Wednesday, August 11, 2010

A.S. Laksana, Jawa Pos, 22 November 2009

Ruwetnya Menceritakan Demokrasi

Menulis cerita bertema demokrasi rupa-rupanya sama sulitnya dengan menulis pornografi. Setidaknya begitulah yang saya alami. Nanti akan saya bicarakan lebih lanjut, tetapi ada satu urusan yang perlu saya jelaskan lebih dulu, yakni menyangkut email yang saya terima beberapa hari lalu.

Dari sejumlah email yang menanggapi surat terbuka untuk presiden yang saya tulis minggu lalu, ada satu yang berterus terang mengingatkan saya: ''Saya suka membaca surat Anda. Hanya saja saya khawatir Anda sedang menjadi Don Kisot yang merasa bertempur melawan raksasa tetapi sesungguhnya hanya bertarung melawan kincir angin.''

Saya ucapkan terima kasih kepada teman baru saya itu atas surat yang ia kirim dan atas gambaran yang ia berikan kepada saya. Begitulah, sebaiknya Anda juga jangan sampai lupa berterima kasih, ini masalah adab.

Selanjutnya saya katakan bahwa saya sungguh tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Don Kisot yang kehebatannya terus dikenang orang selama empat abad hingga hari ini. Lagi pula saya sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa presiden kita adalah kincir angin. Ia seorang kepala negara, karena itu setiap gerak-geriknya, kesigapan atau kelambanan responsnya, tidaklah tergantung pada hembusan angin. Dan, yang terpenting, ia tak bisa didorong-dorong, apalagi dipaksa, dan ia sendiri sudah mengatakan hal itu. ''Jangan sampai saya sebagai presiden didorong, dipaksa untuk mengambil langkah yang bukan kewenangan saya,'' katanya.

Saya hormati sepenuhnya sikap ogah didorong itu, meskipun saya tidak yakin bahwa rekomendasi Tim 8 adalah sekumpulan saran ngawur yang dimaksudkan agar presiden melanggar kewenangan. Setahu saya, tim itu beranggotakan orang-orang mumpuni dalam bidang hukum dan para intelektual yang dipilih sendiri oleh presiden. Maka, pernyataan presiden itu memang terasa sungguh mengherankan.

Selain tidak bisa didorong-dorong, saya juga sangat yakin bahwa presiden bukanlah orang yang bisa dikekang. Maksud saya, seandainya Anda menyarankan agar ia jangan mau mengikuti rekomendasi Tim 8, mungkin kita akan mendengar jawaban, ''Saya jangan dilarang-larang.'' Jadi, saya menyimpulkan bahwa presiden kita lebih senang didoakan. Karena itu muncullah sekumpulan pendoa yang menamakan diri Majelis Dzikir SBY.

Begitulah penjelasan saya. Dengan demikian urusan Don Kisot dan kincir angin ini bisa dianggap selesai dan saya akan beralih ke sebuah peristiwa lain di hari Senin lalu. Hari itu saya terlibat diskusi seharian dengan teman-teman penulis dan aktivis LSM untuk membicarakan penulisan cerpen bertema demokrasi. Acara diselenggarakan oleh Demos, sebuah LSM yang bergiat melakukan penelitian tentang kehidupan demokrasi di masyarakat, dan berlangsung menyenangkan.

Lan Fang, penulis Surabaya, datang dari kampung halaman membawa cerita-cerita tentang pemilu dan pilkada di Jawa Timur yang membuat kami tertawa, tetapi sebenarnya ia menyampaikan realitas yang getir. Oka Rusmini datang pagi-pagi dari Bali dan antusias menyerap jalannya diskusi. Miranda dari Jogja, sama khusyuknya. Linda Christanty terbang dari Aceh dengan kehendak baik untuk merinci pelbagai kemelencengan dan memikirkan pelurusannya. Puthut E.A. menghidupkan diskusi dengan memberikan ilustrasi-ilustrasi bagaimana kita bermasyarakat dan menyodorkan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang praktik-praktik penyelenggaraan negara. Peserta tertua adalah Martin Aleida; ia 66 tahun tetapi tampak seperti orang yang memalsukan umurnya. Saya pikir sikap kritisnya justru membuat ia tampak 20 tahun lebih muda. Rudy Gunawan dari Voice of Human Right memiliki peran besar untuk menghadirkan teman-teman dalam forum ini dan sejak pagi cerewet sekali mengecek saya sudah sampai di mana.

Saya masih merambat di jalur yang padat ketika semua teman sudah berkumpul, berangkat dari rumah dengan kesegaran maksimum dan tiba di tempat pertemuan dengan penampilan yang tampak 20 tahun lebih tua. Lesu dan kocar-kacir. Dan di sana saya hanya bisa mengajukan pertanyaan yang, kalaupun penting, mungkin cuma penting bagi diri saya sendiri, ''Kenapa PSSI tidak mampu mendapatkan ketua umum baru meskipun Nurdin Halid waktu itu jelas-jelas berstatus narapidana untuk kasus korupsi?''

Pertanyaan itu malah membuat teman-teman tertawa, tetapi seingat saya tidak ada jawaban yang saya peroleh. Saya menyukai sepakbola dan itu pertanyaan penting bagi saya. Tetapi, sudahlah, negara kecil bernama PSSI itu tentunya lebih tahu pemimpin macam apa yang sesuai dengan watak dasar para warganya.

Tanpa niat untuk ngotot membahas PSSI, saya menyesuaikan diri dengan gairah teman-teman dalam membicarakan demokrasi. Sebenarnya, begitu saya menerima undangan beberapa hari sebelum acara, dan menyanggupi datang, saya sudah nyicil memikirkan cerpen demokrasi model bagaimana yang bisa saya tulis -yang nantinya akan diterbitkan sebagai sebuah antologi karya para hadirin. Dan, itu benar-benar susah sebab pada saat yang sama saya sedang memikirkan kemungkinan menulis cerita-cerita pornografi. Pikir saya, cerita beginian akan lebih mudah digarap, dan Anda tahu, cerita pornografi punya kemungkinan disambut meriah oleh khalayak pembaca dan mendapatkan apresiasi yang tinggi dari pengamat yang menyukai kelugasan dan ketelanjangan.

Tetapi saya keliru, dan Anda juga akan keliru besar jika beranggapan bahwa menulis pornografi adalah perkara mudah. Kesulitan pertama muncul ketika saya berniat menggambarkan adegan yang melibatkan seorang masokhis. Inilah adegan yang saya bayangkan:

''Ayo, Bram, ayunkan cambukmu. Ayunkan cambukmu, Sayang," kata perempuan itu. Bram termangu-mangu. Ia khawatir perempuan itu sedang memerangkapnya dan akan melaporkannya ke Mabes Polri atau ke Komnas HAM esok hari dengan tuduhan melakukan penyiksaan pada perempuan telanjang.

Lihatlah, itu tidak menarik dan akan gagal sebagai pornografi. Mungkin lebih memikat sekiranya saya menggabungkan pornografi dan politik. Saya bisa membuat adegan yang halus tetapi jelas arahnya. Misalnya:

''Hari ini aku tak bisa,'' kata lelaki itu dalam pembicaraan telepon dengan perempuan yang memintanya datang.

''Harus bisa, Say, ini menyangkut keselamatan negara. Selain itu aku tahu tubuhmu sudah rindu dipijit. Dan, jangan lupa, durenku sudah lama menantimu, lho," bujuk perempuan di seberang.

Itu juga cerita pornografi yang tidak menjanjikan apa-apa.

Ketika saya tengah ruwet berpikir bolak-balik antara cerita demokrasi dan cerita pornografi, pembantu saya yang sudah seminggu cuti di kampungnya mengirimkan pesan singkat ke telepon selular saya.

''Bu, q mau brngkt ke jakarta, tp q blom tau kapan."

Ia pasti salah mengirim pesan ke telepon saya. Segera saya berpura-pura menjadi istri saya dan menjawab pesan singkat itu dengan kalimat sesimpatik mungkin:

''Kau sehat? Berangkatlah ke Jakarta kalau kau pikir waktunya tepat. Berangkatlah dengan perasaan senang."

''Mungkin q brngkt hari minggu.''

''Bagaimana kalau hari Sabtu sehingga Minggu kau sudah ada di rumah?''

''Klo hari sabtu q tidak tau bisnya ada ato tidak.''

''Kalau begitu terserah q sajalah. Kalau q lebih senang berangkat hari Minggu, silakan q berangkat hari Minggu."

''Wkkkk... ;-p.''

Saya semakin mumet memikirkan seperti apa cerpen terbaik yang bisa mendorong tumbuhnya demokrasi. Harap diketahui, di rumah sendiri pun saya gagal mendorong demokratisasi. Pembantu saya itu -yang dengan enak bisa menggunakan kata ganti orang ''q'' untuk menyebut dirinya dan menyiratkan kesan sederajat dalam komunikasi melalui sms- sesungguhnya tetap lebih nyaman duduk nglesot di lantai. Maka, tidak ada jalan lain kecuali saya harus menerapkan demokrasi terpimpin. Tetapi itu pun tak jalan. Saya tetap tidak pernah bisa memaksanya duduk di kursi, dan ketika saya mengajaknya duduk makan bersama di meja makan, kelihatannya ia langsung panas dalam. (*)

*) A.S. Laksana, cerpenis, aslaksana@yahoo.com

Ruwetnya Menceritakan Demokrasi
Menulis cerita bertema demokrasi rupa-rupanya sama sulitnya dengan menulis pornografi. Setidaknya begitulah yang saya alami. Nanti akan saya bicarakan lebih lanjut, tetapi ada satu urusan yang perlu saya jelaskan lebih dulu, yakni menyangkut email yang saya terima beberapa hari lalu.

Dari sejumlah email yang menanggapi surat terbuka untuk presiden yang saya tulis minggu lalu, ada satu yang berterus terang mengingatkan saya: ''Saya suka membaca surat Anda. Hanya saja saya khawatir Anda sedang menjadi Don Kisot yang merasa bertempur melawan raksasa tetapi sesungguhnya hanya bertarung melawan kincir angin.''

Saya ucapkan terima kasih kepada teman baru saya itu atas surat yang ia kirim dan atas gambaran yang ia berikan kepada saya. Begitulah, sebaiknya Anda juga jangan sampai lupa berterima kasih, ini masalah adab.

Selanjutnya saya katakan bahwa saya sungguh tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Don Kisot yang kehebatannya terus dikenang orang selama empat abad hingga hari ini. Lagi pula saya sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa presiden kita adalah kincir angin. Ia seorang kepala negara, karena itu setiap gerak-geriknya, kesigapan atau kelambanan responsnya, tidaklah tergantung pada hembusan angin. Dan, yang terpenting, ia tak bisa didorong-dorong, apalagi dipaksa, dan ia sendiri sudah mengatakan hal itu. ''Jangan sampai saya sebagai presiden didorong, dipaksa untuk mengambil langkah yang bukan kewenangan saya,'' katanya.

Saya hormati sepenuhnya sikap ogah didorong itu, meskipun saya tidak yakin bahwa rekomendasi Tim 8 adalah sekumpulan saran ngawur yang dimaksudkan agar presiden melanggar kewenangan. Setahu saya, tim itu beranggotakan orang-orang mumpuni dalam bidang hukum dan para intelektual yang dipilih sendiri oleh presiden. Maka, pernyataan presiden itu memang terasa sungguh mengherankan.

Selain tidak bisa didorong-dorong, saya juga sangat yakin bahwa presiden bukanlah orang yang bisa dikekang. Maksud saya, seandainya Anda menyarankan agar ia jangan mau mengikuti rekomendasi Tim 8, mungkin kita akan mendengar jawaban, ''Saya jangan dilarang-larang.'' Jadi, saya menyimpulkan bahwa presiden kita lebih senang didoakan. Karena itu muncullah sekumpulan pendoa yang menamakan diri Majelis Dzikir SBY.

Begitulah penjelasan saya. Dengan demikian urusan Don Kisot dan kincir angin ini bisa dianggap selesai dan saya akan beralih ke sebuah peristiwa lain di hari Senin lalu. Hari itu saya terlibat diskusi seharian dengan teman-teman penulis dan aktivis LSM untuk membicarakan penulisan cerpen bertema demokrasi. Acara diselenggarakan oleh Demos, sebuah LSM yang bergiat melakukan penelitian tentang kehidupan demokrasi di masyarakat, dan berlangsung menyenangkan.

Lan Fang, penulis Surabaya, datang dari kampung halaman membawa cerita-cerita tentang pemilu dan pilkada di Jawa Timur yang membuat kami tertawa, tetapi sebenarnya ia menyampaikan realitas yang getir. Oka Rusmini datang pagi-pagi dari Bali dan antusias menyerap jalannya diskusi. Miranda dari Jogja, sama khusyuknya. Linda Christanty terbang dari Aceh dengan kehendak baik untuk merinci pelbagai kemelencengan dan memikirkan pelurusannya. Puthut E.A. menghidupkan diskusi dengan memberikan ilustrasi-ilustrasi bagaimana kita bermasyarakat dan menyodorkan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang praktik-praktik penyelenggaraan negara. Peserta tertua adalah Martin Aleida; ia 66 tahun tetapi tampak seperti orang yang memalsukan umurnya. Saya pikir sikap kritisnya justru membuat ia tampak 20 tahun lebih muda. Rudy Gunawan dari Voice of Human Right memiliki peran besar untuk menghadirkan teman-teman dalam forum ini dan sejak pagi cerewet sekali mengecek saya sudah sampai di mana.

Saya masih merambat di jalur yang padat ketika semua teman sudah berkumpul, berangkat dari rumah dengan kesegaran maksimum dan tiba di tempat pertemuan dengan penampilan yang tampak 20 tahun lebih tua. Lesu dan kocar-kacir. Dan di sana saya hanya bisa mengajukan pertanyaan yang, kalaupun penting, mungkin cuma penting bagi diri saya sendiri, ''Kenapa PSSI tidak mampu mendapatkan ketua umum baru meskipun Nurdin Halid waktu itu jelas-jelas berstatus narapidana untuk kasus korupsi?''

Pertanyaan itu malah membuat teman-teman tertawa, tetapi seingat saya tidak ada jawaban yang saya peroleh. Saya menyukai sepakbola dan itu pertanyaan penting bagi saya. Tetapi, sudahlah, negara kecil bernama PSSI itu tentunya lebih tahu pemimpin macam apa yang sesuai dengan watak dasar para warganya.

Tanpa niat untuk ngotot membahas PSSI, saya menyesuaikan diri dengan gairah teman-teman dalam membicarakan demokrasi. Sebenarnya, begitu saya menerima undangan beberapa hari sebelum acara, dan menyanggupi datang, saya sudah nyicil memikirkan cerpen demokrasi model bagaimana yang bisa saya tulis -yang nantinya akan diterbitkan sebagai sebuah antologi karya para hadirin. Dan, itu benar-benar susah sebab pada saat yang sama saya sedang memikirkan kemungkinan menulis cerita-cerita pornografi. Pikir saya, cerita beginian akan lebih mudah digarap, dan Anda tahu, cerita pornografi punya kemungkinan disambut meriah oleh khalayak pembaca dan mendapatkan apresiasi yang tinggi dari pengamat yang menyukai kelugasan dan ketelanjangan.

Tetapi saya keliru, dan Anda juga akan keliru besar jika beranggapan bahwa menulis pornografi adalah perkara mudah. Kesulitan pertama muncul ketika saya berniat menggambarkan adegan yang melibatkan seorang masokhis. Inilah adegan yang saya bayangkan:

''Ayo, Bram, ayunkan cambukmu. Ayunkan cambukmu, Sayang," kata perempuan itu. Bram termangu-mangu. Ia khawatir perempuan itu sedang memerangkapnya dan akan melaporkannya ke Mabes Polri atau ke Komnas HAM esok hari dengan tuduhan melakukan penyiksaan pada perempuan telanjang.

Lihatlah, itu tidak menarik dan akan gagal sebagai pornografi. Mungkin lebih memikat sekiranya saya menggabungkan pornografi dan politik. Saya bisa membuat adegan yang halus tetapi jelas arahnya. Misalnya:

''Hari ini aku tak bisa,'' kata lelaki itu dalam pembicaraan telepon dengan perempuan yang memintanya datang.

''Harus bisa, Say, ini menyangkut keselamatan negara. Selain itu aku tahu tubuhmu sudah rindu dipijit. Dan, jangan lupa, durenku sudah lama menantimu, lho," bujuk perempuan di seberang.

Itu juga cerita pornografi yang tidak menjanjikan apa-apa.

Ketika saya tengah ruwet berpikir bolak-balik antara cerita demokrasi dan cerita pornografi, pembantu saya yang sudah seminggu cuti di kampungnya mengirimkan pesan singkat ke telepon selular saya.

''Bu, q mau brngkt ke jakarta, tp q blom tau kapan."

Ia pasti salah mengirim pesan ke telepon saya. Segera saya berpura-pura menjadi istri saya dan menjawab pesan singkat itu dengan kalimat sesimpatik mungkin:

''Kau sehat? Berangkatlah ke Jakarta kalau kau pikir waktunya tepat. Berangkatlah dengan perasaan senang."

''Mungkin q brngkt hari minggu.''

''Bagaimana kalau hari Sabtu sehingga Minggu kau sudah ada di rumah?''

''Klo hari sabtu q tidak tau bisnya ada ato tidak.''

''Kalau begitu terserah q sajalah. Kalau q lebih senang berangkat hari Minggu, silakan q berangkat hari Minggu."

''Wkkkk... ;-p.''

Saya semakin mumet memikirkan seperti apa cerpen terbaik yang bisa mendorong tumbuhnya demokrasi. Harap diketahui, di rumah sendiri pun saya gagal mendorong demokratisasi. Pembantu saya itu -yang dengan enak bisa menggunakan kata ganti orang ''q'' untuk menyebut dirinya dan menyiratkan kesan sederajat dalam komunikasi melalui sms- sesungguhnya tetap lebih nyaman duduk nglesot di lantai. Maka, tidak ada jalan lain kecuali saya harus menerapkan demokrasi terpimpin. Tetapi itu pun tak jalan. Saya tetap tidak pernah bisa memaksanya duduk di kursi, dan ketika saya mengajaknya duduk makan bersama di meja makan, kelihatannya ia langsung panas dalam. (*)

*) A.S. Laksana, cerpenis, aslaksana@yahoo.com

0 comments:

Post a Comment