Thursday, August 12, 2010

A.S. Laksana, Jawa Pos, Minggu, 27 September 2009

 
Maafkan Mereka

Setelah memberi maaf pada diri sendiri, kini Anda siap bersalaman dengan setiap kenalan yang Anda jumpai di sepanjang bulan Syawal sembari mengatakan, ''Kosong-kosong ya.''

Oleh : A.S. Laksana

---

PEMUDA itu muncul di ruang sidang pada detik-detik terakhir sebelum nyawa Abu Dzar me­layang dalam eksekusi. Tubuhnya penuh debu; napasnya memburu. Ia telah berlari menempuh padang pasir yang panas dan jarak yang panjang untuk menepati janjinya. "Maafkan aku," katanya. "Aku telah membuat kalian semua khawatir. Terlalu banyak yang harus kukerjakan. Sekarang aku sudah siap."

Semua merasa lega. Abu Dzar, Anda tahu, adalah cahaya dan inspirasi bagi penduduk Ma­dinah. Ia sahabat Rasul dan selalu menjadi pembela kaum melarat dan ia harus menjalani hu­kuman mati jika pemuda itu tak datang.

Pemuda itulah yang sesungguhnya harus menjalani hukuman mati. Tiga hari sebelumnya, ia datang bersama dua pemuda kakak beradik menemui Khalifah Umar. "Ayah kami ia bunuh ketika sedang bekerja di ladang, Amirul Mukminin," kata salah seorang dari dua bersaudara itu. "Hukumlah dia sesuai Kitabullah."

Khalifah Umar menatap pemuda yang didakwa membunuh dan pemuda itu mengangguk.

''Adakah yang menyaksikan peristiwa itu?'' tanya Khalifah.

''Allah,'' sahut pemuda yang didakwa, ''dan Dia mengetahui bahwa perkataan mereka benar."

Pemuda itu tiba di Madinah pagi hari dengan niat berziarah ke makam Rasul. Di tepi kota, ia turun dari kudanya untuk mengambil air wudu. Kudanya ia biarkan beristirahat dan binatang itu mulai menggapai ranting-ranting pohon kurma dan memakan daun-daun yang menjulur melewati tembok. ''Ketika aku melihatnya, segera kutarik kuda itu menjauhi ranting-ranting tersebut,'' katanya.

Namun, pada saat itu seorang lelaki tua mendatanginya dengan berang. Ia membawa batu besar dan segera melemparkan batu besar itu ke kepala kuda. Binatang itu mati seketika. Si pemuda sangat menyayangi kudanya dan tiba-tiba ia tak bisa mengendalikan diri melihat bi­natang kesayangannya mati. Saat itu juga ia mengangkat batu yang telah digunakan untuk me­numbuk kepala kudanya dan dengan batu itu ia hantam kepala si lelaki tua. Lelaki tua itu roboh dan langsung meninggal.

''Aku bisa saja melarikan diri, Tuanku,'' kata pemuda itu kepada khalifah. ''Tapi lari ke mana? Jika aku tidak mendapatkan hukuman di sini, pasti aku akan mendapatkannya di akhirat nanti, hukuman abadi. Aku tidak bermaksud membunuh orang tua itu, tetapi nyatanya ia mati di tanganku. Kini Tuanlah yang berhak mengadili aku.''

''Kau melakukan pembunuhan,'' kata Khalifah Umar. ''Menurut hukum Islam, kau harus di­hukum setimpal dengan apa yang telah kaulakukan."

''Lakukanlah kalau demikian,'' kata pemuda itu. ''Namun, beri aku waktu tiga hari untuk mem­bereskan urusan-urusanku.''

Di desanya, pemuda itu memikul tanggung jawab menjaga harta anak yatim yang dititipkan ke­padanya dan ia harus menyerahkannya ketika anak itu sudah cukup umur. Maka, ia mengubur harta anak yatim itu di dalam tanah dan tak ada satu orang pun di desa yang tahu di mana ia pendam harta itu. ''Kalau aku mati hari ini, anak yatim itu akan kehilangan hartanya,'' katanya. ''Karena itu, aku harus menggalinya dan menyerahkan pengawasan harta itu kepada orang lain. Izinkan aku pulang ke desaku untuk menyelesaikan urusan ini."

''Permintaanmu tak dapat dipenuhi kecuali ada orang yang bersedia menjadi jaminan untuk nyawamu," kata khalifah.

''Amirul Mukminin,'' ucap si pemuda, ''aku bisa melarikan diri sebelumnya jika aku mau. Tapi, aku takut kepada Allah. Yakinlah bahwa aku pasti kembali."

Khalifah menolak permintaan itu atas dasar hukum. Pemuda tersebut memandang para pengikut Rasulullah yang saat itu sedang duduk di sekeliling khalifah. ''Dia menjadi jaminan ba­giku,'' katanya. Ia menunjuk Abu Dzar Al-Ghifari. Orang yang ditunjuk menyetujui permintaan itu dan si pemuda diizinkan pulang ke desanya.

Pada hari ketiga, kedua penggugat kembali menemui khalifah. Abu Dzar ada di sana, tetapi pe­muda itu tidak tampak di ruang sidang. ''Wahai, Abu Dzar," kata salah seorang penggugat, ''se­andainya dia tidak kembali, kami tidak akan meninggalkan sidang ini tanpa menerima peng­ganti darah ayah kami."

Khalifah membenarkan, ''Sungguh, jika pemuda itu tidak kembali, kita harus melaksanakan hukuman itu kepada Abu Dzar."

Semua orang gelisah hari itu dan sebagian menangis karena Abu Dzar harus mati sebagai peng­ganti. Tetapi, begitulah, si pemuda datang menepati janji kematiannya. Kepada orang-orang yang berkerumun di persidangan, ia berseru, ''Orang yang beriman selalu menepati kata-katanya. Apakah Saudara-saudara semua berpikir aku akan menghilang dan membuat orang-orang berkata bahwa orang Islam tidak lagi menepati ucapannya sendiri?"

Orang-orang yang mendengar seruan pemuda itu berpaling kepada Abu Dzar dan menanyakan apakah ia sudah mengenal pemuda itu sebelumnya. ''Tidak!'' kata Abu Dzar. ''Tetapi, demi asas kemuliaan, aku tidak mampu menolak permintaannya. Haruskah aku menjadi orang yang membuat rakyat berkata bahwa tidak ada lagi perasaan haru dan kasih sayang yang tersisa dalam Islam?''

Hati dua pemuda yang menuntut balas itu menjadi tersentuh. Mereka lalu menarik tuntutan mereka dan mengatakan, ''Apakah kami harus menjadi orang-orang yang membuat rakyat berkata bahwa tiada lagi belas kasih dan maaf di dalam Islam?"

Kisah itu berakhir di sana dengan sebuah happy ending.

Selanjutnya adalah kisah Anda. Jika Anda harus berbelas kasih dan memberi maaf di hari Lebaran, saya yakin Anda tahu betul siapa dalam kehidupan Anda yang paling harus Anda maafkan. Menurut buku-buku panduan menjadi kaya raya, jika hidup Anda runyam dan terlunta-lunta dan masa depan Anda gelap gulita, itu berarti Anda sendirilah yang telah mem­buat diri Anda seperti itu. Jadi, pertama-tama Anda harus memaafkan diri sendiri sebagai pengundang kerunyaman.

Setelah memberi maaf pada diri sendiri, kini Anda siap bersalaman dengan setiap kenalan yang Anda jumpai di sepanjang bulan Syawal sembari mengatakan, ''Kosong-kosong ya.'' Mudah sekali. Atau Anda sekadar mengirimkan syair permohonan maaf, yang bisa betul-betul mengundang keharuan dan patut dimaafkan, melalui SMS. Itu juga mudah sekali.

Yang agak tidak mudah justru memaafkan orang-orang yang kategorinya betul-betul meng­hendaki belas kasih Anda. Misalnya, caleg yang pernah mengaspal jalanan di kampung Anda pada masa kampanye dan mencangkulinya lagi ketika ia gagal dalam pemilu. Atau mereka yang mengangkuti kembali bangku-bangku yang mereka sumbangkan di sekolah karena mereka sendiri gagal mendapatkan kursi. Atau mereka yang mencabut kembali tiang gawang yang sudah mereka pasang di lapangan.

Ada banyak perilaku menyedihkan yang harus Anda maafkan pada mereka yang gagal. Namun, pada yang berhasil dalam pemilu pun, baik legislatif maupun eksekutif, Anda tetap ha­rus memiliki cadangan belas kasih. Mungkin banyak di antara mereka -yang Anda pilih sebagai pemimpin dan yang Anda pilih sebagai wakil- nantinya akan menunjukkan perilaku mem­bosankan dan cenderung ingkar janji. Saran saya, maafkan mereka yang ingkar dan membosankan itu, tetapi harap Anda ingat betul nama-nama mereka. Sebab, beberapa tahun mendatang, mereka akan meminta dukungan Anda lagi. ***

*) A.S. Laksana, cerpenis; aslaksana@yahoo.com

0 comments:

Post a Comment