Thursday, August 12, 2010

A.S. Laksana, Jawa Pos [ Minggu, 27 Desember 2009 ]

Dari Sebuah Talk Show Tengah Malam

TENGAH malam, saat menunggu siaran langsung sepak bola, saya menjumpai acara talk show di televisi. Ini bukan siaran langsung karena ada tulisan recorded di sudut layar. Pembawa acara memperkenalkan pengamat politik yang ada di studio dan mereka mempersembahkan pertunjukan omong-omongan itu. Inilah intisarinya:

Orang-orang saat ini sedang mempertanyakan benarkah semua warga punya hak yang sama untuk mendapatkan keadilan di muka hukum. Menurut Anda?

Menurut saya, tidak. Apalagi di mata hukum, di mata pegawai bank pun tidak. Jika Anda punya rencana besar, yang membutuhkan modal dari bank Rp 25 juta saja, dan penampilan Anda tampak mengkhawatirkan, maka bank besar pasti menolak Anda, apalagi bank kecil.

Penampilan mengkhawatirkan? Maksud Anda?

Misalnya, Anda tampak kurus dan sakit-sakitan. Orang-orang melarat sering tampak kurus dan sakit-sakitan seperti itu. Kalau Anda berupaya meyakinkan bahwa Anda serius dengan proyek Anda dan Anda sampai menangis meraung-raung agar proposal Anda disetujui, saya yakin Anda justru akan tampak semakin mengkhawatirkan di mata Pak Boediono, misalnya. Maka, sudah sepantasnya Anda ditangani oleh satpam. Dan, dengan demikian, Anda tidak akan pernah paham kenapa orang-orang itu, yang kemudian melarikan dana triliunan dari Bank Indonesia, bahkan ratusan triliun kalau disatukan, bisa dengan mudah mendapatkan kepercayaan.

Ini agak beda jika Anda warga Bangladesh. Di sana ada Muhammad Yunus yang tahu cara memberikan pinjaman usaha untuk orang-orang miskin. Dan dia membuktikan bahwa orang-orang miskin bisa dipercaya ketika mendapatkan pinjaman dari bank. Mereka menjalankan usaha secara benar dan bisa mengembalikan pinjaman tersebut.

Oke, para pemirsa di rumah, saya minta Anda jangan ke mana-mana dulu. Kita akan kembali setelah pariwara berikut.

(Saya tidak ke mana-mana. Anda tahu, pembawa acara di televisi gemar sekali menyampaikan hal-hal yang sudah jelas. Tentu saja ''kita'' harus kembali, sebab acaranya belum selesai, kan? Kalau pembawa acara itu ngeloyor dan tidak kembali lagi ke studio sebelum acara selesai, dia tentu akan dipecat seketika oleh bosnya.)

Kita masuk ke isu yang sedang panas sekarang. Menurut Anda, apakah Pansus Angket Century akan berhasil?

Tunggu dulu! Saya kira kita harus jelas dulu apa yang disebut berhasil. Apakah Pansus Angket itu akan dianggap berhasil jika:

Boediono dan Sri Mulyani berhasil diturunkan dari posisi mereka, atau

Boediono dan Sri Mulyani tetap bisa memegang jabatan mereka, atau

Nasabah Bank Century bisa mendapatkan kembali uang mereka (tetapi beberapa orang kabarnya sampai bunuh diri), atau

Pansus berhasil memaksa PPATK, dengan kekuatan legal, untuk mengeluarkan laporan ke mana saja dana mengalir dari BI ke Century dan ke siapa saja, atau

Menjadikan pemerintahan SBY-Boediono lebih kuat, atau

Menjadikan pemerintahan SBY-Boediono lebih lemah, atau

Mengungkap bahwa para politikus lebih bodoh daripada kelihatannya, atau

Mengungkap bahwa para politikus lebih cerdas daripada kelihatannya, atau

Membuktikan bahwa curhat SBY tentang fitnah itu keliru atau tidak, atau

Membuat Miranda Goeltom menjadi lebih tahu, sebab sejauh ini dia selalu menjawab tidak tahu, atau

Kalaupun gagal dalam banyak hal, setidaknya pansus bisa menjadikan Skandal Century ini tontonan yang lebih menarik.

Jadi, di antara sekian itu, dan Anda bisa menambahkan sendiri kalau mau, mana yang paling memadai untuk dijadikan ukuran keberhasilan? Saya tidak yakin Pansus Angket Century akan berhasil jika dia sendiri tidak tahu ukuran keberhasilannya. Anda tahu, tanpa ukuran yang jelas, tanpa kriteria tertentu tentang keberhasilan, pansus hanya akan menjadi bandul jam yang berayun cepat ke kiri dan ke kanan.

Anda tampaknya meragukan kinerja Pansus Angket Century?

Tepatnya, saya tidak tahu apa yang dimaui Pansus Century. Saya tidak tahu apakah Pansus Angket Century itu benar-benar memahami apa itu hak angket, apa kekuatannya, dan sampai sejauh mana kewenangannya. Benny K. Harman, ketua Komisi III (Hukum) DPR, menyatakan bahwa Pansus Angket itu semacam rapat konsultasi belaka. Pekan lalu saya membaca artikel bagus di Detikcom tentang bagaimana hak angket digunakan oleh parlemen di Belanda. Ini hak parlemen yang kekuatannya dahsyat, tetapi mungkin parlemen kita sudah sanggup menjinakkannya menjadi semacam rapat konsultasi biasa. Kalau Harman benar, apa beda hak angket tersebut dengan rapat konsultasi biasa? Merujuk artikel itu, saya akan mengatakan bahwa si Harman tersebut tak tahu apa-apa tentang hak angket. Entah apakah para anggota DPR yang lain juga tidak tahu apa-apa.

Anda sering tampak sinis kepada para politikus, atau Anda penganut pandangan bahwa politik itu sesuatu yang kotor?

Sebetulnya, orang-orang zaman dulu pun begitu. Orang kiri, sinis. Orang kanan, sinis. Jadi, apa pun alirannya, sinis saja bawaannya kepada politikus. Saya akan membacakan catatan yang saya bawa tentang omongan orang tentang politisi.

Coba dengar omongan anonim orang Amerika ini: ''Jangan bilang-bilang ke ibu saya, ya, bahwa saya masuk ke dunia politik. Selama ini dia mengira saya bermain piano di rumah bordil."

Nah, Nikita Khruschev tak mau kalah. Menurut si Soviet itu, ''Politikus ya memang gitu-gitu saja di mana pun. Mereka selalu berjanji membangun jembatan meskipun tak ada sungai di situ.''

''Dan, ada satu rahasia," kata orang Prancis Charles de Gaulle. ''Sebetulnya tak ada satu politikus pun yang memercayai omongannya sendiri. Mereka justru akan terpana ketika ada orang memercayai omongan mereka."

''Tapi, sialnya, mereka itu yang menentukan nasib orang banyak," kata Albert Camus. ''Menurut saya, politik dan takdir itu sama belaka, sama-sama ditentukan oleh orang-orang yang tak punya gagasan maupun harga diri. Orang-orang yang punya harga diri tak akan masuk politik."

Tunggu sebentar, Anda tak punya kutipan dari dalam negeri?

Ada, Ruhut Sitompul. Artis sinetron yang sekarang jadi politikus itu bilang bahwa mitra koalisi yang mendukung penonaktifan Boediono dan Sri Mulyani adalah pengkhianat. Dan siapakah yang dia maksud mitra koalisi? Tentu saja politikus. Tidak ada tukang ledeng yang jadi mitra koalisi, kan?

Dan tentang Ruhut ini, saya pikir dia akan menjadi politisi yang baik jika dulu dia bisa bermain sinetron secara baik, setidaknya satu episode saja.

O, Anda juga pengamat sinetron rupanya?

Saya penggemar film hantu-hantuan. Menurut saya, film-film hantu itu berhasil menjadi lucu secara alamiah. Dan saya kira di situ mereka berhasil sebagai film humor, yakni menjadi lucu tanpa berniat melucu. Lalu, salah satu inovasi yang dihadirkan oleh film hantu-hantuan itu adalah tampilnya setan budheg. Bayangkan betapa sulitnya mengusir setan macam beginian. Ia tak akan bisa mendengar kalaupun Pak Kiai membaca ayat-ayat suci sampai khatam.

Tetapi, di luar faktor kelucuannya, ada hal lain yang paling saya hargai dari hantu-hantu itu, yakni bahasa mereka lebih tertib jika dibandingkan dengan para politikus. Coba Anda ingat-ingat, hanya hantu-hantu dalam film Indonesia yang berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Mendiang Suzana, misalnya, jadi sundel bolong, Nyi Blorong, ataupun Nyi Roro Kidul, dia selalu berbahasa dengan tertib, sesuai EYD, dan sedikit bergema. Demikian pula kebanyakan hantu yang muncul setelahnya.

Jadi, saya punya usul, sebaiknya Pusat Bahasa mendorong agar sineas-sineas kita lebih giat lagi membikin film hantu-hantuan. Itu demi memasyarakatkan pemakaian bahasa Indonesia secara baik dan benar. Manfaat lainnya, itu bisa mengimbangi kekacauan bahasa para politikus.

Terakhir, masih menyangkut urusan bahasa, kenapa Menteri Tifatul Sembiring suka berpantun?

Agar terasa kuno. Apa lagi? Saya kira itulah motif dia berpantun. (*)

 

 

*) A.S. Laksana , cerpenis, tinggal di aslaksana@yahoo.com

0 comments:

Post a Comment