Wednesday, August 11, 2010

A.S. Laksana, Jawa Pos, Minggu, 14 Maret 2010

Nasihat untuk Para Istri: Lanjutkan!

BEBERAPA waktu lalu, saya pernah menyampaikan dalam kolom yang saya tulis untuk situs berita detikcom guyonan yang dilontarkan oleh teman. Dia mengatakan bahwa SBY akan menjadi presiden selama enam kali masa jabatan. Rinciannya begini: dua kali SBY, disambung dua kali oleh Ibu Ani, disambung dua kali lagi oleh anak mereka. Seorang pembaca meralat guyonan tersebut. Yang benar delapan kali, katanya, sebab SBY memiliki dua anak.

Anda tahu, guyonan yang spontan, dalam obrolan ringan di antara kawan-kawan, kadang-kadang memiliki aspek kegeniusannya sendiri. Setidaknya ia nyaris mirip dengan ramalan, atau apes-apesnya pernyataan motivasional, yang akan mendorong terwujudnya kebenaran. Dalam kasus SBY, kita masih punya waktu empat setengah tahun lagi untuk melihat apakah guyonan itu benar. Tetapi, ''ramalan'' itu bekerja sempurna di tempat-tempat lain.

Kita mulai dari Indramayu. Di sini Hj Anna Sophana, istri Bupati Irianto M.S. Syarifudin, didorong-dorong oleh pengurus Gapensi (Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia) setempat untuk maju sebagai kandidat bupati dalam pilkada tahun ini. Alasan ketua Gapensi Indramayu, ''Bagaimanapun kesinambungan kepemimpinan daerah harus turut kita perjuangkan bersama.''

Dan apakah yang disebut kesinambungan? Mungkin beberapa gebrakan yang dibuat oleh Pak Bupati yang telah menjabat dua periode ini patut kita pertimbangkan. Pada Agustus 2007, dia melontarkan pernyataan untuk memeriksa keperawanan sekitar 3.500 siswi SMP dan SMA se-Indramayu. ''Pemeriksaan itu bertujuan untuk memberitahukan kepada orang tua siswi soal status keperawanan anak-anak gadis mereka,'' katanya di sela-sela pembakaran 2.600 buku sejarah di kantor Kejaksaan Negeri Indramayu. Waktu itu dia gerah karena beredarnya video porno sepasang anak SMA di Indramayu.

Selain memiliki gagasan lucu, Pak Bupati adalah orang yang berani terang-terangan memaksa pegawai negeri sipil untuk mencoblos Partai Golkar dalam pemilu lalu. Dia juga bersuara lantang dalam iklannya di masa kampanye bahwa rakyat Indramayu harus memilih Golkar. ''Jika tidak, itu berarti mengkhianati Rasulullah, Allah, dan kaum muslimin,'' katanya.

Rupanya, selain memiliki gagasan lucu, dia juga pintar membuat kesimpulan ajaib. Dan, saat ini, dalam polling Partai Golkar, istri Pak Bupati adalah kandidat dengan perolehan dukungan teratas. Jadi, dia punya kesempatan besar untuk melanjutkan gebrakan-gebrakan suaminya.

Jika di Indramayu dukungan untuk istri bupati mula-mula datang dari kalangan pengusaha, di Labuhanbatu, Sumatera Utara, dukungan terhadap Hj Adlina T. Milwan, istri Pak Bupati Milwan, datang dari ''wong cilik''. Pernyataan dukungan tersebut dipampangkan di situs resmi milik pemerintah kabupaten. Bunyinya: Kelompok Tani, Perajin, Pedagang, dan Pengusaha Kecil Dukung Hj Adlina T. Milwan sebagai Calon Bupati Labuhanbatu. Tentu penggunaan situs pemerintah kabupaten untuk menampilkan dukungan dengan mudah menuai protes. Tetapi, Anda tahu, protes semacam itu mudah diredam dan pencalonan Bu Hajjah berjalan mulus.

Dua tahun lalu Kabupaten Minahasa Tenggara menjadi arena persaingan para istri dari dua bupati. Mala Mailangkay Pontoh, istri penjabat Bupati Albert Pontoh, maju sebagai kandidat dari PDIP. Demi mempertahankan netralitasnya dalam pemilihan, Albert Pontoh membuat pernyataan sangat heroik bahwa dia siap pisah ranjang dengan istrinya. ''Bahkan, pisah rumah pun saya sudah siap,'' katanya. ''Saya sudah menyiapkan rumah khusus bagi istri saya sehingga tidak memunculkan kecurigaan di tengah masyarakat akan adanya intervensi.'' Dan, pemenang dalam pilkada Juli 2008 itu adalah kandidat dari Partai Golkar, Tjeli Tjanggulung, istri Bupati Talaud Elly Lasut.

Sekarang, kita tiba pada pertarungan paling seru yang tengah berlangsung di Kabupaten Kediri. Di negeri Raja Jayakatwang ini Bupati Sutrisno sudah tidak mungkin mencalonkan diri lagi; dia sudah dua kali menjabat. Namun, Anda tahu, demokrasi tidak melarang istri bupati maju sebagai kandidat bupati setelah suaminya tak mungkin maju lagi. Karena itu, tahun ini dua istri Sutrisno maju sekaligus sebagai kandidat dari partai berbeda. Istri tua digotong PDIP, istri muda digendong ke mana-mana dan beramai-ramai oleh PAN dan 23 partai kunyit. Mereka akan bertarung dalam pemilihan kepala daerah yang akan dilangsungkan Mei nanti.

Saya mencatat pernyataan menarik dari PAN Kediri yang begitu optimistis terhadap calon yang digendongnya. Ia dan sekutu-sekutunya meyakini bahwa istri muda Bupati Sutrisno akan menang dengan angka fantastik dan keyakinan itu disertai pula dengan harapan bahwa tampilnya Nur Laila akan bisa menghipnotis warga Kediri.

Tampaknya, itu harapan yang sangat masuk akal. Saya merasa bahwa Nur Laila tidak hanya menghipnotis warga Kediri. Dia bahkan menghipnotis saya yang tinggal di Jakarta, ratusan kilometer dari Kediri, sehingga saya mengalami halusinasi yang lain. Saya pikir jika Bupati Sutrisno memiliki empat atau lima istri, ditambah satu atau dua calon istri lagi, mereka semua bisa maju sebagai kandidat untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak lari ke mana-mana. Selanjutnya, warga Kediri tinggal memilih: apakah lebih bersimpati pada istri tua atau istri muda atau yang lebih muda lagi, atau yang jauh lebih muda lagi, atau calon istri, dan seterusnya.

Itu salah satu fakta dalam demokrasi kita hari ini. Bagi orang-orang yang berada di luar lingkaran, kekuasaan mungkin terasa sangat membosankan karena tabiatnya selalu begitu dan manuvernya mudah diduga. Namun, bagi mereka yang menggenggamnya atau yang ingin berkuasa, kekuasaan adalah sesuatu yang selamanya memukau dan karena itu harus direbut dengan segala cara dan dipertahankan dengan cara apa saja. Dan, mengerahkan sekaligus dua istri sebagai kandidat bupati saya kira bisa dimasukkan dalam kategori ''dengan cara apa saja'' itu.

Dorongan patriotik untuk mengabdi? Mungkin. Atau kehendak untuk tetap menggenggam kekuasaan? Mungkin juga. Anda boleh mengambil kesimpulan apa saja, sebab politisi bebas bertingkah semaunya.

Nah, mengenai kecenderungan-kecenderungan di atas, saya menangkap usul menarik dari pembaca (dia tidak meninggalkan namanya) bahwa sebaiknya dilakukan perombakan terhadap undang-undang yang mengatur pemerintahan di seluruh wilayah NKRI. Dia mengusulkan jika suami lelah atau tidak mampu melakukan tugas karena sakit atau mati, jabatannya diserahkan saja kepada istri. Dan, bila suami berpoligami, jabatannya bisa diduduki secara bergilir oleh para istri.

Menurut saya, itu juga usul yang masuk akal, dan tentu undang-undang ini harus berlaku sebaliknya: jika pemegang kekuasaan adalah istri, penerusnya adalah suami. Undang-undang seperti ini, kata si pembuat usul, akan menghemat ongkos pemilu yang terasa mahal sekali karena hanya membuat masyarakat selalu keliru memilih pemimpin. (*)

*) A.S. Laksana, cerpenis yang beralamat di aslaksana@yahoo.com

0 comments:

Post a Comment