Wednesday, August 11, 2010

A.S. Laksana, Jawa Pos, 11 Oktober 2009

Teledor

Bagaimana cara terbaik untuk menyikapi terjadinya bencana alam? Untuk kasus Padang, maskapai penerbangan kita melakukan langkah sigap dengan menaikkan harga tiket pesawat. Kita menganggap itu sebagai sebuah tindakan yang tidak mengenal belas kasih. Tetapi, dalam cara berpikir maskapai, bencana alam agaknya tidak beda dengan Lebaran. Yakni, ada arus besar penumpang menuju Padang dan sebaliknya, penumpang akan sepi ketika mereka terbang meninggalkan tempat yang baru dihantam bencana itu. Jadi, menurut pihak maskapai, menaikkan harga tiket ke sana wajar.

Bagi orang-orang yang bersimpati, di luar maskapai penerbangan, mereka bisa mengirimkan bantuan dalam bentuk apa saja: bisa uang, bahan pangan, pakaian, buku-buku, dan sebagainya. Belum lama ini, saya menyaksikan berita di televisi yang menyebutkan bahwa ada bantuan pangan untuk korban bencana alam Padang yang sudah kedaluwarsa. Dan, jangan marah, sebagian bahan pangan yang sudah kedaluwarsa itu terkemas dalam kardus-kardus yang bertulisan: "Makanan Angkatan Tentera: Rangsum Tempur". Anda kenal bahasanya. Ya, itu berasal dari Malaysia.

Mungkin bencana alam, oleh beberapa pihak, adalah sama belaka dengan kesempatan cuci-cuci gudang. Jika di lemari Anda ada banyak pakaian yang sudah tidak pernah lagi Anda pakai, kirim saja ke sana. Itu kesempatan untuk mendermakan apa yang sudah tidak Anda butuhkan. Jika Anda pengusaha penerbitan dan di gudang Anda ada timbunan buku terbitan beberapa tahun lalu dan sekarang mangkrak, Anda bisa mengosongkan gudang Anda dengan menyalurkan buku-buku itu ke sana. Namun, jika Anda punya makanan yang Anda sendiri sudah tidak bisa lagi memakannya, Anda tidak bisa menganggap orang-orang yang terkena bencana sebagai tempat pembuangan makanan basi.

Sebenarnya, kasus bantuan pangan yang kedaluwarsa juga terjadi dalam bencana tsunami di Aceh dan gempa bumi di Jogjakarta. Tetapi, untuk kejadian kali ini, saya menjadi agak miris. Saya takut pada efek bola salju yang ditimbulkannya. Rasa benci sebagian masyarakat kita kepada Malaysia sedang menguat karena beberapa kasus dan, Anda tahu, dalam sejarah hubungan kedua negara, pernah ada seruan pengganyangan. Dan, sekarang bantuan kedaluwarsa itu diberikan hanya selang sesaat setelah seruan pengganyangan tersebut kembali diteriakkan beberapa waktu lalu.

Mungkin itu keteledoran semata dan bukan kesengajaan. Masalahnya, hampir segala bencana yang menimpa kita sering bermula dari keteledoran. Anda tahu, keteledoran mengelola pendidikan, misalnya, mengakibatkan munculnya pelbagai bentuk bencana di wilayah ini. Mulai pengadaan gedung sekolah, penyelenggaraan ujian, sampai pada munculnya kasus-kasus bunuh diri pada siswa-siswa yang menunggak pembayaran. Keteledoran dalam menangani keuangan mengakibatkan berkali-kali uang negara dirampok dan kita sulit mentas dari kemiskinan.

Begitu juga halnya di lapangan sepak bola. Keteledoran dalam mengurus persepakbolaan mengakibatkan para pemain sepak bola kita tidak mampu meningkatkan kualitas permainan mereka di level yang lebih tinggi. Tetapi, karena sepak bola harus menghibur penonton, para pemain kita mencoba menghibur dengan cara lain, yakni dengan cara sering-sering melakukan tawuran atau memukul wasit jika tidak puas atas hasil pertandingan atau kecewa terhadap permainan sendiri yang tak bisa berkembang.

Dan, keteledoran dalam menegakkan hukum? Itu tampaknya menjadi salah satu masalah terbesar kita sepanjang waktu. Lima tahun lalu, karena tidak percaya pada pengadilan kita, rakyat Australia pernah meradang dan mengungkit-ungkit bantuan yang mereka berikan kepada korban bencana alam Aceh dan Nias. "Kami menyesal telah memberikan sumbangan," teriak mereka.

Penyesalan tersebut muncul karena Schapelle Corby, seorang perempuan cantik warga Australia, dijatuhi hukuman 20 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Denpasar untuk kasus penyelundupan narkoba. Selain menyesali sumbangan yang telanjur diberikan, mereka menggugat pemerintah negeri mereka, "Jangan biarkan si cantik Corby menjadi bulan-bulanan di negeri orang. Bagaimana mungkin pemerintah tega membiarkan anak cantiknya diadili di negeri orang dan oleh pengadilan yang tak bisa dipercaya?"

Di sejumlah media pada waktu itu, kita bisa menyaksikan foto si cantik Corby yang sedang menangis. Kalau si Corby ini bertampang kucing garong, mungkin tidak akan banyak orang yang terlalu peduli dia dijatuhi hukuman seberat apa pun. Tetapi lihatlah, dia secantik kucing persia. Tidakkah tetes air mata itu membuat hati kita tersayat?

Pemerintah Australia mencoba meredakan kekalapan rakyatnya dengan mengatakan bahwa bagaimanapun mereka tidak bisa mencampuri kedaulatan hukum negara lain dan putusan pengadilan tidak didasarkan pada teriakan orang-orang yang marah. Tetapi, untuk menenteramkan rakyatnya, pemerintah Australia pun bertindak cepat. Dua pengacara, Mark Trowell dan Phillip Laskaris, diminta untuk turun gunung menangani kasus Corby.

Dua orang itu kemudian bertandang ke Bali, makan malam bersama pengacara Lili Lubis dan ketua tim pembela Corby, Vasu Rasiah. Tiga minggu setelah pertemuan tersebut, muncullah berita di Sydney Morning Herald yang didasarkan pada cerita dua pengacara Australia itu tentang isi pertemuan mereka di Bali. Menurut Trowell, pihak pengacara Indonesia menyarankan agar pemerintah Australia menyediakan dana 500 ribu dolar Australia untuk kepentingan "melobi".

"Saya mendesak mereka untuk mengatakan kepada saya apa yang mereka lihat sebagai landasan terbaik untuk mengajukan banding," kata Trowell. Namun, menurut pengakuan Trowell, Vasu menyatakan, "Lupakan alasan-alasan yang baik untuk banding. Apa yang harus Anda lakukan adalah memasukkan banding begitu saja. Dan, jika mempunyai uang untuk menyuap hakim, Anda akan memenangi banding."

Saya yakin waktu itu, kalaupun Vasu menolak pernyataan tersebut, orang-orang Australia pasti lebih memercayai pemberitaan Sydney Morning Herald. Dan, saya punya polling untuk Anda. Silakan Anda cermati kalimat ini: "Jika punya uang untuk menyuap hakim, Anda menang." Pertanyaannya: Apakah menurut Anda kalimat tersebut benar atau salah?

Rasa-rasanya saya tahu jawaban Anda. Tetapi, itu polling yang tidak berguna. Sebab, apa pun jawaban Anda, apa pun suara Anda, mungkin ia tidak akan mengubah apa-apa. Beberapa hari lalu saya menerima e-mail dari salah seorang pembaca surat kabar ini yang menyuarakan kecemasannya terhadap nasib KPK. Dan, jika Anda punya kecemasan serupa, saya khawatir itu akan menjadi kecemasan yang mubazir. Orang-orang yang teledor hanya membutuhkan suara Anda saat berebut kursi, dan setelah itu sudah. Bahkan, sekadar mengingatkan, bahwa biaya pelantikan anggota DPR terlalu besar saja, suara Anda tidak pernah didengar. (*)

*) A.S. Laksana, cerpenis, aslaksana@yahoo.com

0 comments:

Post a Comment