Thursday, August 12, 2010

A.S. Laksana, Jawa Pos, Minggu, 18 April 2010


Lima Keunikan Negeri Tercinta

SEPERTI lalat yang terpukau pada seonggok kotoran, saya selalu terpukau pada negeri ini.

Anda tahu, negeri ini selalu punya hasrat memproduksi keunikan dan gemar sekali menegaskan bahwa dirinya punya keluhuran yang berbeda dibandingkan dengan negeri-negeri lain mana pun di seantero Bima Sakti. Dalam kesempatan ini saya hanya sempat mencatat lima keunikan, dan karena itu Anda punya kemungkinan sebebas-bebasnya untuk menambahkan keunikan versi Anda sendiri.

Untuk mengapresiasi Kongres Sepakbola Nasional yang belum lama ini digelar di Malang, saya akan menempatkan PSSI pada posisi pertama pemegang keunikan. Organisasi ini, yang oleh pendirinya Suratin pernah dimaksudkan sebagai alat perjuangan untuk menegaskan keberadaan Indonesia di hadapan penjajah Belanda, sekarang menampilkan diri bahwa ia bisa saja dipimpin dari sel penjara oleh seorang terpidana korupsi. Ancaman FIFA untuk membekukan keanggotaan PSSI, karena organisasi ini dipimpin oleh seorang napi, tidak mempan dan organisasi persepakbolaan dunia itu bahkan akhirnya mengalah dengan tetap mengakui kepemimpinan Nurdin Halid.

Keunikan kedua versi saya muncul sebagai produk samping dari kegemaran bangsa ini, terutama pada periode pemerintahan Orde Baru, untuk menampik apa saja dari luar. Keunikan tersebut menemukan bentuknya yang pada suatu ketika pernah begitu dibanggakan, yakni Demokrasi Pancasila. Dan apa itu Demokrasi Pancasila? Ia adalah sebuah sistem demokrasi yang bukan ini bukan itu. Ia bukan demokrasi liberal, bukan komunis, dan mungkin juga bukan demokrasi sama sekali, dan bahkan bukan Pancasila.

Tentu saya bisa percaya bahwa apa yang berasal dari luar tidak selalu cocok buat kita. Rezim Orde Baru sering menegaskan itu, namun ia enggan mengakui bahwa sesungguhnya apa yang dari dalam pun tidak semuanya luhur dan cocok buat kita. Misalnya, frasa ajaib yang bunyinya ''ngono yo ngono ning ojo ngono''. Frasa itu saya sebut sebagai keunikan ketiga. Ia adalah sebuah frasa dari bahasa Jawa.

Bagi orang-orang bukan Jawa, saya ingin menerjemahkan frasa itu ke dalam bahasa Indonesia agar mereka bisa agak mudah memahaminya. Jadi, dalam bahasa Indonesia, ia bisa diterjemahkan sebagai berikut: ''Begitu ya begitu tapi jangan begitu.'' Dan mari kita sedikit membicarakannya agar terasa betul bagaimana keunikan frasa itu.

Karena kata ''ngono'' atau ''begitu'' bisa bermakna apa saja, maka kita bisa mencoba menggantikannya dengan kata apa saja dengan harapan bisa mendapatkan pengertian yang lebih jelas. Misalnya kata ''begitu'' kita gantikan dengan kata benda abstrak ''demokrasi'', maka kita akan mendapatkan frasa ''demokrasi ya demokrasi tapi jangan demokrasi''. Atau kita ganti kata itu dengan kata kerja ''mengembik'', maka frasa itu akan berbunyi ''mengembik ya mengembik tapi jangan mengembik''. Atau kita ganti dengan kata benda konkret ''singkong'', maka kita akan mendapatkan frasa ''singkong ya singkong tapi jangan singkong''. Atau diganti profesi orang, misalnya ''presiden'', maka kita akan mendapatkan frasa ''presiden ya presiden tapi jangan presiden''.

Keunikan keempat dilahirkan oleh keyakinan bahwa di negeri ini nilai-nilai ketimuran dijunjung tinggi. Ia tidak melulu mendewakan rasio atau logika, tetapi juga menjunjung tinggi rasa, mungkin intuisi atau segala hal yang tidak melulu bisa dipertimbangkan dengan akal. Masyarakat seperti ini diyakini memiliki keunggulan dalam karya seni, tetapi karena negeri ini unik, hal itu tidak benar-benar berlaku bagi kita. Dalam film dan karya sastra, misalnya, kita biasa-biasa saja. Film kita bahkan semakin remuk. Karya sastra tidak pernah sampai pada puncak pencapaian tertinggi yang dianggap layak mendapatkan pengakuan internasional, misalnya, hadiah nobel sastra.

Menurut saya, kesenian yang berkembang baik di sini adalah seni korupsi dan keterampilan makelaran. Karena itu, seni korupsi dan makelaran saya tetapkan sebagai keunikan keempat. Unik karena keduanya tidak melibatkan logika dan tidak melibatkan rasa, dan bahkan tidak melibatkan insting. Anda tahu, hukum rimba adalah sesuatu yang berkembang dalam masyarakat binatang yang mempertahankan diri dengan insting. Dan binatang, sebuas apa pun, tidak memangsa melebihi kebutuhan perutnya. Seni korupsi tidak begitu: ia melampaui akal, intuisi, dan insting.

Serupa dengan itu, seni mengadili pelaku korupsi berlangsung demikian. Bagaimana Anda bisa menerapkan akal waras ketika seorang janda yang mengumpulkan randu senilai dua puluh ribu rupiah sisa panenan sebuah perusahaan, kemudian dituduh melakukan pencurian dan diancam hukuman tujuh tahun, sementara pelaku korupsi miliaran hanya mendapatkan ancaman lima tahun?

Karena korupsi dan penanganannya adalah kasus unik di negeri ini, saya sampai sekarang masih menyimpan niat untuk membuat buku Apa dan Siapa: Koruptor Indonesia. Saya bayangkan buku itu akan menjadi semacam ensiklopedia para koruptor; ia bisa digunakan sebagai buku referensi, atau bisa sekadar alat untuk mempertahankan ingatan kita tentang nama-nama. Saya yakin buku tentang koruptor dan riwayat singkat korupsi mereka itu bisa menjadi buku yang lumayan tebal, sebab koruptor di negeri ini sama belaka dengan pahlawan. Maksud saya, heroisme yang terkandung dalam pepatah ''gugur satu tumbuh seribu'', yang semula dialamatkan kepada pahlawan, sekarang menemukan kebenarannya yang nyaris harfiah ketika kita alamatkan kepada para pelaku korupsi. Begitulah koruptor kita, gugur satu tumbuh seribu.

Keunikan kelima, saya dapatkan pada papan-papan peringatan di tempat umum. Ketika saya berjalan-jalan dengan anak-anak saya di lapangan Monas, sebuah tempat rekreasi murah dan karena itu siapa saja bisa berkunjung ke sana, saya menemukan di beberapa tempat ada papan besar yang mengingatkan bahwa jika Anda berjualan, parkir, atau membuang sampah di sembarang tempat, Anda akan dikenai hukuman kurungan enam bulan atau denda Rp 30 juta. Rasa-rasanya itu peringatan yang terlalu ambisius dan tidak pernah bisa dijalankan sama sekali.

Saya tidak bicara tentang orang yang membuang kulit kacang di lapangan Monas, misalnya, lalu ia didatangi yang mendendanya Rp 30 juta. Itu nyaris tidak masuk akal. Saya juga tidak bicara tentang orang-orang yang membuang puntung rokok di sembarang tempat dan kemudian didenda Rp 30 juta. Lebih penting dari itu, siapa yang bisa mendenda Rp 30 juta ketika para politisi setiap hari membuang sampah dari mulut mereka? Tidak ada yang sanggup melakukannya.

Jadi, papan peringatan yang dipampangkan besar-besar itu adalah sesuatu yang sangat mubazir. Atau sesungguhnya itu keunikan keenam? Yakni bahwa bangsa ini menggemari kemubaziran.

Di luar semua produksi keunikan itu, untungnya (atau celakanya?) bangsa ini tetap bisa juga mengikuti apa yang berlaku universal. Ini berlaku dalam urusan kepemimpinan, dan di situ bangsa ini tidak unik sama sekali dan ia masih bisa mengikuti ''hukum'' keniscayaan. Anda mungkin akrab dengan bunyi ''hukum'' tersebut, yakni bahwa sebuah masyarakat niscaya akan mendapatkan pemimpin yang cocok dengan karakter masyarakat itu sendiri. Dan kita memang sudah mendapatkan pemimpin semacam itu dari tingkatan terendah di desa-desa hingga ke pucuk kepemimpinan tertinggi negara. Semuanya cocok dengan karakter bangsa ini. Dan, bahkan PSSI juga mendapatkan pemimpin yang cocok dalam diri Nurdin Halid.

Yah, ketika muncul nama Nurdin Halid dan kepengurusannya di PSSI selama dua periode (dan tentu saja nama-nama koruptor yang lain), di benak saya muncul lagi gambaran tentang buku Apa dan Siapa: Koruptor Indonesia. Mengenai buku itu, seorang teman memberi saya dorongan, ''Saya kira itu buku yang harus diterbitkan. Kau tahu, di negara-negara lain koruptor ada yang diganjar hukuman mati, di sini koruptor dihukum sangat ringan. Buku semacam itu, jika benar-benar ada, akan menjadi ''hukuman'' seumur hidup bagi para koruptor. Nama mereka akan terus ada di buku sampai kapan pun, dan orang-orang bisa membacanya dari generasi ke generasi, asal buku itu tidak dilarang. Kalau ada koruptor yang memborongnya, kau punya modal untuk mencetak ulang.''

Atau Anda berniat membikinnya? Mungkin jumlah koruptor di Indonesia, yang tercatat di buku Anda, akan menjadi keunikan berikutnya. Dan ia bisa masuk rekor dunia. (*)

*) A.S. Laksana, cerpenis, beralamat di aslaksana@yahoo.com

0 comments:

Post a Comment