Wednesday, August 11, 2010

A.S. Laksana, Jawa Pos, Minggu, 14 Februari 2010

Para Pencerita yang Baik

JIKA Anda senang hati, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk ''melanjutkan'' tulisan minggu lalu tentang menulis dan berpikir jernih. Saya sungguh tidak menduga bahwa tanggapan yang saya terima atas tulisan tersebut akan cukup banyak. Pak Suparto Brata, penulis yang saya kenal namanya sejak saya masih belajar menulis, telah membuat saya ''mabuk-mabuk lalat'' karena ia sangat menyepakati apa yang saya sampaikan. Sampai hari ini kepala saya masih terasa berat menanggung kegembiraan.

Sebagai penulis, mau tidak mau saya harus memercayai kekuatan cerita, dalam arti bahwa cerita yang baik bisa melekat kuat di benak orang dalam waktu lama, atau bahkan selamanya. Dengan demikian, sebagai bentuk komunikasi, sebuah cerita akan dengan enak diterima ketimbang perintah yang terasa memaksa atau nasihat yang cenderung diabaikan orang. Sekiranya otak manusia menyukai perintah atau nasihat langsung, tentu urusan kita akan menjadi sangat mudah. Anda sekadar mengatakan, ''Jangan bandel!'' dan anak Anda langsung akan menjadi penurut.

Pada kenyataannya yang berlaku tidak seperti itu. Berapa sering Anda menasihati (atau bahkan menghardik) anak Anda, ''Jangan nakal!'' dan dia sepertinya tidak terpengaruh sehingga pada kesempatan lain Anda harus mengulangi lagi bentakan Anda? Dan, apakah Anda pernah merasa kehilangan kesabaran karena sudah menasihati berkali-kali tanpa hasil?

Untuk kepentingan Anda di rumah, cobalah mengubah strategi pengendalian Anda melalui cerita. Anak Anda akan lebih nyaman. Diam-diam dia mencerna pelajaran sangat penting dari cerita itu dan pikirannya akan membuat asosiasi antara cerita dan keadaan dirinya. Anda tahu betapa kuatnya semangat perlawanan orang-orang Aceh terhadap apa yang mereka rasakan menindas. Hampir setiap orang di sana akrab dengan ''Hikayat Perang Sabil'' dan itu cerita yang sudah mereka dengar sejak mereka mengaji di surau pada masa kanak-kanak.

Dan, apakah cerita hanya efektif pada anak-anak? Saya kira dia juga efektif bagi manusia pada umur berapa pun. Karena itu, setiap komunikator yang baik, penyampai pesan yang efektif, biasanya juga seorang pencerita yang baik. Dia memiliki kekayaan metafora, anekdot, perumpamaan, atau ilustrasi apa pun yang diambil dari kejadian sehari-hari atau dari mana saja. Bung Karno memperkenalkan konsep sosialisme Indonesia dengan mudah melalui kisah perjumpaannya dengan petani bernama Marhaen -dari situlah kita lantas dikenalkan pada marhaenisme. Si Bung tidak bicara dalam bahasa yang rumit untuk menyodorkan ideologi marhaenismenya; ia hanya menyampaikan gagasannya melalui cerita. Dan saya kira itu sumber kekuatan komunikasinya: metafora dan perumpamaan.

Gus Dur, tokoh populis lain yang kita miliki, juga seorang pencerita yang baik. Dia mendekati dan didekati banyak orang karena pandai bercerita. Cara dia menyampaikan diri dan setiap anekdotnya bisa membuat kita terpingkal-pingkal. Setiap perjumpaan dengannya selalu menjadi momentum yang menyenangkan.

Contoh lain tentang pencerita yang baik adalah Barrack Obama. Si Hitam ini mungkin tak akan pernah menjadi presiden Amerika Serikat jika bukan pencerita yang baik. Dengan warna kulitnya, dengan nama tengah ''Husein'' yang terdengar menakutkan bagi warga AS, saya kira normalnya dia akan kalah dalam pemilihan melawan kotak kosong. Namun, dia membalikkan itu semua dan menjadikan dirinya bukan saja diterima, melainkan dipercaya memimpin AS, negeri adidaya yang selalu menaruh curiga pada anasir-anasir keislaman. Saya kira kuncinya di sini: dia bisa menceritakan dirinya secara baik dan menyampaikan cita-citanya untuk AS secara meyakinkan dan bisa menjadikan cita-citanya itu sebagai cita-cita bersama.

Begitulah, cerita yang baik, atau metafora yang kuat, akan menjangkau banyak orang dan memperbarui maknanya dari waktu ke waktu, sejalan dengan perkembangan pemahaman orang. Sementara nasihat cenderung mengungkung diri dan bisa menjadi usang dalam beberapa waktu berikutnya. Itulah sebabnya, Anda sering mendengar orang mengatakan, ''Jangan memberi nasihat usang itu lagi,'' atau ''Saya bosan mendengar nasihatnya,'' atau ''Nasihatnya itu-itu melulu,'' dan sebagainya.

Dalam pengalaman saya, karena tidak ingin menjadi ayah yang usang, saya memilih mendongeng untuk anak-anak sebelum mereka tidur. Tidak setiap hari saya bisa melakukannya, karena itu saya juga merekam pembacaan cerita yang bisa diputar ketika saya tidak ada. Biasanya anak-anak saya suka mendengar dongeng apa pun yang saya tuturkan. Dan, di situlah saya bisa menyampaikan, secara tidak langsung, pelbagai hal: keberanian, kerelaan berbagi, belas kasih, ketekunan, disiplin, dan sebagainya. Saya bahkan tidak pernah menyimpulkan apa pesan moral sebuah cerita dan hanya membiarkan anak-anak saya menikmati cerita tersebut tanpa berniat mencampuri pemahaman mereka.

Dan itu lalu menjadi pola. Setiap kali saya merasa ada masalah tertentu pada anak saya, otak saya secara spontan bekerja untuk menyusun atau mencarikan cerita apa yang bisa saya sampaikan kepadanya sebelum dia tidur. Misalnya, saya membuat cerita tentang beruang kecil ketika anak saya yang berumur enam tahun berniat belajar naik sepeda.

Saya ceritakan bahwa ''rahasia'' naik sepeda, yang didengar beruang kecil itu dari pamannya, adalah ia hanya perlu mengayuh satu putaran. ''Jadi, kau bisa ingat rahasia itu, yakni hanya mengayuh satu putaran, satu putaran lagi, satu putaran lagi, dan dengan sendirinya kau bisa mengayuh lima putaran, lalu sepuluh putaran, lalu dua puluh putaran.''

Keesokan harinya saya membawanya ke tanah lapang. Saya bermain layang-layang dengan adiknya dan dia mempraktikkan rahasia naik sepeda. Dan tak lama setelah itu saya mendengar teriakannya, ''Pak, aku bisa mengayuh lima putaran.''

''Berarti kau bisa sepuluh putaran,'' jawab saya, ''dan karena itu bisa dua puluh putaran.''

Rupanya saya keliru. Dia tidak mengayuh dua puluh putaran; hari itu juga dia bisa mengayuh ratusan putaran. Sebab dia tak mau berhenti mengayuh sebelum turun senja.

Anda tahu betapa rumitnya belajar naik sepeda ketika kita kali pertama melakukannya. Anda belum tahu cara duduk di sadel, mengarahkan setang, mengayuh pedal, mempertahankan keseimbangan, dan menekan tangkai rem untuk menghentikan laju sepeda. Bagaimana mempelajari itu semua secara bersamaan?

Dengan cerita beruang kecil itu saya memfokuskan perhatiannya hanya pada satu hal, yakni mengayuh pedal. Yang tidak dia sadari adalah bahwa dengan belajar mengayuh saja, dia sesungguhnya sedang belajar menjalankan sepedanya. Dan, sesungguhnya, Anda tidak bisa menjalankan sepeda tanpa kemampuan mengendalikan setang, tanpa bisa menguasai keseimbangan, dan lain-lainnya. Artinya, diam-diam dia juga belajar hal-hal lain sekaligus. Namun, hal-hal lain itu sama sekali tidak merisaukan pikirannya, sebab yang ada di benaknya hanyalah belajar mengayuh satu putaran.

Terus terang, saya baru menyadari kekuatan cerita ketika membaca Milton Erickson, seorang terapis yang sangat inovatif semasa hidupnya dan nyaris selalu bisa menghadirkan mukjizat bagi orang-orang yang dia tangani. Dia menggali seluruh kemungkinan untuk mengubah perilaku manusia menjadi lebih sehat melalui bahasa sebagai perangkat utamanya: dia bermain-main dengan rima dan irama, dia menggunakan metafora, dia menggunakan anekdot, pelesetan, dan sebagainya. Dan dengan itu dia membantu orang mengoptimalkan dirinya sendiri melalui sumber daya yang tersedia dalam diri orang itu sendiri.

Maka, jika hari ini politik membuat Anda pening atau tambah sengsara, sangat mungkin Anda sekarang sedang menghadapi para pencerita yang buruk. Mereka mungkin tidak pandai menyusun cerita terbaik yang bisa Anda percaya; atau mereka menyampaikan dusta belaka, dalam cara yang paling vulgar dan membikin Anda tidak nyaman. (*)

*) A.S. Laksana, beralamat di aslaksana@yahoo.com

0 comments:

Post a Comment