Wednesday, September 1, 2010

Siapa Takut, Nirwan Dewanto?


* Mengembangkan Sastra dengan Merebutnya dari Para Ahli Sastra
Richard Oh


Ada beda yang sangat kentara antara penulis sastra dan ahli sastra.
Seorang penulis sastra berusaha, dengan serampangan tanpa mengikuti
suatu metode, memetik apa saja dari sumber sastra untuk tujuan
seninya. Ia mengolahnya untuk mengisi kebutuhan seninya. Yang ia
pelajari bukan sintaksis atau teori, tapi gerak "menuju pengungkapan
baru, menghancurkan ekspektasi genre yang ada". Seorang ahli sastra,
anggaplah dia akademikus di fakultas sastra, berusaha terus mengolah
dari sastra sumber-sumber yang bisa disatukan dalam suatu teori atau
persepsi yang kemudian dibakukan menjadi metode. Untuk meyakinkan
kolega, mereka menulis temuan mereka dalam bentuk makalah dengan
bahasa formal sarat jargon akademis.


Bagi dunia sastra inilah soalnya. Bagaimana bisa kita kembangkan
sastra dengan panduan yang begitu kaku dan teoretis? Berbagai makalah
sudah ditulis tentang puisi TS Eliot, The Waste Land. Begitu hebat
makalah-makalah tentang puisi ini, sampai-sampai mahasiswa takut
mendekatinya. Takut, seperti akademisi yang pertama kali
diperkenalkan dengan puisi ini tahun 1922. Pada waktu itu ahli sastra
tak memahami makhluk baru yang mereka hadapi. Dalam kekalutan
penafsiran mereka, diperkeruh lagi dengan catatan tambahan di akhir
puisi itu, pengejaran pada makna The Waste Land makin dahsyat.
Semakin kalut pencarian para akademisi, semakin salut mereka pada
kehebatan puisi ini.


Namun, lihatlah nasib puisi ini sekarang, hampir seabad kemudian?
Di Amerika banyak mahasiswa yang sama sekali tak mengenalnya.
Pelacakan di Internet memperlihatkan The Waste Land jadi judul sitcom
populer. Setelah memelajarinya sekian lama, baru pada sekitar 2002
saya menemukan pencerahan tentang puisi ini dalam pengantar kumpulan
puisi TS Eliot oleh Mary Karr, penulis memoir, eseis, dan penyair. Di
situ Karr mengatakan sebenarnya segala cara menemukan makna yang
berarti dari puisi itu tak akan membuahkan hasil berarti. Mengapa?
Karena Eliot, seperti juga para penyair simbolis zaman itu macam
Rimbaud, memadukan berbagai elemen ke dalam puisinya: mitos,
referensi, bahkan larik-larik esoteris tembang Australia hingga chant-
chant Upanishad. Tujuannya, menciptakan efek menggugah suasana
nostalgia, warna dan aksen yang mencerminkan kegersangan generasi
Eliot setelah Perang Dunia Pertama. Jadi, yang diinginkan penyair
bukan erudikasi, melainkan makna yang dibisa diserap dari esensi
puisi itu sendiri.


Dampak puisi ini kemudian berlanjut dengan terwujudnya cara
pembacaan ketat yang membuahkan satu aliran New School of Criticism.
Oleh kelompok ini, kenikmatan sastra bukan lagi prioritas sebab
mereka percaya hanya dengan memahami sepenuhnya latar dan referensi
tiap bait syair, kita bisa menikmati sebuah karya sastra secara utuh.
Saya kira ini pemikiran keliru yang memberi dampak negatif pada karya
penyair modern. Karya puisi menjadi gersang, terlalu akademis, dan
sama sekali tak lagi merefleksikan kedalaman jiwa, tapi tekanannya
berat pada erudikasi.


Aliran yang diciptakan Eliot secara kebetulan ini menciptakan lebih
banyak ahli sastra hebat daripada penyair hebat. Karr menyebutkan
sebenarnya puisi Eliot menjerit supaya kita mendengarnya. Jangan
menganalisisnya. Dengarkan irama setiap stanza. Nikmati imaji dan
ambience yang dievokasikan oleh kata-kata yang begitu padat, begitu
akurat, begitu berbeda dengan puisi-puisi zaman sebelumnya yang
terkesan sangat didaktik serta padat muatan moral dan kotbah regilius.


Seni dan penafsiran seni
Dalam What is Literature?, Jean Paul Sartre mengatakan "sebuah
karya seni tidak bisa direduksi menjadi sebuah pemikiran, pertama-
tama karena seni adalah produksi atau reproduksi dari keberadaan,
being, sesuatu yang tak akan membiarkan dirinya dipikirkan sebab
keberadaan ini dipenetrasi sepenuhnya oleh sebuah eksistensi, yakni
sebuah kebebasan yang menentukan nasib dan nilai dari pemikiran itu."

Kalau pernyataan ini punya validitas, bagaimana seharusnya kita
tanggapi buku-buku karya akademisi itu? Apa guna concordance tentang
kebobrokan humanitas dalam novela Joseph Conrad, Heart of Darkness?
Apa guna menulis makalah akademis? Menurut saya, tulisan akademisi
hanya berguna bagi dan membantu pengembangan sastra bila mencerahkan
dan memandu apresiasi atas karya sastra itu tanpa mencoba
merangkumnya ke dalam suatu teori seperti yang terjadi pada Ulysses.
Bayangkan, sejak buku itu tampil tahun 1920-an hampir bersamaan
dengan puisi Eliot, ribuan bahkan jutaan buku akademisi telah
diterbitkan mengupas makna terpendam Ulysses. Sampai hari ini ia
masih diperdebatkan di bar-bar di Irlandia. Ada lelucon: kalau ada
yang berani mengaku memahami sepenuhnya Ulysses, ia akan menjadi
orang pertama yang dilempar keluar dari bar itu. James Joyce, sang
penulis Ulysses, dalam pengakuannya menyatakan ingin menulis satu
buku yang akan dibahas oleh para profesor selama seratus tahun.
Keinginannya jadi kenyataan. Apakah karyanya punya makna yang dalam
tentang humanitas? Apakah ia membantu pengembangan sastra?

Saya mengambil beberapa kutipan untuk membantu memperdalam
pemahaman kita. Virginia Woolfe menulis dalam catatan hariannya, Rabu
6 September 1922, "Saya menyelesaikan Ulysses dan merasa bahwa karya
ini meleset. Kejeniusan memang ia punyai, tapi bukan karya unggul.
Buku ini kurang fokus. Terlalu keruh. Pretensius. Ia kurang kaya,
bukan saja dalam arti yang sudah jelas, tetapi dalam arti literer
sekalipun. Penulis kelas teratas, menurut hemat saya, terlalu
menghargai penulisan untuk sengaja membuatnya menjadi berbelit-belit,
sengaja mengagetkan, memamerkan kehebatan."

Pada Selasa 26 September 1922 Virginia Woolfe mengutip komentar
Eliot tentang buku Ulysses, "Buku ini akan jadi tonggak karena ia
melumatkan seluruh abad ke-19. Ia bahkan tidak menyisakan apa-apa
lagi bagi Joyce untuk menulis. Ia menunjukkan betapa sia-sianya semua
gaya penulisan Inggris. Dia (Tom) merasa di beberapa bagian
penulisannya sangat indah, tapi tidak ada suatu 'konsepsi mutakhir'.
Itu memang bukan tujuan utama Joyce. Dia berpikir, Joyce melakukan
sepenuhnya seperti apa yang dia inginkan. Namun, Tom merasa Joyce
tidak memberikan gagasan baru apa pun bagi sifat manusia --tidak
mengungkapkan sesuatu yang baru seperti Tolstoy. Bloom tidak
menyampaikan apa pun kepada kita."

Di zaman ini kita tentu paham yang dimaksudkan Eliot dengan
ketiadaan konsep besar dalam karya ini adalah pendekatan Joyce
melalui teknik Epiphany, yaitu pencerahan demi pencerahan dari momen-
momen kecil. Yang mungkin bisa dikagumi dari prestasi buku ini adalah
bahwa hingga hari ini ia masih jadi bahan bahasan di mana-mana.
Apakah ia memajukan pengembangan sastra?

Karya ini-seperti juga The Waste Land-menciptakan satu generasi
kritikus dan penulis yang, menurut saya, tidak memajukan sastra,
melainkan membuat sastra jadi kompleks seperti yang disebut Siegel:
membuat membaca sastra seperti memerlukan sertifikat mengendalikan
mobil. Untung di zaman ini kita punya Jose Saramago, Gabriel Garcia
Marquez, dan Julio Cortazar yang melepaskan kita dari belenggu sastra
sarat referensi dan erudikasi ini.

Sastra: pendekatan alami

Saya kira pendekatan Robert Pinksky, yang pernah jadi poet laureat
di Amerika dulu, terhadap sastra lebih menarik. Dia
mengatakan, "Pengetahuan dari pendengaran kita untuk memahami satu
larik puisi adalah pengetahuan pola bahasa yang sudah terbiasa pada
kita sejak masih bayi." Pada intinya puisi bisa kita nikmati, seperti
kita menikmati percakapan, lagu, tanpa perlu pengetahuan khusus sebab
puisi dan rima-rimanya mengetuk hati kita bagai detak jantung. Bila
ingin mempelajari metrik tradisional, kita hanya perlu baca kumpulan
puisi William Butler Yeats atau Ben Johnson. Untuk memahami free
verse, baca dua volume kumpulan puisi William Carlos Williams dan
Wallace Stevens. Untuk memahami linea pendek, baca kumpulan puisi
Emily Dickinson. Tentang adaptasi metrik balada ke dalam puisi
modern, baca kumpulan puisi Thomas Hardy. Menurut Robert Pinsky, tak
ada manual instruksi yang bisa lebih membantu memahami puisi selain
mendengar dengan cermat bunyi yang tebersit dalam setiap puisi yang
dibaca.

Lee Siegel dalam pengantar novel DH Lawrence, The Lost Girl, yang
diterbitkan kembali setelah ditelantari sekian tahun,
mengatakan, "Sebagai akibat diakademikannya sastra, orang-orang
literer ketika mengapresiasi fiksi menganggap perasaan dan persepsi
merupakan ungkapan bagi seorang amatir. Bahkan di luar tembok
universitas, dalam kritik sastra kita masih juga menemukan bahasan
tentang alam sadar dan ironi, karakter dan karikatur, realisme
sejarah dan realisme psikologis, dan lain sebagainya. Pembaca mulai
merasa tak punya kualifikasi membaca, bagai mengendarai mobil tanpa
SIM. Namun, sebenarnya tak ada sesuatu yang literer tentang sebuah
novel yang efektif. Ia tak ubah laksana ekspresi kreatif sealami
pernafasan kita."

Kutipan ini sangat menarik untuk beberapa hal. Yang pertama,
menyangkut beda persepsi seorang akademikus dengan seorang penulis.
Bagi seorang penulis sastra, penulisan merupakan reaksinya pada
tempat, mood, waktu, dan kenyataan di sekelilingnya. Mereka menulis
tanpa memikirkan teori, tanpa mengikuti metode pemahaman sastra baik
dari buku sastra maupun dari universitas, sebab reaksi tiap penulis
pada suatu kenyataan berbeda-beda. Hal kedua adalah bila penulis
sastra menulis dengan "ekspresi kreatif sealami pernafasan", maka
menikmati karya-karya penulis sastra seharusnya tak memerlukan
analisis yang membuat kening berkerut.

Pemahaman keliru tentang lirisisme dalam prosa
   Perkembangan sastra dalam negeri saat ini, menurut saya, cukup
memprihatinkan karena penekanannya lebih pada sintaksis ketimbang
integritas dan keunikan ekspresi. Maka, sering kita baca betapa
dahsyat Cala Ibi karena pengungkapannya yang unik. Ia bahkan dianggap
memperbarui bahasa dan lain-lain. Kenyataannya, setelah membaca
beberapa halaman novel ini, pembaca akan menemukan paragraf demi
paragraf sarat purple prose. Saya jadi ingat kata-kata Virginia
Woolfe "mannered, self-conscious". Kalimat yang seharusnya tak perlu
kompleks dan bisa ditulis sangat sederhana dipuisikan, dinyanyikan,
dibuat keruh serasa pembaca senantiasa dibombardir oleh aliterasi,
rima haram bagi novelis di mana saja karena ia menjadi distraksi
tersendiri dan mengganggu laju arus cerita. Metafor ataupun
simbolisme yang dalam kamus seorang penulis seharusnya diungkapkan
untuk memperkuat makna keseluruhan satu karya-seperti kejadian di
awal bab novel Anna Karenina di mana seorang wanita mencampakkan diri
ke dalam rel kereta meramal kematian Anna Karenina sendiri pada akhir
novel- disalahpahami oleh penulis Cala Ibi sebagai kreativitas dalam
berbahasa. Penggalan ini saya ambil secara acak dari novel itu.

Bapakku bening air kelapa muda. Ibuku sirup merah kental manis
buatan sendiri. Aku Bloody Mary. Jumat malam alkoholik, happy hours,
Jumat pagi robotik. Kadang aku minum jus tomat, dan merasa sehat.
Kadang berseru alhamdulillah, ini hari Jumat-atau Ahad, Rabu, hari
apa saja. Kor lepas dengan beberapa temanku di sore-sore hari, seraya
aku membayangkan gelas berkaki tinggi dan hijau margarita dan kristal
garam berkilau di bibir gelas, seperti sesosok perempuan, datang dari
kejauhan.

Bayangkan ini hanya satu penggalan kalimat. Begitu padat dengan
informasi, berputar-putar tidak menuju satu tujuan yang memberikan
pencerahan makna. Apa artinya "Bapakku bening air kelapa
muda"? "Ibuku sirup merah kental manis" saja sudah membingungkan,
tetapi kemudian ditambah dengan "kental manis buatan sendiri". Dan,
apa pula artinya "Jumat pagi robotik"? Ada kesan, dalam menulis
kalimat-kalimat ini penulis ingin memaksakan makna ke dalam tiap
baris prosa, seperti seorang penyair karena keterbatasan ruang
memadatkan larik dengan makna. Kalimat demi kalimat kalau dibaca
bagaikan puisi sahut-menyahut, namun jadi sangat mengganggu
kelancaran cerita novel ratusan halaman ini selain menambah
kelelahan. Di sini terlihat jelas penulisnya tidak paham sama sekali
penggunaan puisi dalam penulisan novel.
 
Sebelum meninggal, Italo Calvino menulis buku tipis Six Memos for
the New Millenium. Ia menurunkan kepada penulis generasi penerus enam
hal penting tentang penulisan, elemen-elemen pembangun sebuah karya
sastra. Dia membicarakan tentang lightness, ringan yang membebaskan
tapi berbobot, dengan mengutip Paul Valery, "One should be light like
a bird, and not like a feather." Dia juga bahas quickness, kegesitan
prosa, dengan mengambil contoh keefektifan struktur sebuah dongeng
rakyat. Kita bisa memahami makna sebuah dongeng rakyat dengan begitu
mudah karena rentetan cerita bergerak maju cepat tanpa hambatan
detail yang mengganggu. Dia membahas exactitude, presisi bahasa
ungkapan, dan visibility, kekuatan visual dalam prosa. Dia kemudian
mengupas multiplicity, yaitu suatu karya seni harus punya ambisi dan
mencakup semua seperti pada novel ambisius Flaubert, Bouvard et
Pecuchet, yang mencoba menuangkan semua pengetahuan dunia dalam satu
buku. Untuk menulis buku ini, Flaubert membaca ribuan buku dalam
pelbagai bidang disiplin.
 
Dengan tolok ukur Calvino ini, banyak aspek dari Cala Ibi yang
perlu dipertimbangkan. Ia terlalu lamban, maka kurang quickness,
seperti sebuah dongeng rakyat. Ia kurang lightness karena prosanya
tak mengalir. Mungkin cukup kaya dengan visualisasi, tapi kurang
exactitude sebab kreativitas dalam kata tak berarti presisi kata. Ia
terlalu memikirkan permainan kata dan irama daripada ketepatan frase
bagi suatu ungkapan. Untuk aspek multiplicity, di sini mungkin
terlihat cakupan ambisinya, tapi tetap miskin karena kurang
konsisten. Kritikus yang mencintai permainan kata dan kekayaan
sintaksis memuji karya ini karena merasa novel ini telah memperbarui
bahasa dengan padatnya metafora dalam kalimat-kalimat, tapi
membutakan mata memeriksa integritas ungkapan yang memperkukuh makna
utama novel itu.

Namun, tak satu pun kritikus yang dapat mengungkapkan secara
konkret apa sebenarnya yang ingin disampaikan novel ini. Apakah
lantas kita juga harus menyukainya dengan cara pembacaan yang
dianjurkan oleh Karr terhadap puisi The Waste Land, yaitu
menikmatinya segmen demi segmen tanpa terlalu memikirkan kesempurnaan
struktur keseluruhan. Untuk bisa menikmati sepenuhnya, kita perlu
menilai segi presisi bahasa, problema overwriting, dan kelancaran
cerita yang terhambat oleh metafora yang berkelebat dan saling tubruk
tanpa menciptakan makna, mengevokasi mood, atau aksen yang jelas.
Sangat berbeda dengan The Waste Land atau Ulysses yang, walau sangat
susah dipahami secara keseluruhan, bisa dinikmati dalam momen
epiphany demi epiphany.


 Bahasa vernakular dalam penulisan sastra

Di Indonesia kritikus dan sekelompok sastrawan masih saja berkutat
dalam persoalan bahasa. Penekanan ini membuat banyak dari mereka
menilai keberhasilan sebuah karya terutama pada kepiawaian berkalimat
secara puitis. Padahal, dalam perkembangan penulisan sastra di
seluruh penjuru dunia, perhatian sudah bergeser ke hal-hal yang lebih
menarik, seperti bagaimana memadukan berbagai elemen yang berbeda,
tetapi mengikat dalam satu karya sastra yang unik. Sejak Mark Twain,
yang membawa bahasa vernakular dalam sastra Amerika, kemudian
dilanjutkan oleh Hemingway, yang membebaskan bahasa berbelit-belit
dari prosa, perkembangan sastra dunia sudah lama lepas dari penulisan
purple prose dan mengarah ke pelbagai perkembangan menakjubkan,
seperti belakangan ini bisa kita lihat dalam karya WG Sebald dan Gao
Xinjian.

Begitu piawai mereka memadukan fakta dan fiksi sehingga terciptalah
karya-karya yang begitu menghanyutkan. Karya-karya mereka bisa dibaca
bagai sejarah atau karya sastra. Baca juga karya Michel Houllebecq
yang menggegerkan Eropa sewaktu menerbitkan Atomised. Dalam buku ini
kita lihat betapa sastra sudah berubah. Bab-bab tentang elemen
partikel berdampingan dengan dan memperkaya bab-bab narasi tentang
hubungan dua saudara yang wataknya sangat berbeda.

Sebuah metode alternatif mengapresiasi sastra
 
Setelah berkeliling mengitari berbagai pokok persoalan, sekarang
saya ingin kembali ke topik pembahasan kita: cara terbaik
mengembangkan sastra. Saran saya adalah merebutnya kembali dari para
ahli sastra. Saya percaya pada kata-kata Sartre bahwa seni tidak bisa
direduksi ke dalam sebuah pemikiran. Nah, kalau seni tak bisa
direduksi ke dalam satu pemikiran, pendekatan akademisi yang
cenderung ingin meneorikan semua hal sangat bertolak belakang dengan
premis ini. Bagaimana bisa kita menghargai sebuah karya seni, yang
merupakan produk atau reproduksi keberadaan, being, dengan bahasa
yang kaku dan cara pembahasan yang rigid pula?
 
Karya seni sebaiknya tidak ditelaah hingga titik koma sebab itu
menjadikannya kering kerontang. Saya setuju bahwa untuk menikmati
suatu karya, sedikit pengetahuan sebagai prerequisite bisa membantu
menghargai seni. Namun, seperti kata Robert Pinsky, manusia
sebenarnya secara alami sudah dibekali menghargai seni dari rima
bahasa sehari-hari, panca indra, dan nalar halus. Yang dibutuhkan
bukan lebih banyak teori lagi, tapi cara mengupas dan menyerap esensi
karya seni dengan cara sangat alami.
 
Penelaahan yang terlalu kritis pada sebuah karya seni akan
menakutkan para pemula dan pencinta seni mendekati seni itu, seperti
yang sudah terjadi di Amerika: banyak mahasiswa merasa tak punya
kualifikasi menikmati puisi Ezra Pound atau TS Eliot. Tujuan utama
suatu karya seni adalah ia bisa dinikmati lapisan permukaan dan
dihargai lebih dalam sewaktu ia dikupas lapisan lain. Semua karya
seni yang berhasil sukses karena semua elemen dalam karya itu hold
true, bentuknya boleh tidak menyatu tapi konsisten dan mencerminkan
visi individualisme sang pencipta.

Dengan membebaskan karya sastra dari akademisasi berlebihan,
mungkin ia bisa berkembang lebih baik. Di masa yang didominasi oleh
media elektronik dan mainan virtual ini, banyak distraksi kehidupan
yang jadi penghalang bagi perkembangan sastra. Untuk bisa bersaing
dengan media elektronik, sekelompok penulis muda yang terdiri dari
Alex Garland, novelis The Beach, dan 14 rekannya dari Inggris
memproklamasikan manifesto baru yang diterbitkan dalam buku All Hail
the New Puritans. Berikut butir-butir manifesto itu:

1. Kepada pengrajin cerita, terutama, kami patuh pada bentuk narasi
2. Kami adalah penulis prosa dan tahu bahwa prosa adalah bentuk
ungkapan dominan. Karena itu, kami menghindari puisi dan lisensi
puitis dalam bentuk apa pun. 3. Walau mengakui nilai sebuah genre
fiksi, dalam bentuk klasik atau modern, kami akan selalu bergerak
menuju ungkapan-ungkapan baru, menghancurkan ekspektasi genre yang
ada. 4. Kami percaya pada kesederhanaan teks dan berjanji akan
menghindari segala alat pengungkapan: retorika maupun teknik
pengomentaran serampangan pengarang. 5. Atas nama kejernihan, kami
mengakui pentingnya prosa linier dan menghindari kilas balik, narasi
tempo ganda, dan teknik foreshadowing, serta menanamkan simbol-
simbol pada awal narasi. 6. Kami percaya akan kemurnian gramatika dan
menghindari tanda-tanda baca rumit 7. Kami mengakui bahwa karya yang
diterbitkan juga merupakan dokumen bersejarah. Sebagai fragmen dari
masa kita, semua teks tercatat dalam waktu dan berpacu pada masa ini.
Semua produk, lokasi, seniman, dan objek yang disebut adalah seperti
yang sebenarnya. 8. Sebagai representasi setia pada zaman ini, semua
teks akan menghindari spekulasi yang muskil atau yang tak dapat
dipastikan tentang masa lampau atau masa depan. 9. Kami semua
moralis, jadi semua teks merangkum suatu realitas etika yang mudah
dikenal. 10. Walau demikian, tujuan utama kami adalah integritas
ekspresi diletakkan di atas dan terlepas dari komitmen apa pun pada
bentuk.
 
Ada beberapa butir dalam manifesto ini yang tak saya setujui. Butir
5 yang mengacu pada keberatan pada linear temporal satu arah tanpa
kilas balik atau narasi ganda suara. Butir 8 yang menganjurkan agar
penulis menghindar dari spekulasi fantastis masa lampau atau masa
depan, yang sebenarnya lahan bagi penulis fiksi sains. Menurut saya,
kedua butir ini mengekang kebebasan penulis dalam berkreasi. Saya
sangat setuju dengan butir 2 yang menyatakan penulis sebaiknya
menghindari prosa puitis dalam karya prosa karena bahasa puitis
cenderung jadi distraksi dan menghambat kelancaran cerita. Yang
paling saya suka adalah butir 10: tujuan utama penulis prosa adalah
integritas ekspresi ketimbang komitmen pada bentuk. Jadi,
penekanannya pada integritas ekspresi, bukan kreativitas kata atau
permainan metafor.

Seperti juga Karr yang membebaskan rasa takut saya terhadap puisi
The Waste Land, saya juga ingin pecinta sastra di negeri kita tidak
ditakut-takuti oleh Nirwan Dewanto atau ahli sastra di universitas
yang sering mengintelektualkan sastra. Mungkin ini reaksi berlebihan
dari seorang penulis. Saya kadang suka terkagum-kagum mendengar
analisis seorang kritikus. Begitu dahsyat analisisnya hingga penulis
sastra tiba-tiba terheran sendiri, "Oh ya, saya benar menulisnya
seperti itu?"


Saya juga mengerti paham yang mengatakan begitu sebuah karya lepas
dari penulisnya, ia punya nyawa sendiri. Pramoedya Ananta Toer
menggambarkan buku-buku yang ia tulis sebagai anak-anak spiritualnya.
Dalam perjalanan hidup mereka, ada yang berhasil, makmur, dan tak
berhasil. Biarkan anak-anak spiritual penulis ini mengembara terus
dan mencari pembacanya masing-masing. Seperti juga Siddharta yang
memilih mendapat pelajaran tentang hidup dengan mengarungi kehidupan
itu sendiri, tak seperti temannya, Govinda, yang memilih belajar dari
seorang guru bijak, namun hingga akhir hidupnya tak menemukan
pencerahan, pembaca sastra sendiri yang menentukan nasib anak-anak
spiritual penulis.

RICHARD OH Direktur Toko Buku QB
Tulisan ini disajikan pada sidang pleno Konferensi Himpunan Sarjana
Kesusastraan Indonesia di Manado, 25-27 Agustus 2004.

0 comments:

Post a Comment