Thursday, August 12, 2010

A.S. Laksana, Jawa Pos [ Minggu, 31 Januari 2010 ]


Dari Temu Penulis Opini Jawa Pos

Penulis Tidak Lahir Seketika

SURABAYA - Aula Semanggi Lantai 5 Graha Pena cukup riuh kemarin (30/1). Seluruh penulis dan calon penulis opini Jawa Pos tumplek-blek. Disemangati KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) dan A.S. Laksana, mereka digiring untuk menjadi penulis opini andal. Diskusi pun berlangsung gayeng.

Selain dua pembicara tamu tersebut, diskusi menampilkan tiga redaktur opini Jawa Pos. Mereka adalah Akhmad Zaini (opini nasional), Sudjatmiko (opini Metropolis), dan Arief Santosa (rubrik budaya-buku).

Dua penulis kawakan tersebut bergantian memberikan materi. Gus Sholah terlihat telaten menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang dilemparkan peserta.

Dia mengungkapkan, untuk menjadi seorang penulis, diperlukan ketelatenan dan keuletan yang luar bisa. Orang yang saat ini dikenal sebagai penulis awalnya juga menghadapi rintangan yang tidak ringan. ''Hampir semua mengalami seperti itu.''

Keuletan, lanjut adik kandung Gus Dur itu, sangat diperlukan seorang penulis. Sebab, orang tersebut tidak akan mudah putus asa ketika tulisannya tidak dimuat. ''Jangan dikira semua tulisan yang saya kirim ke media dimuat. Banyak tulisan saya yang tidak dimuat. Apalagi ketika awal-awal dulu,'' ungkapnya.

Hampir sama dengan Gus Sholah, A.S. Laksana menyatakan, penulis sejati itu harus ulet. Harus berujar kepada diri sendiri untuk membuat karya yang lebih bagus dari hari ke hari.

Lantas, dia membuka lembar sejarah proses menulisnya. Laksana mengaku mulai menulis sejak duduk di bangku kelas IV SD. Namun, karyanya baru dimuat saat dirinya duduk di bangku kelas II SMA. ''Bayangkan, enam tahun baru dimuat,'' ujarnya.

Kreativitas, kata Laksana, akan terbentuk seiring dengan kualitas karya yang ditelurkan seorang penulis. ''Sulit kalau sekali menulis langsung bagus,'' tegas mantan wartawan Jawa Pos dan tabloid DeTik tersebut.

Sementara itu, Akhmad Zaini, redaktur opini Jawa Pos, menjelaskan, kriteria nomor wahid kelayakan opini di Jawa Pos adalah kualitas serta kompetensi penulis. Jadi, gelar profesor atau doktor tidak memengaruhi pertimbangan pemuatan.

Dia lalu menceritakan, ketika kasus Prita Mulyasari mencuat, Jawa Pos memuat tulisan seorang ibu rumah tangga dari Jakarta. Saat itu, yang dijadikan pertimbangan, selain cara menulisnya bagus, orang tersebut dianggap berkompeten untuk mengungkapkan persoalan seorang ibu yang harus berpisah dari anak-anaknya gara-gara disel. ''Namun, ya itu, ada juga yang protes. Tapi, enggak apa-apa. Kita anggap angin lalu saja,'' ujarnya.

Dia menambahkan, tulisan yang masuk ke e-mail opini setiap hari mencapai 50-75 tulisan. Karena itu, seleksinya sangat ketat.

Sebagai solusi, redaktur halaman Metropolis Sudjatmiko mengimbau supaya penulis juga memanfaatkan halaman opini di Metropolis. ''Hanya, temanya harus menyangkut persoalan Surabaya dan Jatim. Peluangnya lebih besar karena penulis yang mengirim tidak terlalu banyak,'' ungkapnya. (wan/zen)

0 comments:

Post a Comment