Thursday, August 12, 2010

A.S. Laksana, Jawa Pos [ Minggu, 07 Februari 2010 ]


Berpikir Jernih dalam Situasi Remang-Remang

SAYA berangkat ke Surabaya Jumat pekan lalu dengan dengkul cedera dan pikiran risau. Jawa Pos meminta saya bicara hari Sabtu pagi dalam forum temu penulis opini dan, sejak menerima undangan, saya sudah beberapa hari gelisah memikirkan apa hal terbaik yang bisa saya sampaikan kepada para peserta forum. Kegelisahan saya bertambah lagi ketika memikirkan apa pesan yang nantinya bisa diingat oleh para undangan setelah acara selesai dan masing-masing dari kami pulang ke rumah.

Kerisauan semacam ini benar-benar membuat saya tidak bisa menikmati perjalanan, tetapi sekaligus membuat saya lupa bahwa dengkul saya sebenarnya sangat nyeri ketika itu. Cedera tersebut saya dapatkan sehari sebelum saya berangkat ke Surabaya dari Jakarta dan karena itu saya harus menopang diri dengan kruk. Akhirnya, dengan tetap risau, saya menyelesaikan acara hari Sabtu itu --yang terasa pendek karena berlangsung menyenangkan. Dan saya hanya bisa menyampaikan pesan bahwa menulis adalah latihan paling tepat untuk mengasah pikiran.

Di hari Minggu keesokan paginya Lan Fang, kawan baik saya dan penulis yang sangat produktif, mengirimkan pesan singkat. Bunyinya: ''Aku melihat fotomu dengan kruk di Jawa Pos hari ini.'' Saya menjawab: ''Apakah terlihat mengharukan dan penyakitan?'' Dia membalas: ''Tidak. Kau terlihat berwibawa dan karismatis.''

Saya harus berterima kasih kepada kawan saya itu. Dengkul saya rasanya akan cepat sembuh begitu membaca pesan singkatnya.

Tentang menulis sebagai latihan paling tepat untuk mengasah pikiran, saya kira ini hal yang tidak banyak diurus oleh kurikulum pendidikan kita. Saya menduga karena para pembuat kebijakan di bidang pendidikan masih belum melihat perlunya memberikan keterampilan menulis kepada para siswa sekolah. Padahal, Anda tahu, ketika Anda menulis maka pada saat itu Anda mengerahkan seluruh kerja pikiran: mengingat, berlogika, menganalisis, menerapkan pengetahuan yang telah Anda pelajari, menyusun alasan, dan sebagainya.

Ketika menulis Anda menuntut diri Anda menggunakan bahasa dengan baik. Dan, bukankah kita menyampaikan isi pikiran dengan bahasa, dengan kata-kata? Agaknya dari sanalah muncul pepatah yang menyatakan bahwa kata lebih tajam dari pedang. Dan itu merupakan pengakuan bahwa ketajaman pedang tak akan pernah bisa mengalahkan ketajaman pikiran. Maka, saya selalu senang mengingatkan: menulislah agar pikiran Anda (sesuatu yang lebih tajam dari pedang) bisa menjadi kian tajam.

Anda bisa mengasah ketajaman pikiran dengan menuliskan tema apa saja yang Anda sukai. Jika Anda menyukai tema-tema politik, Anda beruntung karena setiap hari tersedia bahan berlimpah ruah untuk Anda bedah. Misalnya, apa kira-kira keputusan Pansus Century? Benarkah keputusannya akan baik-baik saja setelah kasus ini merongrong pikiran dan menguras perhatian publik sekian lama? Kompromi apa yang akan terjadi antara Presiden SBY dan Pansus Century dan partai-partai pendukung koalisi? Apakah Aburizal Bakrie akan rela Sri Mulyani tetap menjadi menteri keuangan setelah perseteruan di antara mereka dibuka oleh media massa?

Jadi, apakah Anda menduga Sri Mulyani akan dikorbankan? Saya kira itu sangat memungkinkan mengingat Sri Mulyani adalah sosok yang paling aman secara politis untuk dijadikan korban. Ia bukan politisi partai mana pun, karena itu tak akan ada guncangan politik jika ia diturunkan. Bukankah tema ini cukup menarik sebagai latihan berpikir dan berspekulasi?

Jika Anda menyukai tema-tema korupsi, Anda juga tak akan pernah kehabisan materi latihan mengasah pikiran --contoh kasusnya bertebaran di negeri ini. Ketika banyak kasus korupsi belum ketahuan akan berakhir seperti apa, belakangan kita disuguhi lagi berita tentang bekas Menteri Sosial Bachtiar Chamzah yang dijadikan tersangka oleh KPK karena negara dirugikan Rp 27,8 miliar dalam pengadaan mesin jahit dan impor sapi fiktif. Modusnya mudah ditebak: penunjukan langsung dan penggelembungan nilai proyek.

Dalam kasus ini Bachtiar menyebut-nyebut nama Amrun Daulay, bekas Sekjen Bantuan dan Jaminan Sosial Depsos, sebagai orang yang mengusulkan proyek tersebut dan bekerja sama dengan rekanan yang ditunjuk langsung. Sekarang si Amrun menjadi wakil rakyat dari Fraksi Demokrat dan Anda boleh percaya boleh tidak apakah dia benar-benar mewakili rakyat. Dalam pemeriksaan itu, Bachtiar menyatakan bahwa tak ada keterlibatan Sigid Haryo Wibisono, mantan staf ahlinya, dalam urusan ini. ''Sigid hanya mengurus masalah konflik di Aceh,'' kata Bachtiar.

Lihatlah, urusan sapi dan mesin jahit pun bisa berkelok-kelok dan mungkin bisa menguak praktik-praktik politik yang tak terduga. Ada politisi Demokrat di sana. Ada Sigid Haryo Wibisono, salah seorang terdakwa dalam sidang pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen, yang baru kita ketahui bahwa ternyata dia adalah staf ahli menteri sosial. Dan apakah kira-kira urusan orang ini dalam konflik Aceh? Apakah dia memang ahli konflik, yang bekerja dengan caranya sendiri, dalam berbagai perseteruan? Dia ada dalam kasus Antasari vs Nasruddin; dia juga ada dalam pusaran konflik di tubuh PKB? Kenapa orang ini seperti ada di mana-mana?

Dan ada berapa banyak orang seperti Sigid di republik ini? Saya akan berterima kasih seandainya Biro Pusat Statistik bisa memberikan angkanya. Tetapi saya tahu itu pengandaian yang muskil, sebab BPS tentu saja tidak melakukan pendataan untuk mencari tahu berapa jumlah orang seperti Sigid di negara ini.

Jika Anda punya kepedulian terhadap nasib orang-orang jelata, materi untuk mengasah pikiran juga berlimpah ruah. Anda bisa melihatnya dari sudut pandang kegagalan negara dalam menjalankan amanah konstitusi untuk memelihara orang miskin dan anak telantar. Ini klise?

Kalau begitu coba Anda melihat bagaimana orang-orang melarat menyelamatkan perekonomian di saat para pengusaha kakap dan pejabat publik yang korup tak henti-henti merongsong keuangan dan perekonomian negara. Pemerintah, Anda tahu, senang membuat klaim tentang pertumbuhan ekonomi tanpa mau berterima kasih bahwa itu semua berkat orang-orang melarat yang bergerak di sektor informal, yang nyaris tanpa campur tangan pemerintah sama sekali.

Anda tahu, setiap orang harus melakukan apa saja untuk mempertahankan hidup. Pasar kaget ada di mana-mana dan pedagang kaki lima tumbuh subur. Mereka harus berkeliling menggelar dagangan mereka --apa saja yang bisa mereka dagangkan. Jadi, saya yakin bahwa negara ini tak akan hancur karena rakyatnya cukup punya daya tahan. Yang saya sesali: sekiranya pemerintahan berfungsi beres, tentu amat mudah bagi kita untuk mencapai kesejahteraan yang berlipat-lipat dibanding sekarang.

Selanjutnya, jika Anda berminat pada tema-tema bahasa, saya kira ada satu hal yang sangat menarik untuk dikaji, yakni bahasa para pejabat publik dan politisi kita. Mereka sungguh penyebar polusi tingkat tinggi dalam bahasa dan pikiran kita. Saya yakin, sebagaimana manuver politik mereka yang bersilang susup di bawah permukaan, bahasa para politisi dan pejabat publik kita pun mewakili keremang-remangan yang coba disembunyikan rapat-rapat.

Anda akan mendapatkan bahan yang tak habis-habisnya jika punya kesediaan untuk membedah bahasa mereka. Saya sangat yakin bahwa struktur permukaan bahasa mereka hanyalah puncak gunung es yang menyembunyikan banyak hal besar di bawah permukaan. Saran saya, galilah apa yang terpendam di bawah permukaan. (*)

*) A.S. Laksana , beralamat di aslaksana@yahoo.com

0 comments:

Post a Comment