukai tema-tema politik, Anda beruntung karena setiap hari tersedia bahan berlimpah ruah untuk Anda bedah. Misalnya, apa kira-kira keputusan Pansus Century? Benarkah keputusannya akan baik-baik saja setelah kasus ini merongrong pikiran dan menguras perhatian publik sekian lama? Kompromi apa yang akan terjadi antara Presiden SBY dan Pansus Century dan partai-partai pendukung koalisi? Apakah Aburizal Bakrie akan rela Sri Mulyani tetap menjadi menteri keuangan setelah perseteruan di antara mereka dibuka oleh media massa? </p> <p>Jadi, apakah Anda menduga Sri Mulyani akan dikorbankan? Saya kira itu sangat memungkinkan mengingat Sri Mulyani adalah sosok yang paling aman secara politis untuk dijadikan korban. Ia bukan politisi partai mana pun, karena itu tak akan ada guncangan politik jika ia diturunkan. Bukankah tema ini cukup menarik sebagai latihan berpikir dan berspekulasi? </p> <p>Jika Anda menyukai tema-tema korupsi, Anda juga tak akan pernah kehabisan materi latihan mengasah pikiran --contoh kasusnya bertebaran di negeri ini. Ketika banyak kasus korupsi belum ketahuan akan berakhir seperti apa, belakangan kita disuguhi lagi berita tentang bekas Menteri Sosial Bachtiar Chamzah yang dijadikan tersangka oleh KPK karena negara dirugikan Rp 27,8 miliar dalam pengadaan mesin jahit dan impor sapi fiktif. Modusnya mudah ditebak: penunjukan langsung dan penggelembungan nilai proyek. </p> <p>Dalam kasus ini Bachtiar menyebut-nyebut nama Amrun Daulay, bekas Sekjen Bantuan dan Jaminan Sosial Depsos, sebagai orang yang mengusulkan proyek tersebut dan bekerja sama dengan rekanan yang ditunjuk langsung. Sekarang si Amrun menjadi wakil rakyat dari Fraksi Demokrat dan Anda boleh percaya boleh tidak apakah dia benar-benar mewakili rakyat. Dalam pemeriksaan itu, Bachtiar menyatakan bahwa tak ada keterlibatan Sigid Haryo Wibisono, mantan staf ahlinya, dalam urusan ini. ''Sigid hanya mengurus masalah konflik di Aceh,'' kata Bachtiar. </p> <p>Lihatlah, urusan sapi dan mesin jahit pun bisa berkelok-kelok dan mungkin bisa menguak praktik-praktik politik yang tak terduga. Ada politisi Demokrat di sana. Ada Sigid Haryo Wibisono, salah seorang terdakwa dalam sidang pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen, yang baru kita ketahui bahwa ternyata dia adalah staf ahli menteri sosial. Dan apakah kira-kira urusan orang ini dalam konflik Aceh? Apakah dia memang ahli konflik, yang bekerja dengan caranya sendiri, dalam berbagai perseteruan? Dia ada dalam kasus Antasari vs Nasruddin; dia juga ada dalam pusaran konflik di tubuh PKB? Kenapa orang ini seperti ada di mana-mana? </p> <p>Dan ada berapa banyak orang seperti Sigid di republik ini? Saya akan berterima kasih seandainya Biro Pusat Statistik bisa memberikan angkanya. Tetapi saya tahu itu pengandaian yang muskil, sebab BPS tentu saja tidak melakukan pendataan untuk mencari tahu berapa jumlah orang seperti Sigid di negara ini. </p> <p>Jika Anda punya kepedulian terhadap nasib orang-orang jelata, materi untuk mengasah pikiran juga berlimpah ruah. Anda bisa melihatnya dari sudut pandang kegagalan negara dalam menjalankan amanah konstitusi untuk memelihara orang miskin dan anak telantar. Ini klise? </p> <p>Kalau begitu coba Anda melihat bagaimana orang-orang melarat menyelamatkan perekonomian di saat para pengusaha kakap dan pejabat publik yang korup tak henti-henti merongsong keuangan dan perekonomian negara. Pemerintah, Anda tahu, senang membuat klaim tentang pertumbuhan ekonomi tanpa mau berterima kasih bahwa itu semua berkat orang-orang melarat yang bergerak di sektor informal, yang nyaris tanpa campur tangan pemerintah sama sekali. </p> <p>Anda tahu, setiap orang harus melakukan apa saja untuk mempertahankan hidup. Pasar kaget ada di mana-mana dan pedagang kaki lima tumbuh subur. Mereka harus berkeliling menggelar dagangan mereka --apa saja yang bisa mereka dagangkan. Jadi, saya yakin bahwa negara ini tak akan hancur karena rakyatnya cukup punya daya tahan. Yang saya sesali: sekiranya pemerintahan berfungsi beres, tentu amat mudah bagi kita untuk mencapai kesejahteraan yang berlipat-lipat dibanding sekarang. </p> <p>Selanjutnya, jika Anda berminat pada tema-tema bahasa, saya kira ada satu hal yang sangat menarik untuk dikaji, yakni bahasa para pejabat publik dan politisi kita. Mereka sungguh penyebar polusi tingkat tinggi dalam bahasa dan pikiran kita. Saya yakin, sebagaimana manuver politik mereka yang bersilang susup di bawah permukaan, bahasa para politisi dan pejabat publik kita pun mewakili keremang-remangan yang coba disembunyikan rapat-rapat. </p> <p>Anda akan mendapatkan bahan yang tak habis-habisnya jika punya kesediaan untuk membedah bahasa mereka. Saya sangat yakin bahwa struktur permukaan bahasa mereka hanyalah puncak gunung es yang menyembunyikan banyak hal besar di bawah permukaan. Saran saya, galilah apa yang terpendam di bawah permukaan. (*) </p> <p>*) A.S. Laksana , beralamat di aslaksana@yahoo.com</p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-82215801938818623762010-08-12T05:46:00.001-07:002010-08-12T06:33:15.027-07:00A.S. Laksana, Jawa Pos [ Minggu, 13 Desember 2009 ]<p> <br /><strong>Dicari, Pendekar Bodoh! <br /></strong></p> <p>Di buku-buku silat yang pernah saya baca, para pengarang biasanya punya kecenderungan akut untuk mengagungkan kebodohan. </p> <p>--- </p> <p>''<strong>SAUDARA</strong>-saudara sekalian, mari kita bersihkan saja negeri ini dari para politikus. Sampean tahu sendiri kan, mereka itu pekerjaannya cuma bikin gangguan,'' kata Commodus, raja lalim dalam film Gladiator arahan sutradara Ridley Scott. </p> <p>Ketika itu, tahun 180 Masehi, ia baru merampas kekuasaan Romawi dari tangan ayahnya, Caesar Marcus Aurelius, sang filsuf. Tetapi, Commodus jatuh tak lama setelah itu, tidak oleh celoteh para politikus. Ia tertikam mati oleh Maximus Decimus Meridius, jenderal yang dibencinya, dalam pertarungan otot di Coliseum Roma. </p> <p>Mengenai politikus, yang celotehnya membuat Commodus muak, saya kira nasib profesi itu agak mirip-mirip dengan dunia pelacuran: ia tetap diminati orang meskipun selamanya dianggap sebagai dunia yang kotor. Pandangan tentang politik sebagai dunia yang kotor, tampaknya, abadi sampai hari ini. Para politikus, di banyak tempat, hampir selalu dianggap sebagai gangguan -oleh penguasa, juga oleh publik yang diwakilinya. Katharine Whitehorn, jurnalis Inggris, menyatakan pendapat buruknya tentang politikus sebagai berikut, ''Kata suami saya, kebanyakan politikus bukanlah bajingan sejak lahir, mereka seperti itu karena tuntutan pekerjaan.'' </p> <p>Pendapat itu terasa sebagai pandangan yang traumatik, dan saya tidak berharap bahwa pandangan itu benar. Bagi saya, politik adalah sesuatu yang kadang terasa bising sekali. Saya pernah mengira sebelum ini bahwa puncak kebisingan adalah saat-saat menjelang pemilu, yakni ketika para politikus ramai mengumbar janji. Karena itu, saya merasa lega ketika pemilu berakhir. Saya pikir dunia dan seisinya akan kembali tenang dengan selesainya pemilu. Namun, saya keliru besar di situ. Dunia politik rupa-rupanya tidak pernah berhenti bising. Selalu ada yang bisa diributkan. Tepatnya, selalu ada bahan untuk dipolitisasi. Mungkin memang di situlah poin utamanya: Kalau tidak bisa memolitisasi apa pun, lalu apa gunanya orang menjadi politikus? </p> <p>Secara bersungguh-sungguh, saya pernah membuat pengandaian, tentu saja cuma di depan teman saya sendiri; sekiranya Tuhan berminat menurunkan lagi seorang nabi, saya yakin nabi baru itu akan diturunkan di Indonesia. Pengandaian itu tak berhubungan dengan munculnya orang-orang yang menyatakan diri sebagai nabi atau juru selamat. Anda bisa menganggap mereka itu lucu-lucuan saja, dan saya kira mereka akan kesulitan jika diminta menunjukkan surat pengangkatan dari Tuhan. Jadi, santai sajalah, tak ada yang serius dengan deklarasi mereka. </p> <p>Namun, tetap ada pelajaran menarik dari munculnya ''nabi'' yang lucu-lucu itu. Setidaknya, kita bisa mempertimbangkan bahwa kondisi kita hari ini mungkin memang ''memenuhi syarat'' untuk diturunkannya seorang nabi. Banjir besar, ada. Tsunami, ada. Gempa, ada. Kebobrokan masal, ada. Untuk menyederhanakan urusan dan biar terasa lebih bombastis, saya bisa mengatakan ada keruwetan di setiap inci tanah yang kita pijak. Juga, ada ketidakpastian untuk menjalani hidup, di hari ini maupun di masa depan. Lebih dari itu, ada kegagalan kita untuk berpikir simpel. </p> <p>''Jika 10 persen orang terkaya di Indonesia rela memberikan 20 persen penghasilan mereka (bukan harta atau aset), tidak ada lagi orang miskin di Indonesia,'' kata H.S. Dillon tiga tahun lalu. Semudah itukah mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia? Mungkin. Tetapi, cara yang semudah itu pun tak pernah bisa kita lakukan. Kita gagal di banyak tempat dan dalam banyak urusan. </p> <p>Di Sidoarjo kita gagal menemukan cara paling adil untuk menangani korban semburan lumpur. Sekarang sedang diusut masalah pelanggaran HAM yang terjadi di sana. Di Purwokerto seorang mandor kebun gagal memaafkan Nek Minah yang, karena kemiskinannya, tergiur memetik tiga butir kakao untuk ia jadikan bibit. Vonis 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan memang tidak mengharuskannya mendekam di sel penjara, tetapi proses hukum telah menjadikannya sasaran pemerasan. Ia bilang telah didatangi orang yang mengaku polisi, dan orang itu meminta biaya sidang kepadanya. ''Saya sampai harus utang Rp 50 ribu kepada tetangga,'' katanya. </p> <p>Dengan sogokan atau pemerasan mulai kelas Rp 50 ribu sampai Rp 6 miliar model jaksa Urip Tri Gunawan beberapa waktu lalu, saya kira Pak Presiden harus serius memikirkan bagaimana cara menjadikan aparat penegak hukumnya berkualitas. Anda tahu, Nek Minah mengalami itu setelah pidato presiden tentang program 100 hari yang menempatkan pemberantasan mafia hukum di posisi teratas. </p> <p>Di mana lagi kita gagal? Banyak. Kita tidak bisa membangun jalan aspal yang kukuh di sepanjang pantai utara Jawa dan di mana-mana. Dunia pendidikan kita, selain ribut soal ujian nasional perlu diadakan atau tidak, juga tidak tahu bagaimana cara membangun gedung sekolah yang tidak mudah roboh. Hal lainnya, kita hidup di negeri dua musim, dan di dua musim itu kita sengsara. Saat musim hujan, banjir. Kala musim kemarau, kekeringan. Kita, tampaknya, semakin tidak tahu bagaimana mengatasi banjir dan kekeringan itu. </p> <p>Melanjutkan pengandaian tentang nabi, saya kira negeri ini idealnya memang dipimpin oleh seorang kepala negara yang sekaligus nabi. Ia bisa figur seperti Sulaiman, hakim yang adil dan penguasa atas manusia, jin, dan hewan-hewan. Bisa seperti Daud, si kecil yang mampu mengalahkan raksasa Jalud. Bisa seperti Musa yang di waktu kecil sudah menarik janggut Firaun. Bisa seperti Isa sang juru selamat. Bisa seperti Muhammad, pemikul amanah yang bisa dipercaya. </p> <p>Tetapi, karena tidak ada lagi nabi yang diturunkan, saya punya saran lain yang sangat religius, yakni kita bisa mengandalkan Tuhan untuk menyelesaikan segala keruwetan. Bagaimana cara terbaik menangani Anggodo, kita serahkan kepada Tuhan. Bagaimana kasus Bank Century harus diselesaikan, kita serahkan kepada Tuhan. Bahkan, untuk memastikan apakah benar Pak Presiden difitnah, seperti yang sering ia sampaikan, kita serahkan saja benar atau tidaknya kepada Tuhan. </p> <p>Setelah itu, kita bisa mendengkur, sehari saja di dalam kamar atau ratusan tahun di ceruk gua seperti para pemuda Ashabul Kahfi. Ketika kita bangun, semuanya sudah beres. Teman saya mencibir: Ngawur! </p> <p>Kepadanya saya bilang, jangan omong sembarangan; kepasrahan kepada Tuhan bukanlah tindakan ngawur. Demi keamanan dia, saya tidak akan membocorkan siapa nama teman saya itu. Saya takut ia digeruduk kaum fanatik. </p> <p>Kalau pengandaian yang religius tidak memungkinkan, saya kira pengandaian sekuler dari dunia persilatan bisa lebih masuk akal. Maksud saya begini, sekiranya kita hidup di dunia persilatan, segala pertanyaan akan mudah dijawab. Misalnya, siapa yang akan memenangi pertarungan dalam kasus Bank Century? Jawab: orang yang paling bodoh. </p> <p>Selalu begitu dalam dunia persilatan. Di buku-buku silat yang pernah saya baca, para pengarang biasanya punya kecenderungan akut untuk mengagungkan kebodohan. Banyak pendekar besar, pemilik ilmu kanuragan yang tak tertandingi, semula adalah para pemuda bodoh yang lambat sekali mencerna pelajaran apa pun dari guru mereka. Di dunia persilatan, Anda tahu, kecerdasan berjalan sejajar dengan kelicikan dan kebodohan selalu identik dengan kebaikan. Dasarnya sepele saja, orang bodoh selalu dianggap lebih jujur daripada orang cerdas. </p> <p>Tetapi, sebuah negara demokrasi bukanlah dunia persilatan semacam itu. Lalu, apa perbedaan antara demokrasi dan dunia persilatan? Tidak ada, jawab filsuf dan matematikawan Inggris Bertrand Russell (1872-1970). ''Demokrasi yang kita agungkan cenderung menganggap orang bodoh sebagai orang yang lebih jujur ketimbang orang cerdas, dan para politikus kita mengambil keuntungan dari anggapan itu dengan tampil lebih bodoh dari yang disangka orang,'' katanya. </p> <p>Jika Russel benar, dunia politik pun menjadi mudah diduga. Artinya, dalam setiap pertarungan politik, politikus paling bodohlah yang akan menang. Sebab, ia tampak lebih jujur. (*) </p> <p>*) A.S. LAKSANA , cerpenis, tinggal di aslaksana@yahoo.com</p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-9344072437701217212010-08-12T05:45:00.001-07:002010-08-12T06:33:15.027-07:00A.S. Laksana, Jawa Pos [ Minggu, 31 Januari 2010 ]<p> <br /><strong>Dari Temu Penulis Opini Jawa Pos</strong> <br /></p> <p><strong>Penulis Tidak Lahir Seketika</strong> </p> <p><strong>SURABAYA</strong> - Aula Semanggi Lantai 5 Graha Pena cukup riuh kemarin (30/1). Seluruh penulis dan calon penulis opini Jawa Pos tumplek-blek. Disemangati KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) dan A.S. Laksana, mereka digiring untuk menjadi penulis opini andal. Diskusi pun berlangsung gayeng. </p> <p>Selain dua pembicara tamu tersebut, diskusi menampilkan tiga redaktur opini Jawa Pos. Mereka adalah Akhmad Zaini (opini nasional), Sudjatmiko (opini Metropolis), dan Arief Santosa (rubrik budaya-buku). </p> <p>Dua penulis kawakan tersebut bergantian memberikan materi. Gus Sholah terlihat telaten menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang dilemparkan peserta. </p> <p>Dia mengungkapkan, untuk menjadi seorang penulis, diperlukan ketelatenan dan keuletan yang luar bisa. Orang yang saat ini dikenal sebagai penulis awalnya juga menghadapi rintangan yang tidak ringan. ''Hampir semua mengalami seperti itu.'' </p> <p>Keuletan, lanjut adik kandung Gus Dur itu, sangat diperlukan seorang penulis. Sebab, orang tersebut tidak akan mudah putus asa ketika tulisannya tidak dimuat. ''Jangan dikira semua tulisan yang saya kirim ke media dimuat. Banyak tulisan saya yang tidak dimuat. Apalagi ketika awal-awal dulu,'' ungkapnya. </p> <p>Hampir sama dengan Gus Sholah, A.S. Laksana menyatakan, penulis sejati itu harus ulet. Harus berujar kepada diri sendiri untuk membuat karya yang lebih bagus dari hari ke hari. </p> <p>Lantas, dia membuka lembar sejarah proses menulisnya. Laksana mengaku mulai menulis sejak duduk di bangku kelas IV SD. Namun, karyanya baru dimuat saat dirinya duduk di bangku kelas II SMA. ''Bayangkan, enam tahun baru dimuat,'' ujarnya. </p> <p>Kreativitas, kata Laksana, akan terbentuk seiring dengan kualitas karya yang ditelurkan seorang penulis. ''Sulit kalau sekali menulis langsung bagus,'' tegas mantan wartawan Jawa Pos dan tabloid DeTik tersebut. </p> <p>Sementara itu, Akhmad Zaini, redaktur opini Jawa Pos, menjelaskan, kriteria nomor wahid kelayakan opini di Jawa Pos adalah kualitas serta kompetensi penulis. Jadi, gelar profesor atau doktor tidak memengaruhi pertimbangan pemuatan. </p> <p>Dia lalu menceritakan, ketika kasus Prita Mulyasari mencuat, Jawa Pos memuat tulisan seorang ibu rumah tangga dari Jakarta. Saat itu, yang dijadikan pertimbangan, selain cara menulisnya bagus, orang tersebut dianggap berkompeten untuk mengungkapkan persoalan seorang ibu yang harus berpisah dari anak-anaknya gara-gara disel. ''Namun, ya itu, ada juga yang protes. Tapi, enggak apa-apa. Kita anggap angin lalu saja,'' ujarnya. </p> <p>Dia menambahkan, tulisan yang masuk ke e-mail opini setiap hari mencapai 50-75 tulisan. Karena itu, seleksinya sangat ketat. </p> <p>Sebagai solusi, redaktur halaman Metropolis Sudjatmiko mengimbau supaya penulis juga memanfaatkan halaman opini di Metropolis. ''Hanya, temanya harus menyangkut persoalan Surabaya dan Jatim. Peluangnya lebih besar karena penulis yang mengirim tidak terlalu banyak,'' ungkapnya. <strong>(wan/zen)</strong></p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-36845146621447588102010-08-12T05:44:00.001-07:002010-08-12T06:33:15.027-07:00A.S. Laksana, Jawa Pos [ Minggu, 27 Desember 2009 ]<p><strong></strong></p> <p><strong>Dari Sebuah Talk Show Tengah Malam</strong> <br /></p> <p><strong>TENGAH</strong> malam, saat menunggu siaran langsung sepak bola, saya menjumpai acara talk show di televisi. Ini bukan siaran langsung karena ada tulisan recorded di sudut layar. Pembawa acara memperkenalkan pengamat politik yang ada di studio dan mereka mempersembahkan pertunjukan omong-omongan itu. Inilah intisarinya: </p> <p><strong>Orang-orang saat ini sedang mempertanyakan benarkah semua warga punya hak yang sama untuk mendapatkan keadilan di muka hukum. Menurut Anda? </strong></p> <p>Menurut saya, tidak. Apalagi di mata hukum, di mata pegawai bank pun tidak. Jika Anda punya rencana besar, yang membutuhkan modal dari bank Rp 25 juta saja, dan penampilan Anda tampak mengkhawatirkan, maka bank besar pasti menolak Anda, apalagi bank kecil. </p> <p><strong>Penampilan mengkhawatirkan? Maksud Anda?</strong> </p> <p>Misalnya, Anda tampak kurus dan sakit-sakitan. Orang-orang melarat sering tampak kurus dan sakit-sakitan seperti itu. Kalau Anda berupaya meyakinkan bahwa Anda serius dengan proyek Anda dan Anda sampai menangis meraung-raung agar proposal Anda disetujui, saya yakin Anda justru akan tampak semakin mengkhawatirkan di mata Pak Boediono, misalnya. Maka, sudah sepantasnya Anda ditangani oleh satpam. Dan, dengan demikian, Anda tidak akan pernah paham kenapa orang-orang itu, yang kemudian melarikan dana triliunan dari Bank Indonesia, bahkan ratusan triliun kalau disatukan, bisa dengan mudah mendapatkan kepercayaan. </p> <p>Ini agak beda jika Anda warga Bangladesh. Di sana ada Muhammad Yunus yang tahu cara memberikan pinjaman usaha untuk orang-orang miskin. Dan dia membuktikan bahwa orang-orang miskin bisa dipercaya ketika mendapatkan pinjaman dari bank. Mereka menjalankan usaha secara benar dan bisa mengembalikan pinjaman tersebut. </p> <p><strong>Oke, para pemirsa di rumah, saya minta Anda jangan ke mana-mana dulu. Kita akan kembali setelah pariwara berikut. </strong></p> <p>(Saya tidak ke mana-mana. Anda tahu, pembawa acara di televisi gemar sekali menyampaikan hal-hal yang sudah jelas. Tentu saja ''kita'' harus kembali, sebab acaranya belum selesai, kan? Kalau pembawa acara itu ngeloyor dan tidak kembali lagi ke studio sebelum acara selesai, dia tentu akan dipecat seketika oleh bosnya.) </p> <p><strong>Kita masuk ke isu yang sedang panas sekarang. Menurut Anda, apakah Pansus Angket Century akan berhasil?</strong> </p> <p>Tunggu dulu! Saya kira kita harus jelas dulu apa yang disebut berhasil. Apakah Pansus Angket itu akan dianggap berhasil jika: </p> <p>Boediono dan Sri Mulyani berhasil diturunkan dari posisi mereka, atau </p> <p>Boediono dan Sri Mulyani tetap bisa memegang jabatan mereka, atau </p> <p>Nasabah Bank Century bisa mendapatkan kembali uang mereka (tetapi beberapa orang kabarnya sampai bunuh diri), atau </p> <p>Pansus berhasil memaksa PPATK, dengan kekuatan legal, untuk mengeluarkan laporan ke mana saja dana mengalir dari BI ke Century dan ke siapa saja, atau </p> <p>Menjadikan pemerintahan SBY-Boediono lebih kuat, atau </p> <p>Menjadikan pemerintahan SBY-Boediono lebih lemah, atau </p> <p>Mengungkap bahwa para politikus lebih bodoh daripada kelihatannya, atau </p> <p>Mengungkap bahwa para politikus lebih cerdas daripada kelihatannya, atau </p> <p>Membuktikan bahwa curhat SBY tentang fitnah itu keliru atau tidak, atau </p> <p>Membuat Miranda Goeltom menjadi lebih tahu, sebab sejauh ini dia selalu menjawab tidak tahu, atau </p> <p>Kalaupun gagal dalam banyak hal, setidaknya pansus bisa menjadikan Skandal Century ini tontonan yang lebih menarik. </p> <p>Jadi, di antara sekian itu, dan Anda bisa menambahkan sendiri kalau mau, mana yang paling memadai untuk dijadikan ukuran keberhasilan? Saya tidak yakin Pansus Angket Century akan berhasil jika dia sendiri tidak tahu ukuran keberhasilannya. Anda tahu, tanpa ukuran yang jelas, tanpa kriteria tertentu tentang keberhasilan, pansus hanya akan menjadi bandul jam yang berayun cepat ke kiri dan ke kanan. </p> <p><strong>Anda tampaknya meragukan kinerja Pansus Angket Century?</strong> </p> <p>Tepatnya, saya tidak tahu apa yang dimaui Pansus Century. Saya tidak tahu apakah Pansus Angket Century itu benar-benar memahami apa itu hak angket, apa kekuatannya, dan sampai sejauh mana kewenangannya. Benny K. Harman, ketua Komisi III (Hukum) DPR, menyatakan bahwa Pansus Angket itu semacam rapat konsultasi belaka. Pekan lalu saya membaca artikel bagus di Detikcom tentang bagaimana hak angket digunakan oleh parlemen di Belanda. Ini hak parlemen yang kekuatannya dahsyat, tetapi mungkin parlemen kita sudah sanggup menjinakkannya menjadi semacam rapat konsultasi biasa. Kalau Harman benar, apa beda hak angket tersebut dengan rapat konsultasi biasa? Merujuk artikel itu, saya akan mengatakan bahwa si Harman tersebut tak tahu apa-apa tentang hak angket. Entah apakah para anggota DPR yang lain juga tidak tahu apa-apa. </p> <p><strong>Anda sering tampak sinis kepada para politikus, atau Anda penganut pandangan bahwa politik itu sesuatu yang kotor?</strong> </p> <p>Sebetulnya, orang-orang zaman dulu pun begitu. Orang kiri, sinis. Orang kanan, sinis. Jadi, apa pun alirannya, sinis saja bawaannya kepada politikus. Saya akan membacakan catatan yang saya bawa tentang omongan orang tentang politisi. </p> <p>Coba dengar omongan anonim orang Amerika ini: ''Jangan bilang-bilang ke ibu saya, ya, bahwa saya masuk ke dunia politik. Selama ini dia mengira saya bermain piano di rumah bordil." </p> <p>Nah, Nikita Khruschev tak mau kalah. Menurut si Soviet itu, ''Politikus ya memang gitu-gitu saja di mana pun. Mereka selalu berjanji membangun jembatan meskipun tak ada sungai di situ.'' </p> <p>''Dan, ada satu rahasia," kata orang Prancis Charles de Gaulle. ''Sebetulnya tak ada satu politikus pun yang memercayai omongannya sendiri. Mereka justru akan terpana ketika ada orang memercayai omongan mereka." </p> <p>''Tapi, sialnya, mereka itu yang menentukan nasib orang banyak," kata Albert Camus. ''Menurut saya, politik dan takdir itu sama belaka, sama-sama ditentukan oleh orang-orang yang tak punya gagasan maupun harga diri. Orang-orang yang punya harga diri tak akan masuk politik." </p> <p><strong>Tunggu sebentar, Anda tak punya kutipan dari dalam negeri?</strong> </p> <p>Ada, Ruhut Sitompul. Artis sinetron yang sekarang jadi politikus itu bilang bahwa mitra koalisi yang mendukung penonaktifan Boediono dan Sri Mulyani adalah pengkhianat. Dan siapakah yang dia maksud mitra koalisi? Tentu saja politikus. Tidak ada tukang ledeng yang jadi mitra koalisi, kan? </p> <p>Dan tentang Ruhut ini, saya pikir dia akan menjadi politisi yang baik jika dulu dia bisa bermain sinetron secara baik, setidaknya satu episode saja. </p> <p><strong>O, Anda juga pengamat sinetron rupanya?</strong> </p> <p>Saya penggemar film hantu-hantuan. Menurut saya, film-film hantu itu berhasil menjadi lucu secara alamiah. Dan saya kira di situ mereka berhasil sebagai film humor, yakni menjadi lucu tanpa berniat melucu. Lalu, salah satu inovasi yang dihadirkan oleh film hantu-hantuan itu adalah tampilnya setan budheg. Bayangkan betapa sulitnya mengusir setan macam beginian. Ia tak akan bisa mendengar kalaupun Pak Kiai membaca ayat-ayat suci sampai khatam. </p> <p>Tetapi, di luar faktor kelucuannya, ada hal lain yang paling saya hargai dari hantu-hantu itu, yakni bahasa mereka lebih tertib jika dibandingkan dengan para politikus. Coba Anda ingat-ingat, hanya hantu-hantu dalam film Indonesia yang berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Mendiang Suzana, misalnya, jadi sundel bolong, Nyi Blorong, ataupun Nyi Roro Kidul, dia selalu berbahasa dengan tertib, sesuai EYD, dan sedikit bergema. Demikian pula kebanyakan hantu yang muncul setelahnya. </p> <p>Jadi, saya punya usul, sebaiknya Pusat Bahasa mendorong agar sineas-sineas kita lebih giat lagi membikin film hantu-hantuan. Itu demi memasyarakatkan pemakaian bahasa Indonesia secara baik dan benar. Manfaat lainnya, itu bisa mengimbangi kekacauan bahasa para politikus. </p> <p><strong>Terakhir, masih menyangkut urusan bahasa, kenapa Menteri Tifatul Sembiring suka berpantun?</strong> </p> <p>Agar terasa kuno. Apa lagi? Saya kira itulah motif dia berpantun. (*) </p> <p> </p> <p> </p> <p>*) A.S. Laksana , cerpenis, tinggal di aslaksana@yahoo.com</p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7727547271501570679.post-84612965748548044212010-08-12T05:40:00.001-07:002010-08-12T05:40:06.750-07:00Abdul Majid Hariadi, Jawa Pos [ Selasa, 16 Maret 2010 ]<p><strong></strong></p> <p><strong>Guru Jangan Mencederai Unas <br /></strong></p> <p><strong>Oleh : Abdul Majid Hariadi</strong> </p> <p>HASIL jeblok tryout ujian nasional (unas) di berbagai daerah di Jawa Timur menjadi sinyal buruk bagi pelaksanaan unas tahun ini. Hal ini terjadi pada hampir semua siswa tingkat SMP/MTS maupun SMA/MA/SMK, baik negeri maupun swasta. Nilai yang dicapai di atas 50 persen di bawah standar alias tidak lulus. </p> <p>Di Kota Surabaya yang menjadi barometer pendidikan di Jatim hasil tryout unas sangat mengecewakan. Untuk tingkat SMA/MA, hampir 75 persen siswa tidak lulus. Bahkan, ada puluhan sekolah swasta yang 100 persen siswanya tidak lulus. </p> <p>Demikian halnya yang terjadi pada tingkat SMP/MTS. Sekitar 75 persen pelajar SMP di Kota Pahlawan tidak lulus tryout unas. Sebanyak 110 sekolah swasta menunjukkan kelulusan nol persen. Hasil tryout siswa MTS malah lebih memprihatinkan. Hampir 95,57 persen siswa tidak lulus. </p> <p>Jebloknya hasil tryout unas tersebut selalu ditanggapi dengan jawaban seragam oleh kepala dinas pendidikan, kepala sekolah maupun guru. Ketika dikonfirmasi, mereka selalu menjawab bahwa hasil uji coba atau tryout tidak bisa dijadikan acuan atau karena soal tryout dibuat lebih sulit daripada soal unas. </p> <p>Mengapa kita tidak berusaha berpikir sebaliknya? Memberikan soal tryout lebih sulit daripada unas dan membuat siswa mampu mengerjakan soal tersebut. Logikanya, kalau mampu mengerjakan soal tryout yang lebih sulit, para siswa akan lebih mudah mengerjakan soal unas. </p> <p>Hasil mengecewakan tersebut patut menjadi perhatian kita semua, baik oleh dinas pendidikan, sekolah, guru, siswa maupun orang tua. Apalagi, unas tahun ini yang mengusung moto jujur dan kredibel menjadi taruhan berbagai pihak. Karena itu, Kemendiknas dan Polri sepakat memperketat pengawasan 24 jam sejak pencetakan soal hingga pengawasan ujian pada hari H. </p> <p>Bahkan, bersama Mendiknas 33 kepala dinas pendidikan (Kadispendik) provinsi seluruh Indonesia sepakat merealisasikan unas jujur dan kredibel dengan menandatangani pakta kejujuran unas. Dengan meneken pakta itu para Kadispendik siap menerima sanksi jika terjadi kecurangan di daerahnya. (Jawa Pos, 5-03-2010) </p> <p>Lantas apakah mekanisme pengawasan berbeda dan penandatanganan pakta kejujuran akan menghilangkan permasalahan dalam unas? Sebab, peluang sekecil apa pun dapat digunakan untuk melakukan kecurangan. </p> <p>Fakta membuktikan guru selalu terlibat kecurangan dalam unas. Guru membantu dengan berbagai cara agar siswanya lulus. Ini supaya guru tidak disebut gagal dalam proses pembelajaran. Guru telah melakukan perselingkuhan dalam proses pendidikan sehingga tingkat kejujuran unas begitu rendah. </p> <p>Data yang dirilis Kemendiknas menunjukkan begitu rendahnya tingkat kejujuran sekolah di Jatim. Di antara 38 kabupaten/kota di Jatim, hanya enam daerah yang memiliki angka kujujuran relatif tinggi. Bila dipersentase, dari seluruh sekolah yang ada di daerah itu, angkanya melebihi 50 persen. Enam kabupaten/kota tersebut adalah Kota Malang, Kota Madiun, Kota Kediri, Kota Blitar, Kota Pasuruan, Kabupaten Blitar, dan Kota Batu. (Jawa Pos, 802-2010) </p> <p>Unas masih menjadi momok mengerikan bagi siswa, guru, dan orang tua. Karena unas menjadi salah satu syarat penentu kelulusan siswa, langkah apa pun akan dilakukan agar siswa dapat melewatinya. </p> <p>Banyak persiapan dilakukan siswa, guru, dan orang tua dalam menghadapi unas. Mulai menambah les pelajaran, menambah jam bimbingan belajar di sekolah, tryout, doa bersama, pemampatan jam pelajaran selain unas, sampai pada pemberian hipnoterapi agar siswa lebih fokus dan percaya diri menghadapi unas. </p> <p>Melalui unas integritas sekolah dipertaruhkan. Siswa dapat mencapai standar kelulusan atau tidak. Sekolah masuk kategori kualitas baik atau buruk. Nama sekolah menjadi taruhan. Mungkin guru dan pihak sekolah akan "berusaha" agar siswanya mencapai standar kelulusan yang ditetapkan. </p> <p>Maka tidak akan ada artinya pakta kejujuran yang ditandatangani Kemendiknas dan Kadispendik provinsi seluruh Indonesia. Kalau hal itu tidak dibarengi mental yang jujur dan baik dari guru. Ini karena guru merupakan ujung tombak dalam proses penyelenggaraan unas. </p> <p>Ada tiga hal penting yang bisa dilakukan guru dalam mempertahankan jati diri guru dan integritas sekolah tanpa harus mencederai unas. Pertama, guru harus tetap berpegang teguh pada tugas pokok dan fungsinya. Yaitu, mendidik, melatih, dan mengajar. Guru yang selalu mengedepankan proses pembelajaran yang dinamis dan kondusif menghasilkan siswa berprestasi. </p> <p>Kedua, guru harus bersama-sama bekerja keras dan memiliki tanggung jawab moral dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Melalui pembelajaran yang kreatif dan inovatif. Hal ini merupakan proses yang lebih baik daripada membantu siswa dengan cara yang tidak terpuji dalam unas. </p> <p>Ketiga, guru harus berlaku jujur dan membekali serta menanamkan kejujuran pada siswa. Kejujuran memang mudah diucapkan, tapi begitu sulit dalam dipraktikkan. Kejujuran harus dikedepankan dalam unas daripada sekadar mendapatkan nilai tinggi. Apalah artinya pencapaian nilai tinggi, tapi tidak diiringi dengan moral dan akhlak yang baik. </p> <p>Usia siswa sekolah merupakan usia yang paling efektif dalam pembentukan karakter siswa. Pembentukan nilai hidup harus menjadi syarat utama menjadikan pendidikan yang berkualitas. Penanaman nilai hidup ini harus dibentuk sejak dini. </p> <p>Sangat menarik untuk direnungkan sindiran A.S. Laksana dalam tulisannya Tentang Bangsa yang Gagal Belajar di ruang putih 21 Februari lalu. Oleh Laksana sekolah diibaratkan pabrik dan guru adalah buruhnya. Guru bekerja hanya untuk mendapatkan uang, seperti buruh di pabrik biskuit atau pabrik tahu. </p> <p>Di pabrik yang baik anak kita (siswa) bisa diolah menjadi biskuit yang lezat atau keripik yang gurih dan renyah atau menjadi tahu nomor satu. Sebaliknya, di pabrik yang bekerja asal-asalan mereka bisa menjadi biskuit beracun atau tahu masam yang akan membuat perut kita mules-mules. </p> <p>Guru mempunyai kewajiban membentuk karakter siswa sehingga menjadi generasi yang mampu survive dalam menghadapi sebuah tantangan. Tidak malah menjerumuskan siswa menuju generasi rapuh dengan selalu "melayani" siswa yang terkadang tanpa disadari dapat merusak sikap, moral, dan akhlak siswa. (*/mik) </p> <p>Abdul Majid Hariadi, Pendidik SMKN 1 Sidoarjo</p> Unknownnoreply@blogger.com0