Saturday, August 14, 2010

Robohnya Surau Kami (A.A.Navis)

 

ROBOHNYA SURAU KAMI

1

Kalau beberapa  tahun yang  lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan
akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di  jalan
kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu.
Dan di ujung  jalan nanti akan Tuan  temui sebuah surau  tua. Di depannya ada kolam  ikan,  yang
airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
Dan  di  pelataran  kiri  surau  itu  akan  Tuan  temui  seorang  tua  yang  biasanya  duduk  di  sana
dengansegala  tingkah  ketuaannya  dan  ketaatannya  beribadat. Sudah  bertahun-tahun  ia  sebagai
garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penajag surau, Kakek  tidak mendapat apa-apa.  Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya
sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari
kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin
ia  tak  begitu  dikenal.  Ia  lebih  di  kenal  sebagai  pengasah  pisau. Karena  ia  begitu mahir  dengan
pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan
apa-apa.  Orang-orang  perempuan  yang  minta  tolong  mengasahkan  pisau  atau  gunting,
memberinya  sambal  sebagai  imbalan.  Orang  laki-laki  yang  minta  tolong,  memberinya  imbalan
rokok,  kadang-kadang  uang.  Tapi  yang  paling  sering  diterimanya  ialah  ucapan  terima  kasihdan
sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada  lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa
penjaganya.  Hingga  anak-anak  menggunakannya  sebagai  tempat  bermain,  memainkan  segala
apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan
dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian
yang  bakal  roboh.  Dan  kerobohan  itu  kian  hari  kian  cepat  berlangsungnya.  Secepat  anak-anak
berlari di dalamnya,  secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan  yang  terutama  ialah  sifat
masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi.
Dan  biang  keladi  dari  kerobohan  ini  ialah  sebuah  dongengan  yang  tak  dapat  disangkal
kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku
suka memberinya  uang.  Tapi  sekali  ini  Kakek  begitu muram.  Di  sudut  benar  ia  duduk  dengan
lututnya menegak menopang  tangan  dan  dagunya.  Pandangannya  sayu  ke  depan,  seolah-olah
ada  sesuatu  yang  yang mengamuk  pikirannya.  Sebuah  belek  susu  yang  berisi minyak  kelapa,
sebuah  asahan  halus,  kulit  sol  panjang,  dan  pisau  cukur  tua  berserakan  di  sekitar  kaki  Kakek.
Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah  salamku  tak disahutinya  seperti
saat  itu.  Kemudian  aku  duduk  disampingnya  dan  aku  jamah  pisau  itu.  Dan  aku  tanya  Kakek,
"Pisau siapa, Kek?"
"Ajo Sidi."
"Ajo Sidi?"
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan
aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang
dengan bualannya  yang aneh-aneh  sepanjang hari. Tapi  ini  jarang  terjadi karena  ia begitu sibuk
dengan  pekerjaannya.  Sebagai  pembual,  sukses  terbesar  baginya  ialah  karena  semua  pelaku-
pelaku  yang  diceritakannya  menjadi  model  orang  untuk  diejek  dan  ceritanya  menjadi  pameo
akhirnya.  Ada-ada  saja  orang-orang  di  sekitar  kampungku  yang  cocok  dengan  watak  pelaku-
pelaku ceritanya. Ketika sekali  ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada
pula  seorang  yang  ketagihan  menjadi  pemimpin  berkelakuan  seperti  katak  itu,  maka  untuk
selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba  aku  ingat  lagi  pada  Kakek  dan  kedatang  Ajo  Sidi  kepadanya.  Apakah  Ajo  Sidi  telah
membuat  bualan  tentang Kakek? Dan  bualan  itukah  yang mendurjakan Kakek? Aku  ingin  tahu.
Lalu aku tanya Kakek lagi. "Apa ceritanya, Kek?"
"Siapa?"
"Ajo Sidi."
"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.
"Kenapa?"
"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya."
"Kakek marah?"
"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah  lama
aku  tak marah-marah  lagi. Takut aku kalau  imanku  rusak  karenanya,  ibadatku  rusak karenanya.
Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku
menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."
Ingin  tahuku  dengan  cerita  Ajo  Sidi  yang  memurungkan  Kakek  jadi memuncak.  Aku  tanya  lagi
Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"
Tapi  Kakek  diam  saja.  Berat  hatinya  bercerita  barangkali.  Karena  aku  telah  berulang-ulang
bertanya,  lalu  ia  yang bertanya padaku,  "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah
disini.  Sedari  mudaku,  bukan?  Kau  tahu  apa  yang  kulakukan  semua,  bukan?  Terkutukkah
perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia
takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri. 
"Sedari muda  aku  di  sini,  bukan?  Tak  kuingat  punya  isteri,  punya  anak,  punya  keluarga  seperti
orang  lain,  tahu?  Tak  kupikirkan  hidupku  sendiri.  Aku  tak  ingin  cari  kaya,  bikin  rumah.  Segala
kehidupanku,  lahir  batin,  kuserahkan  kepada  Allah  Subhanahu  wataala.  Tak  pernah  aku
menyusahkan  orang  lain.  Lalat  seekor  enggan  aku  membunuhnya.  Tapi  kini  aku  dikatakan
manusia  terkutuk. Umpan  neraka. Marahkah  Tuhan  kalau  itu  yang  kulakukan,  sangkamu? Akan
dikutukinya  aku  kalau  selama  hidupku  aku mengabdi  kepada-Nya?  Tak  kupikirkan  hari  esokku,
karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku
bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari  tidurnya,  supaya
bersujud  kepada-Nya.  Aku  sembahyang  setiap waktu. Aku  puji-puji Dia.  Aku  baca  Kitab-Nya.    
  Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya.     Astagfirullah kataku bila aku terkejut.   
  Masya  Allah  kataku  bila  aku  kagum.  Apa  salahnya  pekerjaanku  itu?  Tapi  kini  aku  dikatakan
manusia terkutuk."
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, "Ia katakan Kakek begitu, Kek?"
"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati
Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan
akhirnya Kakek bercerita lagi.
"Pada suatu waktu,  ‘kata Ajo Sidi memulai,  ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang  yang
sudah  berpulang. Para malaikat  bertugas  di  samping-Nya. Di  tangan mereka  tergenggam  daftar
dosa  dan  pahala  manusia.  Begitu  banyak  orang  yang  diperiksa.  Maklumlah  dimana-mana  ada
perang. Dan  di  antara  orang-orang  yang  diperiksa  itu  ada  seirang  yang  di  dunia  di  namai  Haji
Saleh. Haji Saleh  itu  tersenyum-senyum saja, karena  ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke
dalam  surga.  Kedua  tangannya  ditopangkan  di  pinggang  sambil  membusungkan  dada  dan
menekurkan  kepala  ke  kuduk.  Ketika  dilihatnya  orang-orang  yang  masuk  neraka,  bibirnya
menyunggingkan  senyum  ejekan.  Dan  ketika  ia  melihat  orang  yang  masuk  ke  surga,  ia
melambaikan  tangannya,  seolah  hendak  mengatakan  ‘selamat  ketemu  nanti’.  Bagai  tak  habis-
habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan
Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya. 
Akhirnya  sampailah  giliran  Haji  Saleh.  Sambil  tersenyum  bangga  ia  menyembah  Tuhan.  Lalu
Tuhan mengajukan pertanyaan pertama. 
‘Engkau?’ 
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’ 
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’ 
‘Ya, Tuhanku.’ 
‘apa kerjamu di dunia?’ 
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’ 
‘Lain?’ 
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu. ’ 
‘Lain.’ 
‘Ya, Tuhanku,  tak ada pekerjaanku  selain daripada  beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut
nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku
selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’ 
‘Lain?’ 
Haji Saleh  tak dapat menjawab  lagi.  Ia  telah menceritakan segala yang  ia kerjakan. Tapi  ia  insaf,
pertanyaan  Tuhan  bukan  asal  bertanya  saja,  tentu  ada  lagi  yang  belum  di  katakannya.  Tapi
menurut  pendapatnya,  ia  telah  menceritakan  segalanya.  Ia  tak  tahu  lagi  apa  yang  harus
dikatakannya.  Ia  termenung  dan  menekurkan  kepalanya.  Api  neraka  tiba-tiba  menghawakan
kehangatannya  ke  tubuh Haji Saleh. Dan  ia menangis.  Tapi  setiap  air matanya mengalir,  diisap
kering oleh hawa panas neraka itu. 
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan. 
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang,
Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji
Tuhan  dengan  pengharapan  semoga  Tuhan  bisa  berbuat  lembut  terhadapnya  dan  tidak  salah
tanya kepadanya. 
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’ 
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’ 
‘Lain?’ 
‘Sudah  kuceritakan  semuanya,  o,  Tuhanku.  Tapi  kalau  ada  yang  lupa  aku  katakan,  aku  pun
bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’ 
‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’ 
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’ 
‘Masuk kamu.’ 
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh  tidak mengerti kenapa
ia di bawa ke neraka.  Ia  tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan  ia percaya
Tuhan tidak silap. 
Alangkah  tercengang  Haji  Saleh,  karena  di  neraka  itu  banyak  teman-temannya  di  dunia
terpanggang  hangus, merintih  kesakitan.  Dan  ia  tambah  tak mengerti  dengan  keadaan  dirinya,
karena  semua orang  yang dilihatnya di neraka  itu  tak kurang  ibadatnya  dari  dia  sendiri. Bahkan
ada  salah seorang  yang  telah  sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu
Haji  Saleh  mendekati  mereka,  dan  bertanya  kenapa  mereka  dinerakakan  semuanya.  Tapi
sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga. 
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat,
teguh beriman? Dan  itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-
Nya ke neraka.’ 
‘Ya,  kami  juga  heran.  Tengoklah  itu  orang-orang  senegeri  dengan  kita  semua,  dan  tak  kurang
ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya. 
‘Ini sungguh tidak adil.’ 
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh. 
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’ 
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’ 
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh. 
‘Kalau  Tuhan  tak mau mengakui  kesilapan-Nya,  bagaimana?’  suatu  suara melengking  di  dalam
kelompok orang banyak itu. 
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh. 
‘Apa  kita  revolusikan  juga?’  tanya  suara  yang  lain,  yang  rupanya  di  dunia  menjadi  pemimpin
gerakan revolusioner. 
‘Itu  tergantung  kepada  keadaan,’  kata  Haji  Saleh.  ‘Yang  penting  sekarang,  mari  kita
berdemonstrasi menghadap Tuhan.’ 
‘Cocok  sekali. Di dunia  dulu dengan  demonstrasi  saja, banyak  yang  kita perolah,’  sebuah  suara
menyela. 
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai. 
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan. 
Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’ 
Haji  Saleh  yang  menjadi  pemimpin  dan  juru  bicara  tampil  ke  depan.  Dan  dengan  suara  yang
menggeletar dan berirama rendah,  ia memulai pidatonya:  ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami
yang  menghadap-Mu  ini  adalah  umat-Mu  yang  paling  taat  beribadat,  yang  paling  taat
menyembahmu.  Kamilah  orang-orang  yang  selalu menyebut  nama-Mu, memuji-muji  kebesaran-
Mu,mempropagandakan  keadilan-Mu,  dan  lain-lainnya. Kitab-Mu  kami  hafal  di  luar  kepala  kami.
Tak  sesat  sedikitpun  kami  membacanya.  Akan  tetapi,  Tuhanku  yang  Mahakuasa  setelah  kami
Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum  terjadi hal-hal yang
tak  diingini,  maka  di  sini,  atas  nama  orang-orang  yang  cinta  pada-Mu,  kami  menuntut  agar
hukuman  yang  Kaujatuhkan  kepada  kami  ke  surga  sebagaimana  yang  Engkau  janjikan  dalam
Kitab-Mu.’ 
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan. 
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’ 
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’ 
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’ 
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya,
bukan?’
‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena
fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa
Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu. 
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’ 
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’ 
‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’ 
‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’ 
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’ 
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’ 
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’ 
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’ 
‘Di  negeri  yang  selalu  kacau  itu,  hingga  kamu  dengan  kamu  selalu  berkelahi,  sedang  hasil
tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’ 
‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami
ialah menyembah dan memuji Engkau.’ 
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’ 
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’ 
‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’ 
‘Sungguhpun  anak  cucu  kami  itu melarat,  tapi mereka  semua  pintar mengaji.  Kitab-Mu mereka
hafal di luar kepala.’ 
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’ 
‘Ada, Tuhanku.’ 
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang
harta bendamu kaubiarkan orang  lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau  lebih
suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya
raya,  tapi kau malas. Kau  lebih suka beribadat saja, karena beribadat  tidak mengeluarkan peluh,
tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin.
Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka.
hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!" 
Semua menjadi pucat pasi  tak berani berkata apa-apa  lagi. Tahulah mereka sekarang apa  jalan
yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya
di dunia  itu  salah atau  benar. Tapi  ia  tak berani bertanya  kepada Tuhan.  Ia  bertanya  saja  pada
malaikat yang menggiring mereka itu. 
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh. 
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau  terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau  takut masuk
neraka,  karena  itu  kau  taat  sembahyang.  Tapi  engkau  melupakan  kehidupan  kaummu  sendiri,
melupakan  kehidupan  anak  isterimu  sendiri,  sehingga mereka  itu  kucar-kacir  selamanya.  Inilah
kesalahanmu  yang  terbesar,  terlalu  egoistis.  Padahal  engkau  di  dunia  berkaum,  bersaudara
semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’ 
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek. 
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk. 
"Siapa yang meninggal?" tanyaku kagut. 
"Kakek." 
"Kakek?" 
"Ya.  Tadi  subuh Kakek  kedapatan mati  di  suraunya  dalam  keadaan  yang mengerikan  sekali.  Ia
menggoroh lehernya dengan pisau cukur." 
"Astaga!  Ajo  Sidi  punya  gara-gara,"  kataku  seraya  cepat-cepat  meninggalkan  istriku  yang
tercengang-cengang. 
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia. 
"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi. 
"Tidak ia tahu Kakek meninggal?" 
"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis." 
"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo
Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang kemana dia?" 
"Kerja." 
"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa. 
"Ya, dia pergi kerja."
                                                                                            ---******---

0 comments:

Post a Comment