Wednesday, August 11, 2010

A.S. Laksana, Jawa Pos, 03 Januari 2010

Selamat Tidur, Gus...

Gus Dur masuk di benak saya mula-mula sebagai karakter dan sekaligus pemilik gagasan-gagasan kontroversial. Ia berada di luar arus umum dan senantiasa mengingatkan kita akan adanya suara dan cara pandang yang berbeda. Ia pun menampilkan itu semua melalui dirinya sendiri. Pada masa itu, saya suka membaca tulisan-tulisannya tentang apa saja: keislaman, keberagaman, hidup bersama, dan sepak bola. Saya menyukai sepak terjangnya.

Beberapa waktu kemudian ia masuk lagi ke benak saya sebagai pemilik keajaiban. Dadang RHs, kawan saya yang betahun-tahun memajang poster besar Gus Dur dan Imam Khomeini di kamar kontrakannya seolah-olah keduanya adalah presiden Indonesia di masa Orde Baru, memberi tahu saya bahwa Gus Dur bisa menangkap jelas apa yang dikatakan orang meskipun tidur. ''Saya berkali-kali melihatnya di seminar,'' katanya. ''Ia tidur, bahkan mendengkur, saat orang bertanya. Tetapi, kemudian ia bangun dan bisa menjawab semua yang ditanyakan kepadanya.''

Sesungguhnya banyak cerita lain soal tidurnya yang ajaib tersebut. Misalnya, ia konon tidur di depan parlemen Iran atau mempelajari bahasa Prancis dengan cara tidur di sebelah KH Musthofa Bisri yang saat itu sedang belajar bahasa Prancis. Namun, tidur di seminar itulah yang sering diomongkan orang. Akhirnya, saya pun menyaksikan hal itu berlangsung. Belakangan saya tahu bahwa orang yang memasuki trance hipnotik juga bisa menangkap pesan secara jelas meskipun tidur lelap. Bedanya, Gus Dur memasuki kondisi trance tanpa harus dipandu oleh Romy Rafael atau siapa pun; ia bisa trance kapan mau dan bangun ketika memutuskan bangun, sama mudahnya dengan cara ibu saya menunjukkan kepiawaian membolak-balik tempe di penggorengan.

Dengan dua hal itu -ketidakumuman dan tidur ajaibnya- Gus Dur menjadi magnet yang memikat hasrat saya untuk menempel padanya. Namun, saya bukan santri, bukan pula orang yang mendalami pemikiran-pemikiran agama. Saya pikir satu-satunya yang bisa mendekatkan kami adalah urusan sepak bola. Hanya, saya tidak punya keberanian untuk mendekati Gus Dur dengan modal secekak itu dan berharap agar kami menjadi dekat dengan cara melulu mengajaknya bicara sepak bola.

Mengingat modal saya terlalu tipis untuk mendekatinya, saya akhirnya melupakan saja keinginan itu. Kendati demikian, keinginan untuk menempel Gus Dur tersebut saya kira menjadi sesuatu yang terus-menerus minta diwujudkan. Sampai kemudian, saya menemukan cara yang terbaik menurut saya. Pada 1994 tabloid DeTIK tempat saya bekerja diebredel bersama Tempo dan Editor. Saya pun memiliki waktu longgar karena kejadian tersebut. Saat itu saya memutuskan menulis biografi Gus Dur.

Dengan kecenderungan mengaguminya, saya mulai mengumpulkan bahan yang berupa tulisan-tulisan media tentang dirinya, juga tulisan-tulisan Gus Dur, sebelum melengkapinya dengan mewawancarai sejumlah narasumber, termasuk Gus Dur sendiri. Saya membayangkan akan menulis semacam biografi pemikiran.

Terus terang, selain terpukau oleh orang yang hendak saya tulis, waktu itu saya juga dikuasai pikiran muluk-muluk bahwa buku tersebut akan menjadi sumbangan tersendiri bagi gerakan perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Pikiran saya sepele sekali: Gus Dur adalah simbol perlawanan; dengan menulis biografinya, saya ikut menyebarkan semangat perlawanan.

Saya menulis dengan semangat sampai selesai tiga bab dari sekitar 12 bab yang saya rencanakan. Setelah itu, proses penulisan menjadi tersendat-sendat, sebagian oleh kemalasan dan sebagian oleh keruwetan pikiran saya setelah mewawancarai sejumlah orang. Ketika mendengar pendapat orang-orang yang mengaguminya, saya senang. Ketika mendengar suara yang mengkritiknya, saya puyeng. Begitulah, buku yang saya rencanakan itu terhenti lama di bab tiga.

Saat saya melemah, Saifullah Yusuf -teman saya yang sekarang jadi Wagub Jawa Timur- mengajak saya dolan ke rumah Gus Dur. Saya kadang marah kadang jengkel kepada Saiful. Tetapi, ia selalu datang kepada saya di saat yang tepat. Ia pun selalu bisa menundukkan saya. Saya yakin ia banyak belajar dari Gus Dur dalam soal ini; ia menjadi sopir Gus Dur ke mana-mana dan sering dimarahi juga ketika tampak loyo dan melamun. ''Kita ini sedang melawan rezim yang kuat,'' kata Gus Dur.

Saya ingat perkataan Gus Dur kepada Saiful yang sampai sekarang masih terasa lucu: ''Sing ponakan iki aku opo kowe tho, Ful? (Yang keponakan itu aku apa kamu, Ful?).''

Maka, digandeng oleh Saiful, saya menemui Gus Dur di rumahnya. Kepada pamannya, Saiful melaporkan, ''Ini Sulak, Paklik, yang saya bilang mau menulis buku biografi Sampean.''

Gus Dur mondar-mandir saja di ruang, sesekali mencomot apa yang terhidang di meja makan. ''Buku itu kalau mau ditulis ya pasti tidak selesai,'' katanya tanpa memperhatikan saya sama sekali.

Anda tahu, itu kalimat yang sangat ampuh. Saya pegel mendengarnya. Dalam hati, saya ingin membuktikan bahwa Gus Dur keliru. Saya akan cepat-cepat merampungkan buku itu dan nanti saya tunjukkan kepadanya, ''Buku yang dulu mau ditulis itu sekarang sudah jadi, Gus.''

Tetapi, Gus Dur benar. Buku tersebut tidak pernah jadi; laptop saya dicolong orang.

Bertahun-tahun setelah itu, saya memahami satu hal: Gus Dur adalah seorang penantang yang menakjubkan. Saya kira ia selalu tahu apa tujuan yang hendak ia capai dengan setiap lontaran kalimatnya.

Dalam kasus buku saya, pernyataannya akan selalu benar apa pun hasilnya. Kalau buku saya jadi, ia membuktikan bahwa kalimatnya bekerja efektif untuk membakar harga diri saya. Ia menantang saya dengan caranya dan membuat saya kemropok untuk segera menyelesaikan buku -lihatlah, ia sesungguhnya mendorong saya dengan cara yang tidak saya sadari. Ketika buku itu tidak jadi, apa pun alasannya, ia juga 100 persen benar. Bukankah ia sudah menyampaikan, secara harfiah, bahwa buku yang hendak ditulis pasti tidak selesai?

Saya kira, itu keajaiban Gus Dur yang lain. Ia pelontar jitu yang nyaris selalu tepat sasaran.

Anda akan selalu ingat bagaimana ia dengan enteng melontarkan pernyataan bahwa ia tak tahu beda antara DPR dan anak TK. Anda akan selalu membenarkan ucapan itu setiap kali politikus Senayan menunjukkan tabiat yang membuat Anda gerah atau marah. Ingat juga ketika orang-orang ribut mempersoalkan kesiapan KPU menyelenggarakan pemilu; Gus Dur muncul dengan pernyataan agar pemilu diundur saja karena KPU tidak siap. Saya kira KPU tertantang untuk membuktikan Gus Dur keliru. Pemilu pun diselenggarakan tepat waktu, dengan sekian masalah, dan yang terparah adalah urusan daftar pemilih tetap (DPT).

Terakhir, saya mencatat lontaran jitu Gus Dur dalam skandal Century. Ia bilang, ''Boediono dan Sri Mulyani ditangkap saja. Kalau orang-orang lain yang melakukan itu kan pasti sudah ditangkap.''

Saya sangat menikmati lontaran-lontaran Gus Dur. Memang ada satu dua lontaran yang meleset; ia tidak selalu benar. Salah satu lontaran yang meleset itu, menurut saya, adalah ia menjadi presiden dan terlalu sering mengulang pernyataan, ''Gitu aja kok repot!" Anda tahu, kalimat itu seperti lontaran yang memantul balik dan mengenai dirinya sendiri.

Memang benar-benar repot kok, Gus. Sampean kerepotan sendiri ketika terlalu sering mengatakan, ''Gitu aja kok repot.'' Tetapi, masa itu sudah lewat. Sekarang saya memahami satu hal lagi, yakni Sampean nyaris selalu tepat ketika berada di seberang kemapanan. Oh, begitulah, saya selalu terlambat memahami Sampean. Ketika kini saya merasa agak paham cara Sampean dulu mendorong saya, Sampean sudah pergi. Karena itu, saya hanya bisa berterima kasih untuk pesona yang sudah Sampean hadirkan selama ini.

Saya tak pernah benar-benar bisa menempel Sampean. Jarak antara saya dan Sampean tetap seperti semula. Namun, dengan jarak itu, saya beruntung bisa mempertahankan rasa hormat saya kepada Sampean.

Sugeng kondur, Gus, saya akan selalu kangen Sampean. (*)

*) A.S. Laksana, cerpenis, beralamat di aslaksana@yahoo.com

0 comments:

Post a Comment