Saturday, July 3, 2010

Tentang Kebijakan Absurd (latihan)

SEORANG sahabat yang setia membaca tulisan-tulisan saya, Banny Jayanata, menulis surat yang mengungkapkan keprihatinannya atas keadaan kocar-kacir negeri ini. Ia penuh pikiran baik dan saya terdorong untuk membuka surat yang ia tulis untuk saya agar bisa dibaca banyak orang. Maka saya minta izin kepadanya dan ia setuju. Dan inilah suratnya:

Saudara A.S. Laksana,

Saya merasa saat ini bahwa pemerintah kita makin lama makin tidak konsisten dalam bekerja, di samping juga inkompeten. Salah satu dari kebijakan absurd adalah dibentuknya Satgas Mafia Hukum. Para pakar, seperti yang saya baca di berbagai media massa, mengatakan bahwa satgas sejatinya tak memiliki wewenang cukup untuk melakukan penindakan. Pertanyaannya, mengapa membentuk yang baru dan bukan memperkuat yang sudah ada? Seperti yang dikatakan para pakar itu, kita sebenarnya telah memiliki sekitar 120 komisi, hanya saja mereka tak memiliki wewenang untuk melakukan tindakan lebih dari sekadar mengumpulkan data. Praktis cuma KPK yang memiliki wewenang lebih.

(Saudara Banny yang baik, dalam buku berjudul Peter Principle, Laurence J. Peter menulis mengenai orang-orang tidak kompeten yang ada di pucuk-pucuk kekuasaan, dalam organisasi apa pun. Kenaikan pangkat atau jabatan, katanya, bisa merupakan peristiwa pengalihan seseorang dari posisi di mana dia memiliki kompetensi ke posisi lain di mana dia tidak kompeten. ''Saya yakin salah satu bentuk polusi yang tak terlalu diberi perhatian oleh para pakar lingkungan sosial adalah polusi yang disebabkan oleh birokrasi," tulisnya. Dan orang-orang inkompeten inilah yang menyebabkan polusi berat dalam setiap organisasi.)

Dengan memperkuat Komisi Yudisial sesungguhnya kita akan memiliki satu lagi lembaga sebaik KPK di ranah peradilan, dan itu pasti akan membuat kinerja peradilan jauh lebih baik. Paling tidak, ruang gerak para markus (makelar kasus, Red) dibatasi kalau tidak dilenyapkan. Namun, pemerintah malah membuat sesuatu yang baru yang pada dasarnya tak berbeda dengan yang sudah ada. Maka, saya kira satgas hanya bagian dari pencitraan belaka.

(''Pembentukan kabinet yang sekarang sungguh membingungkan saya. Mungkin perlu diangkat satu menteri lagi: Menteri Urusan Mengangkat Menteri," tulis Goenawan Mohamad pada 6 Januari dalam Twitter-nya.)

Saya juga masih ingat bagaimana pemerintah kita ikut ambil bagian dalam penandatanganan perjanjian Kopenhagen dan mencanangkan, tanpa diminta, penurunan emisi karbon tahun 2020 sebesar 26 persen. Tetapi itu kontradiktif, terutama karena di saat yang sama pemerintah telah membebaskan jutaan hektare lahan untuk CPO dan tambang batubara. Jadi, ketika SBY berkata, ''Mari kita bersama-sama menanam bermiliar pohon!" sebenarnya apa yang ingin ia katakan adalah, ''Mari kita menanam miliaran pohon, dan kami pemerintah yang akan menebangnya!'' Begitu banyaknya paradoks terjadi saya kira karena masalah yang muncul bukannya diselesaikan dengan baik, tetapi malah ditutup-tutupi demi menjaga tampilan luar semata.

(Mengenai tampilan luar, saya baca di situs resmi Presiden SBY bahwa dalam berbagai kesempatan, di mana pun, presiden dan Ibu Ani selalu menanam pohon. Pada hari Jumat (15/1) pekan lalu, RI-1 dan RI-1,5 itu menanam nyamplung dan sukun di Cilincing. Menurut penelitian Departemen Kehutanan, pengolahan biji nyamplung sebagai BBM lebih efektif dibanding biji jarak yang juga dikampanyekan sebagai sumber energi alternatif. Saya kira nyamplung mungkin lebih baik juga dibandingkan Blue Energy yang sempat dibanggakan oleh presiden sebagai ''solusi Indonesia" dan diberi nama ajaib: Minyak Indonesia Bersatu.)

Satu hal lagi yang membuat saya prihatin, yakni keikutsertaan kita dalam Free Trade Agreement (FTA) ASEAN-China yang juga absurd. Di saat pemerintah menyatakan keoptimisannya mengurangi jumlah pengangguran, apa yang akan terjadi dan telah terjadi adalah bahwa sebagian industri dalam negeri gulung tikar karena masuknya barang-barang China yang terkenal murah (pemerintah China memutuskan memberi subsidi hingga 14 persen bagi pengekspor kakap mereka).

Maka, logika apa yang sebenarnya dipakai pemerintah kita? Setahu saya Amerika yang merupakan kekuatan ekonomi terbesar saja melakukan proteksi terhadap industri dalam negerinya dari barang-barang impor China. Karena itu, saya khawatir negara ini akan semakin terpuruk karena ketak-acuhan pemerintahnya terhadap kebutuhan-kebutuhan substansif rakyatnya.

(Ada tiga kekuatan yang bisa ditransformasikan menjadi hukum, yakni otot, uang, dan inteligensia. Untuk ketiganya kita lemah di hadapan negara-negara lain, khususnya Barat, dan itu sangat mempengaruhi diplomasi kita dalam pergaulan bangsa-bangsa. Suatu saat saya ingin membicarakan ketiga hal ini.)

Saya dan Anda, dan kami semua sebagai rakyat biasa, kini hanya bisa mengelus dada sembari mencoba menjalani hidup sebaik-baiknya di tengah begitu banyak kebohongan dan kemunafikan, dan itu terjadi dari tataran masyarakat paling bawah hingga yang teratas. Ini sungguh mengerikan. Dan lebih mengerikan lagi ketika kita membaca apa yang sedang terjadi pada lembaga kepolisian kita.

Saya sebenarnya dari semula merasa bahwa kasus yang menimpa Antasari Azhar tidaklah sesederhana itu. Dan belakangan muncul keganjilan demi keganjilan: aktivitas rekam-merekam, tak adanya bukti SMS per Februari, rekayasa BAP, dan yang terakhir, pengakuan Susno Duadji bahwa sebagai Kabareskrim waktu itu ia telah sengaja dilangkahi dan dipinggirkan. Itu semua membuat saya semakin yakin bahwa kriminalisasi tidak dimulai dari kasus Bibit dan Chandra Hamzah, namun jauh sebelum itu.

(Polusi udara dan air menyebabkan peracunan lingkungan fisik; polusi organisasional menyebabkan peracunan lingkungan sosial. Korban polusi lingkungan fisik sering tidak menyadari bahwa mereka teracuni sampai kondisi mereka benar-benar sudah sangat payah dan tak tertangani. Dalam kasus polusi organisasional, keruwetan makin menumpuk, sampai tiba hari yang fatal ketika segala hal menjadi lumpuh dan menyiksa.)

Ketika seorang warga tak bersalah bisa dipenjarakan, maka saat itu juga tak ada yang namanya hukum, dan status negara sebagai negara hukum sangat layak dipertanyakan. Dan kini saya merasa kasus yang membelit Antasari Azhar juga perlu mendapat kawalan publik. Saya berharap publik tidak tergesa-gesa mengambil pandangan sempit ketika mengetahui kecenderungan Antasari untuk main perempuan. Mungkin karena tabiat Antasari yang seperti itu, maka pihak-pihak yang selama ini tak suka dengannya merasa memiliki kesempatan yang baik untuk mulai bertindak. Lagipula, mengapa Rani disembunyikan sedemikian lama?

Sekarang, mungkin karena merasa dikorbankan dalam kasus cicak versus buaya, Susno melakukan serangan balik, dan akibatnya ia menerima banyak ancaman pembunuhan. Saya melihat semua ini hanya dengan pandangan awam yang sederhana: Apakah mungkin polisi, yang selama ini melakukan tugasnya bersinergi dengan KPK, melakukan semua itu tanpa adanya pesanan?

Saya menulis semua ini karena didorong oleh perasaan yang sama dengan Anda: keprihatinan. Kini saya mencoba, untuk tidak melebih-lebihkannya, membaca koran hanya pada sore hari, atau ketika saya siap. Dan, judul salah satu tulisan Anda, Surat Terbuka kepada Presiden, saya kira tepat, karena mau tidak mau dialah orang yang paling bertanggung jawab atas semua ini.

Salam saya,

B. Jayanata

(Saya kira memang ada persoalan serius dalam keberlangsungan organisasi besar yang dinamakan Indonesia. Dan saya sepakat dengan Anda bahwa telah terjadi polusi hebat yang disebabkan oleh inkompetensi, yang menyebabkan rakyat kecil terus terlempar ke mulut bencana --apa saja bentuknya.) (*)

*) A.S. Laksana , cerpenis, beralamat di aslaksana@yahoo.com

0 comments:

Post a Comment