Wednesday, August 11, 2010

A.S. Laksana, Jawa Pos, Minggu, 11 April 2010


Upaya Menemukan Ciri Khas

DEMI menemukan pola ekspresi terbaik yang bisa saya jadikan ciri khas, saat ini saya sesungguhnya tengah berada dalam keadaan yang sangat labil dan gampang terombang-ambing. Saya mudah sekali terpengaruh oleh karisma orang-orang lain. Emosi saya juga gampang terpancing.

Ketika membaca atau mendengar tentang Miranda Goeltom, misalnya, saya terpancing untuk menjadi orang pikun dan mudah lupa pada urusan saya sendiri. Ketika teringat Megawati, saya menjadi gampang menangis. Ketika terlintas dalam pikiran saya sosok tinggi besar Presiden SBY, saya langsung terdorong untuk meniru ciri khasnya dan memantapkan diri sebagai orang yang suka curhat dan melampiaskan keluhan.

Sebenarnya, saya paham bahwa keterombang-ambingan yang saya rasakan sekarang ini adalah hal yang wajar-wajar saja di masa pencarian. Gabriel Garcia Marquez, penulis Kolombia peraih Nobel Sastra tahun 1982, juga pernah terombang-ambing antara Ernest Hemingway, William Faulkner, dan Miguel de Cervantes -untuk menyebut beberapa nama- sampai dia akhirnya menemukan gayanya sendiri yang oleh para pengamat disebut sebagai realisme magis.

Dalam artikelnya yang berjudul Gabriel Garcia Marquez Meets Ernest Hemingway, dimuat di New York Times edisi 26 Juli 1981 (satu setengah tahun sebelum dia mendapatkan penghargaan nobel), Marquez menceritakan bagaimana dirinya melihat Hemingway -penulis yang dikaguminya- sedang berjalan bersama istrinya di jalanan Kota Paris. Sesaat dia bingung, tidak tahu apakah harus meminta waktu wawancara dengannya (dia seorang wartawan) atau menyeberang jalan dan memberikan penghormatan dalam cara yang mungkin kurang layak. Dalam keadaan tercenung tak tahu apa yang harus dia lakukan, akhirnya dia hanya bisa berseru dari seberang jalan ala Tarzan, ''Maaaeeestro!'' Hemingway pun membalas, ''Adios, amigo!'' dan terus berjalan. Itulah satu-satunya pertemuan dia dengan Hemingway.

Kembali ke tiga nama yang saya sebutkan di awal tulisan ini, yakni Miranda Goeltom, Megawati, dan SBY, mungkin mereka juga pernah mengalami situasi terombang-ambing sebagaimana yang saya rasakan sekarang. Hanya, saya tidak tahu siapa orang-orang yang pernah dikagumi oleh Miranda Goeltom sebelum dia menemukan style yang pas bagi dirinya: pelupa. Begitupun dengan Presiden SBY. Dia tentu telah mempelajari berbagai gaya sebelum menemukan yang paling tepat untuk dia jadikan ciri khas, yakni curhat. Urusan lainnya, antara lain, sejak kapan Miranda dan SBY menemukan ciri khas mereka, saya tidak mempunyai catatan yang pasti. Satu-satunya yang bisa saya ingat adalah Megawati.

Menurut catatan saya, Mega kali pertama menangis saat membawakan pidato pada masa-masa awal reformasi. Ketika itu, sebagai pemimpin partai oposisi, dia menyampaikan pidato panjang yang menyinggung banyak soal, termasuk penderitaan rakyat Aceh semasa diberlakukannya kebijakan DOM (Daerah Operasi Militer) oleh pemerintah. Sehari sebelum berpidato, saya melihat Mega dan Eros Djarot, sutradara dan pencipta lagu yang kemudian memimpin partai politik, bercakap-cakap membicarakan naskah pidato yang akan dibacakan besok. ''Pas tekan bagian iki, nek perlu mengko Sampean nangis, Mbak (Saat bagian ini, kalau perlu nanti Anda menangis, Mbak),'' kata Eros Djarot.

Pada pidato keesokan harinya, Mega benar-benar menangis di bagian Aceh. Namun, Aceh dalam naskah pidato, tampaknya, berbeda dengan Aceh yang ada di ujung Pulau Sumatera sana. Saya katakan demikian karena beberapa waktu setelah itu Megawati seperti lupa bahwa dia pernah menangisi Aceh dalam pidatonya. Saat Mega menjadi presiden, Anda tahu, dia juga menangani Aceh dengan pengiriman angkatan bersenjata. Walhasil, sampai sekarang nilai politik Megawati dan PDIP selalu merosot di mata rakyat Aceh. Tetapi, fakta itu rupanya tak mengganggu tangisan yang sudah dia tetapkan sebagai ciri khasnya. Sampai dengan pidatonya yang terakhir di Kongres PDIP di Bali, Mega masih suka menangis.

Dari apa yang ditampilkan oleh Mega, setidaknya kita bisa belajar bahwa ciri khas yang ditampilkan bisa jadi tak perlu mencerminkan kualitas tindakan atau apa yang ada dalam pikiran. Tetapi, itu urusan berikutnya. Urusan saya sekarang adalah mengatasi kegalauan saya sendiri. Dalam kondisi seperti ini, saya bersyukur ada Ruhut Sitompul. Ya, untung ada Ruhut! (meminjam ujaran khas pelawak Gepeng, ''Untung ada saya.''). Sama dengan Gepeng pada masa hidupnya, Ruhut pun selalu membuat saya terpingkal-pingkal. Namun, Ruhut memiliki kualitas lain yang tidak dimiliki oleh sembarang pelawak: selain menggelikan, dia memberi saya inspirasi bahwa sebagai manusia kita harus selalu siap sedia menjadi tameng bagi orang lain.

Itu watak yang baik dan saya kira Anda perlu mencari sebanyak-banyaknya teman yang berwatak seperti Ruhut. Anda tahu, Ruhut sering secara sukarela menyediakan diri sebagai penjamin. Dalam kasus Century, misalnya, dia dengan yakin menjaminkan leher dan kupingnya. ''Aku orangnya fakta. Potong leher aku kalau Ibas terima dana Century,'' katanya. Pada saat lainnya dia bilang, ''Tidak ada kaitannya SBY dan Demokrat dengan aliran dana Bank Century. Kalau ada, potong kuping Ruhut Sitompul.''

Saya belum mendengar apakah dia pernah menjaminkan bagian-bagian tubuhnya yang lain, antara lain, jari atau lidah atau kucir pada waktu dia masih berkucir. Hanya, menurut dugaan saya, orang ini pasti mempunyai leher dan kuping yang bisa tumbuh lagi setelah dipotong sehingga dua barang itu bisa dijadikan jaminan berkali-kali. Saya bayangkan dia seperti cicak yang memiliki kemampuan ototomi, yakni kecakapan reptilia untuk memutuskan sendiri ekornya ketika sedang terdesak dan menumbuhkannya lagi setelah itu.

Untung juga ada Gayus Tambunan dan Bahasyim Assifie. Keduanya orang pajak dan keduanya adalah sosok-sosok yang memancarkan ilham. Kemunculan mereka memberikan kesadaran baru bagi saya untuk membuka mata lebar-lebar. Ketika membaca nama mereka di media, terus terang, saya seketika terdorong menjadi orang kaya. Itu mungkin masih berkaitan dengan situasi labil saya. Tetapi, saya akan menjelaskan sedikit bahwa dorongan untuk menjadi kaya raya itu bukanlah urusan ciri khas. Ia ada di wilayah keyakinan.

Sejauh ini saya terindimasi oleh pandangan-pandangan yang menyiratkan bahwa hidup untuk mengejar kekayaan duniawi adalah kesia-siaan belaka. Yang lebih mulia adalah mengejar kemuliaan akhirat. Itu truisme yang tak perlu dibantah. Tetapi, pandangan tersebut segera digugurkan oleh Gayus dan Bahasyim. Dengan kecenderungan untuk mengamini pandangan negatif tentang harta dunia dan melulu menggenggam obsesi berlebihan pada akhirat, saya yakin, Anda akan gagal melihat kenyataan bahwa di negeri ini mukjizat bisa turun kepada siapa saja.

Dari Gayus saya mendapatkan ilham bahwa seorang pegawai negeri berpangkat rendah dan dalam usia yang masih muda ternyata bisa memiliki uang sebesar Rp 28 miliar. Dari Bahasyim saya mampu membuka mata bahwa amat mudah bagi seorang penjual jasa untuk mengumpulkan Rp 64 miliar dalam waktu empat tahun. Lihatlah, apa yang tampaknya muskil di tempat-tempat lain bisa dengan mudah menjadi kenyataan di sini.

Dengan kesadaran baru tentang kekayaan duniawi, kini saya percaya bahwa Anda bisa menjadi sangat kaya dan spiritual dalam waktu bersamaan. Maksud saya, jika Anda memiliki uang sebanyak Rp 64 miliar, Anda akan memiliki kesanggupan untuk sendirian saja memikul biaya pembangunan surau, vihara, gereja, pura, kuil, kelenteng, sinagoge, dan memberi makan anak-anak yatim piatu. Dengan demikian, Anda telah memesan tempat di akhirat dari segala penjuru keyakinan. Kebajikan semacam itu juga berguna jika nanti Anda memasuki dunia politik. Anda tampak sebagai orang baik di mata publik. Saat itu akan lebih baik jika Anda sudah menemukan ciri khas.

Jadi, pelajaran yang saya dapatkan ketika saya terombang-ambing ini, antara lain, adalah di negeri ini tak ada yang mustahil. Siapa saja bisa menjadi presiden, apa pun ciri khasnya, apa pun isi kepalanya. Siapa saja bisa menjadi orang kaya dengan cara mudah, apa pun pangkatnya. Untuk menjamin bahwa kesimpulan saya ini bisa dipertanggungjawabkan, saya mungkin memerlukan leher atau kuping Ruhut sebagai jaminan. Saya yakin dia bersedia. (*)

*) A.S. Laksana, cerpenis, beralamat di aslaksana@yahoo.com

0 comments:

Post a Comment