Saturday, September 25, 2010

Richard Oh



Richard Oh
Richard Oh seakan tidak bisa dilepaskan dari buku. Di beberapa tempat di Jakarta, ia membuka toko buku dengan konsep baru. Seperti di Singapura atau Hong Kong, toko bukunya, QB Book Store, dilengkapi dengan kafe dan sofa-sofa untuk membaca. Dan seluruh buku yang sebagian besar berbahasa Inggris itu tidak ada yang disegel. Pengunjung bisa leluasa membaca-baca buku sambil santai di sofa. Di toko bukunya, para pencinta buku bisa bertemu dan berdiskusi tentang buku. Di QB Pondok Indah, Jakarta Selatan, diadakan pemutaran film seni tiap Sabtu.
Prihatin terhadap kondisi buku-buku sastra Indonesia yang kurang laku, ia pun menaruh perhatian terhadap kemajuan sastra di negeri sendiri. Ia mendirikan penerbit Metafora—yang menerbitkan buku-buku terjemahan sastra Indonesia dalam bahasa Inggris—dan menerbitkan Jurnal Prosa dan Jakarta Review Book untuk menjaring kaum ekspat yang kurang tahu keadaan sastra Indonesia. Dalam rangka mengangkat sastra Indonesia, ia merintis anugerah Khatulistiwa Literary Award, dengan total hadiah Rp 30 juta pada 2001 dan untuk tahun 2002 ditingkatkan menjadi Rp 50 juta.
Richard sendiri adalah seorang sastrawan. Selain cerpen, ia menulis dua novel dalam bahasa Inggris. “Saya merasa ada keleluasan menulis dalam bahasa Inggris,” begitu alasannya. Sebab, untuk satu kata ia bisa menemukan lima sampai enam padanan.

Cita-cita jadi pengarang sudah terlintas waktu Richard kanak-kanak di kota kelahirannya, Tebingtinggi, Sumatera Utara. “Mungkin karena banyak membaca buku dan terlalu heboh dalam menggambarkan dunia, jadi ada harapan besar menjadi pengarang,” ujarnya. Kebetulan, ayahnya seorang pengusaha yang sejak muda terbiasa membaca buku-buku serius. Begitu pula dengan paman-pamannya. Ia memulainya dengan membaca buku-buku silat dan komik.
Tertarik pada bahasa ketika pindah ke Jakarta, ia tinggal bersama pamannya yang pemilik pabrik dan memiliki perpustakaan yang cukup lengkap. Mulailah ia berkenalan dengan sastra dunia semacam karya Joseph Conrad. Lewat sastra dunia itu, “Saya menemukan bahasa dan sastra Inggris yang indah dan saya ingin menguasainya,” katanya. Dari larut membaca, pada usia 17 tahun, ia terdorong mengikuti lomba penulisan cerpen yang diselenggarakan oleh majalah Asia Week. Walau tidak menang, cerpennya mendapat salah satu penghargaan.
Untuk mewujudkan cita-citanya itu, ia belajar penulisan kreatif di Universitas Wisconsin, Madison, dan UC Berkeley. Ini membuat keluarganya kaget, karena biasanya orang kuliah di Amerika mengambil jurusan marketing atau finance. Awalnya ia sempat depresi, merasa tidak popular, lalu jadi pemurung. Ia pun sempat belajar pada Lary More, penulis buku yang masuk nominasi National Book Award. “Saya tahu betapa susahnya orang Indonesia menulis dalam bahasa Inggris,” tuturnya.

Walau kreativitas tidak bisa diajarkan, dari bangku kuliah ia bisa tahu macam-macam teori kreativitas, bisa belajar bagaimana menulis yang lebih mementingkan pembaca ketimbang penulis. Pun bisa membedakan menulis secara obyektif dan subyektif. Richard memulai menulis pendek-pendek dan saat itu belum mampu menulis novel.
Terdesak oleh tekanan keluarga, yang mengukur kesuksesan seseorang dari materi, sepulang dari Amerika ia memutuskan bekerja di perusahaan advertising. Padahal, inginnya ia menulis saja, sementara istrinya bergelar MBA dan bekerja di perusahaan multinasional. “Saya berbicara pada diri sendiri bahwa jika tidak bisa menjadi seniman, harus menjadi orang yang punya uang,” katanya. Akhirnya, ia berhasil membuat biro iklan yang banyak mendapat klien-klien besar.
Saat krisis ekonomi, Richard lelah di dunia periklanan, sampai ia depresi dan merokok tiga bungkus sehari, jarang pulang dan mandi. “Badan saya menjadi bau sekali. Anak dan istri menjadi benci,” tuturnya.

Peristiwa Mei 1998 menjadi titik balik dalam kehidupan Richard untuk kembali ke obsesi semula: menulis. Peristiwa, yang disertai pembakaran dan pemerkosaan terhadap orang-orang Cina, membuat endapan yang selama puluhan tahun terpendam itu meledak. “Tiba-tiba saya bisa dengan lancar menulis novel,” kata lelaki keturunan etnis Tionghoa itu. “Saya marah sampai saya menulis buku. Saya tulis bagaimana sekelompok orang turunan dan pribumi bekerjasama tetapi selalu dicurigai oleh pemerintah,” tuturnya. Sedang novel keduanya ia tulis dalam keadaan yang lebih sulit karena kesibukan dengan toko bukunya. Sekarang ia tengah mengerjakan novel ketiga.
Menikah dengan Inggid pada 1983, Richard ayah tiga anak. Oleh teman-temannya, Richard sering ditanya bagaimana membiasakan anak-anak membaca buku. “Syaratnya gampang: orangtua harus gemar membaca,” katanya. Di zaman yang serba cepat, membaca seperti membalikkan waktu, sehingga terasa hidup menjadi pelan. Menurut dia, membaca buku jauh sebenarnya lebih mengasyikkan daripada menonton film atau televisi. “Proses membaca membuat otak jauh lebih aktif dan membawa kita ke suatu dunia yang berbeda,” ujarnya lagi.

 

Nama :
Richard Oh
Lahir :
Tebingtinggi, Sumatera Utara, 30 Oktober 1959
Pendidikan :
Sastra Inggris dan Penulisan Kreatif di Universitas Wisconsin, Madison, dan UC Berkeley, Amerika Serikat
Karir :
- Copywriter senior di Parwanal DMB&B dan di AdForce-JWT (1989)
- Pendiri dan pemilik NuvoCOm Advertising (1989-sekarang)
- Pendiri dan pemilik QB World Books (1999-sekarang).
Keluarga :
Istri : Inggid Anak : 3 orang

 

Sumber: http://www.pdat.co.id/hg/apasiapa/html/R/ads,20030630-129,R.html

0 comments:

Post a Comment