Thursday, August 12, 2010

Abdul Majid Hariadi, Jawa Pos [ Selasa, 16 Maret 2010 ]

Guru Jangan Mencederai Unas

Oleh : Abdul Majid Hariadi

HASIL jeblok tryout ujian nasional (unas) di berbagai daerah di Jawa Timur menjadi sinyal buruk bagi pelaksanaan unas tahun ini. Hal ini terjadi pada hampir semua siswa tingkat SMP/MTS maupun SMA/MA/SMK, baik negeri maupun swasta. Nilai yang dicapai di atas 50 persen di bawah standar alias tidak lulus.

Di Kota Surabaya yang menjadi barometer pendidikan di Jatim hasil tryout unas sangat mengecewakan. Untuk tingkat SMA/MA, hampir 75 persen siswa tidak lulus. Bahkan, ada puluhan sekolah swasta yang 100 persen siswanya tidak lulus.

Demikian halnya yang terjadi pada tingkat SMP/MTS. Sekitar 75 persen pelajar SMP di Kota Pahlawan tidak lulus tryout unas. Sebanyak 110 sekolah swasta menunjukkan kelulusan nol persen. Hasil tryout siswa MTS malah lebih memprihatinkan. Hampir 95,57 persen siswa tidak lulus.

Jebloknya hasil tryout unas tersebut selalu ditanggapi dengan jawaban seragam oleh kepala dinas pendidikan, kepala sekolah maupun guru. Ketika dikonfirmasi, mereka selalu menjawab bahwa hasil uji coba atau tryout tidak bisa dijadikan acuan atau karena soal tryout dibuat lebih sulit daripada soal unas.

Mengapa kita tidak berusaha berpikir sebaliknya? Memberikan soal tryout lebih sulit daripada unas dan membuat siswa mampu mengerjakan soal tersebut. Logikanya, kalau mampu mengerjakan soal tryout yang lebih sulit, para siswa akan lebih mudah mengerjakan soal unas.

Hasil mengecewakan tersebut patut menjadi perhatian kita semua, baik oleh dinas pendidikan, sekolah, guru, siswa maupun orang tua. Apalagi, unas tahun ini yang mengusung moto jujur dan kredibel menjadi taruhan berbagai pihak. Karena itu, Kemendiknas dan Polri sepakat memperketat pengawasan 24 jam sejak pencetakan soal hingga pengawasan ujian pada hari H.

Bahkan, bersama Mendiknas 33 kepala dinas pendidikan (Kadispendik) provinsi seluruh Indonesia sepakat merealisasikan unas jujur dan kredibel dengan menandatangani pakta kejujuran unas. Dengan meneken pakta itu para Kadispendik siap menerima sanksi jika terjadi kecurangan di daerahnya. (Jawa Pos, 5-03-2010)

Lantas apakah mekanisme pengawasan berbeda dan penandatanganan pakta kejujuran akan menghilangkan permasalahan dalam unas? Sebab, peluang sekecil apa pun dapat digunakan untuk melakukan kecurangan.

Fakta membuktikan guru selalu terlibat kecurangan dalam unas. Guru membantu dengan berbagai cara agar siswanya lulus. Ini supaya guru tidak disebut gagal dalam proses pembelajaran. Guru telah melakukan perselingkuhan dalam proses pendidikan sehingga tingkat kejujuran unas begitu rendah.

Data yang dirilis Kemendiknas menunjukkan begitu rendahnya tingkat kejujuran sekolah di Jatim. Di antara 38 kabupaten/kota di Jatim, hanya enam daerah yang memiliki angka kujujuran relatif tinggi. Bila dipersentase, dari seluruh sekolah yang ada di daerah itu, angkanya melebihi 50 persen. Enam kabupaten/kota tersebut adalah Kota Malang, Kota Madiun, Kota Kediri, Kota Blitar, Kota Pasuruan, Kabupaten Blitar, dan Kota Batu. (Jawa Pos, 802-2010)

Unas masih menjadi momok mengerikan bagi siswa, guru, dan orang tua. Karena unas menjadi salah satu syarat penentu kelulusan siswa, langkah apa pun akan dilakukan agar siswa dapat melewatinya.

Banyak persiapan dilakukan siswa, guru, dan orang tua dalam menghadapi unas. Mulai menambah les pelajaran, menambah jam bimbingan belajar di sekolah, tryout, doa bersama, pemampatan jam pelajaran selain unas, sampai pada pemberian hipnoterapi agar siswa lebih fokus dan percaya diri menghadapi unas.

Melalui unas integritas sekolah dipertaruhkan. Siswa dapat mencapai standar kelulusan atau tidak. Sekolah masuk kategori kualitas baik atau buruk. Nama sekolah menjadi taruhan. Mungkin guru dan pihak sekolah akan "berusaha" agar siswanya mencapai standar kelulusan yang ditetapkan.

Maka tidak akan ada artinya pakta kejujuran yang ditandatangani Kemendiknas dan Kadispendik provinsi seluruh Indonesia. Kalau hal itu tidak dibarengi mental yang jujur dan baik dari guru. Ini karena guru merupakan ujung tombak dalam proses penyelenggaraan unas.

Ada tiga hal penting yang bisa dilakukan guru dalam mempertahankan jati diri guru dan integritas sekolah tanpa harus mencederai unas. Pertama, guru harus tetap berpegang teguh pada tugas pokok dan fungsinya. Yaitu, mendidik, melatih, dan mengajar. Guru yang selalu mengedepankan proses pembelajaran yang dinamis dan kondusif menghasilkan siswa berprestasi.

Kedua, guru harus bersama-sama bekerja keras dan memiliki tanggung jawab moral dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Melalui pembelajaran yang kreatif dan inovatif. Hal ini merupakan proses yang lebih baik daripada membantu siswa dengan cara yang tidak terpuji dalam unas.

Ketiga, guru harus berlaku jujur dan membekali serta menanamkan kejujuran pada siswa. Kejujuran memang mudah diucapkan, tapi begitu sulit dalam dipraktikkan. Kejujuran harus dikedepankan dalam unas daripada sekadar mendapatkan nilai tinggi. Apalah artinya pencapaian nilai tinggi, tapi tidak diiringi dengan moral dan akhlak yang baik.

Usia siswa sekolah merupakan usia yang paling efektif dalam pembentukan karakter siswa. Pembentukan nilai hidup harus menjadi syarat utama menjadikan pendidikan yang berkualitas. Penanaman nilai hidup ini harus dibentuk sejak dini.

Sangat menarik untuk direnungkan sindiran A.S. Laksana dalam tulisannya Tentang Bangsa yang Gagal Belajar di ruang putih 21 Februari lalu. Oleh Laksana sekolah diibaratkan pabrik dan guru adalah buruhnya. Guru bekerja hanya untuk mendapatkan uang, seperti buruh di pabrik biskuit atau pabrik tahu.

Di pabrik yang baik anak kita (siswa) bisa diolah menjadi biskuit yang lezat atau keripik yang gurih dan renyah atau menjadi tahu nomor satu. Sebaliknya, di pabrik yang bekerja asal-asalan mereka bisa menjadi biskuit beracun atau tahu masam yang akan membuat perut kita mules-mules.

Guru mempunyai kewajiban membentuk karakter siswa sehingga menjadi generasi yang mampu survive dalam menghadapi sebuah tantangan. Tidak malah menjerumuskan siswa menuju generasi rapuh dengan selalu "melayani" siswa yang terkadang tanpa disadari dapat merusak sikap, moral, dan akhlak siswa. (*/mik)

Abdul Majid Hariadi, Pendidik SMKN 1 Sidoarjo

0 comments:

Post a Comment