Thursday, August 12, 2010

A.S. Laksana, Jawa Pos [ Minggu, 25 April 2010 ]


Bencana Sebagai Watak Pemerintahan

Saudara-saudara sekalian, sampai hari ini sesungguhnya saya masih penasaran kenapa dulu Presiden SBY dengan mudah mengurungkan niatnya untuk menggugat Anggodo dan Ong Juliana Gunawan yang telah menyebut-nyebut RI-1 berada di belakang mereka dalam skenario pelumpuhan KPK. Padahal sebelumnya ia tampak sangat tidak nyaman dan berniat mengambil langkah hukum yang tegas.

''Pokoknya didukung. Jadi nanti KPK ditutup. Ngerti ga?" kata Ong kepada Anggodo. Dan sekarang kita harus berurusan dengan Anggodo lagi, Bibit-Chandra lagi, ''kriminalisasi reptil'' lagi. Apakah kita akan menunggu presiden berpidato lagi?

Ini sungguh njelehi. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan baru saja memenangkan gugatan praperadilan Anggodo terhadap keputusan Kejaksaan Agung mengeluarkan SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan) atas kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Dengan demikian, ada kemungkinan Bibit dan Chandra harus diproses di pengadilan atas kasus yang dituduhkan kepada mereka. Jika proses peradilan berlangsung beres, mereka bisa membuktikan diri secara hukum apakah mereka tidak bersalah, atau sebaliknya, pengadilan akan membuktikan mereka bersalah. Hanya saja, pada saat berlangsungnya proses peradilan mereka harus non-aktif karena berstatus terdakwa. KPK kehilangan dua petingginya.

Dalam kasus Bibit-Chandra, Anda tahu, banyak orang meyakini bahwa yang terjadi adalah kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Hasil penyadapan oleh KPK, yang berupa rekaman percakapan Anggodo, Ong Juliana, dan para kolega mereka, memperkuat keyakinan tersebut. Namun, saya ingat, para politisi DPR punya suara yang lucu yang bertentangan dengan simpati rakyat kepada Bibit dan Chandra. Sambil memperlihatkan sikap antipati kepada KPK (apakah karena para politisi Senayan banyak digarap oleh KPK?), DPR tampak sangat berpihak kepada polisi yang menetapkan kedua petinggi KPK itu sebagai tersangka --meski tuduhan yang dilemparkan kepada keduanya terus berubah-ubah, seperti mood para remaja yang ruwet sendiri ketika jatuh cinta.

Pada waktu itu, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR berkaitan dengan kasus tersebut, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri mengeluarkan pernyataan yang membuat saya mak tratap, deg-degan dan harap-harap cemas. ''Tak ada anggota saya yang melacurkan diri, mempermalukan institusi. Kami pertanggungjawabkan dunia akhirat,'' katanya. Anggota DPR sangat girang. ''Saya tidak rela polisi diobok-obok,'' kata DPR. ''Polisi harus diselamatkan dari kriminalisasi publik.''

Sekarang, Anda bisa melihat bahwa Kapolri sudah membuat pernyataan yang benar-benar susah dipertanggungjawabkan dunia akhirat. Komjen Susno Duadji, polisi yang duduk di sebelahnya dalam rapat dengan anggota DPR, telah membuktikan bahwa Kapolri keliru. Banyak orang di kepolisian yang melakukan tindakan, dalam bahasa Pak Jenderal Kapolri, melacurkan diri dan mempermalukan institusi.

Lalu dengan cara bagaimana kita akan membicarakan kemenangan praperadilan Anggodo? Susno, si buaya yang dulu menjadi tokoh antagonis dalam kasus ''kriminalisasi'' Bibit-Chandra, kini sudah berubah menjadi penguak fakta tentang adanya makelar kasus di kepolisian. Itu tindakan yang membalikkan posisinya dari orang yang sebelumnya dicerca menjadi orang yang patut dibela. Jadi, akan bergerak ke mana lagi kasus Bibit-Chandra kali ini? Mengembalikan Susno ke posisi semula?

Setelah Kasus Century saya sempat berpikir bahwa kasus demi kasus yang dimunculkan belakangan adalah bentuk serangan balasan atas runyamnya posisi pemerintah. Dalam kasus ini, Anda tahu, suara koalisi pecah; sebagian anggota koalisi mengambil opsi keras yang menyudutkan pemerintah yang mereka dukung. Namun kemudian saya merasa bahwa pikiran itu terlalu simplistik, kendati manuver para politisi memang sering sangat simpel dan mudah diduga. Bahkan kalaupun itu benar demikian, kita bisa apa dengan pikiran semacam itu?

Saya kira ada kenyataan yang lebih besar di luar motif balas dendam itu. Jangan-jangan ini sebuah pola penyelesaian masalah, atau sebuah ciri lain dari pemerintahan SBY periode kedua. Anda tahu, lima tahun pertama pemerintahan SBY dicirikan oleh mbludak-nya bencana alam yang terjadi susul-menyusul. Pada periode kedua ini bencana alam tampaknya bergeser (atau meluaskan diri?) ke bencana politik, yang juga terjadi secara berturutan. Dugaan semacam itu membawa saya ke satu pertanyaan, ''Apakah masalah demi masalah di negeri ini hanya bisa diselesaikan melalui bencana?''

Untuk satu dua kasus mungkin iya. Masalah kemanusiaan yang berkepanjangan di Aceh, misalnya, menjadi agak dipermudah penyelesaiannya ketika terjadi tsunami. Setelah bencana besar itu, seluruh pikiran dan empati serta merta diarahkan ke sana. Orang berhenti membicarakan GAM, DOM, dan penderitaan apa saja yang sebelumnya mencincang daerah tersebut. Seluruh konsentrasi, dalam dan luar negeri, dikerahkan untuk membangun kembali daerah itu. Walhasil, bencana tsunami menjadi sebuah blessing in disguise bagi pemerintahan SBY sehingga masalah Aceh bisa diselesaikan dalam cara yang relatif lebih mudah. Kasus Aceh seperti selesai dengan sendirinya tanpa pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang tepat untuk menyelesaikannya.

Memang bencana bisa menjadi pola penyelesaian masalah. Setidaknya pola semacam itu bisa Anda temui dalam beberapa cerita di kitab suci: Sodom dan Gomorah hancur diguncang bencana, tentara-tentara Firaun digulung Laut Merah, dan Qarun yang tamak ditelan rekahan tanah beserta seluruh hartanya (namanya menyumbang satu kosakata dalam bahasa Indonesia, sehingga kita menyebut harta terpendam sebagai harta karun). Bencana-bencana dalam kitab suci itu menjadi sebuah happy ending, yakni ketika Tuhan sendiri turun tangan untuk menyelesaikan masalah di bumi.

Namun, Anda tentunya tidak bisa berharap bahwa sebuah pemerintahan akan terus-menerus bersandar pada bencana sebagai solusi. Akan ngawur sekali jika pengambil kebijakan hanya mengandalkan penyelesaian setiap urusan pada bencana. Jika demikian, demi mengusir orang pindah dari tempat permukiman mereka, yang perlu dilakukan hanya berdoa agar di situ terjadi tanah longsor atau semburan lumpur. Orang-orang yang tinggal di sana akan menyingkir dengan sendirinya. Sama ngawurnya juga saya kira jika pemerintah menjalankan kebijakan yang meniru pola bencana. Misalnya, karena suatu tempat harus dikosongkan untuk kepentingan lain dan di situ tidak memungkinkan adanya tanah longsor atau semburan lumpur, maka didatangkanlah bencana buatan, yakni Satpol PP.

Dalam beberapa kejadian, Anda tahu, Satpol PP, juga organisasi-organisasi otot lainnya, sanggup mendatangkan bencana, jika diperlukan, dengan karakter yang bisa sama merusaknya sebagaimana bencana alam. Mereka akan bekerja seperti semburan lumpur atau letusan gunung atau guncangan gempa untuk mendatangkan bencana bagi orang-orang yang tak sudi meninggalkan tempat mereka. Dan, sebagaimana bencana alam yang ''tugasnya'' memang menimbulkan kerusakan, mereka tampaknya juga memiliki ''tugas'' yang serupa.

Sekiranya watak penyelesaian seperti itu dipertahankan, agaknya akan lebih berguna jika bencana buatan itu diamalkan untuk menyelesaikan masalah korupsi. Saya kira Anda pun bersedia ikut memikirkan kemungkinan untuk melibatkan Satpol PP dalam program penggusuran para para koruptor dan bagaimana cara mendatangkan bencana buat mereka. Maksud saya, jika mereka bisa digunakan untuk mendatangkan bencana buat rakyat kecil, maka mereka juga bisa digunakan untuk mendatangkan bencana buat para koruptor.

Saya kira Satpol PP akan senang juga jika diberi tugas menggusur para koruptor; itu akan membuat mereka lebih banyak gunanya ketimbang sekarang. Kita juga akan lebih tenteram melihat kehadiran mereka, lebih tenang mengikuti kasus apa pun, entah Bibit-Chandra atau siapa pun, dan presiden tidak perlu bolak-balik berpidato atau mengeluh pada setiap kasus. Pada saat itu saya kira Kapolri juga tidak perlu membuat pernyataan teledor yang melibat-libatkan dunia akhirat. (*)

*) A.S. Laksana, kolomnis yang beralamat di aslaksana@yahoo.com

0 comments:

Post a Comment