Thursday, August 12, 2010

A.S. Laksana, Jawa Pos, Minggu, 02 Mei 2010


Kumis Bersaudara dan Politik yang Runyam


KARENA telanjur memamah klise bahwa politik adalah dunia kotor, maka saya menerima pernyataan tersebut dengan ketaatan orang saleh yang mempercayai takdir. Saya merasa tidak perlu mempertanyakan apa pun: misalnya, kalau memang kotor, apakah keadaannya sekotor isi kepala para politisi yang silang susup di dalamnya? (Pertanyaan ini diajukan dengan prasangka baik bahwa kepala mereka memang ada isinya.) Atau apakah itu dunia yang sama kotornya dengan manuver orang-orang yang mabuk kekuasaan, atau gila kekuasaan, atau sadar kekuasaan --mana dari ketiga istilah itu yang lebih tepat dengan kondisi negeri kita?

Tetapi saya tiba-tiba juga merasa perlu meragukan bahwa jangan-jangan pernyataan itu, yang semula adalah cemooh, sekarang justru menjadi tameng bagi para politisi untuk membenarkan tabiat apa pun yang mereka pertontonkan. Jadi, jika ada politisi yang kesandung-sandung korupsi, padahal ia dari partai yang gemar berdakwah, itu akan dianggap wajar terjadi karena dunia politik memang kotor. Demikian pula jika ada politisi dari partai tidak gemar berdakwah yang melakukan pelecehan seksual di ruang kerjanya, itu wajar juga karena dunia politik memang kotor.

Karena ruwet dengan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab di negeri sendiri, saya ''melarikan diri'' ke hikayat politik negara-negara lain, siapa tahu bisa menemukan yang lebih kotor dari praktik politik di negeri kita, syukur-syukur banyak, setidaknya itu akan membuat saya bisa menenteramkan diri sendiri: Lihatlah, masih ada negara-negara lain yang lebih kotor dari kita. Jadi kita ini relatif bersih, dong.

Tapi dalam hal apa kita bisa membanggakan diri ''relatif bersih''? Survei PERC menyebutkan bahwa dalam daftar 16 negara Asia yang menjadi tujuan investasi, Indonesia adalah negara paling korup. Peringkat ke-15 Thailand. Singapura negara terbersih, dan bagaimanapun saya merasa tidak rela. Nama negeri mungil ini sering sekali muncul dalam berita-berita yang berkaitan dengan korupsi di Indonesia. Para koruptor lari ke sana. Para pengusaha nakal melarikan uangnya ke sana. Ketika koruptor perlu berpura-pura sakit, mereka ke Singapura. Rasa-rasanya negeri ini sangat ramah kepada para koruptor dari negeri kita. Tetapi ketidakrelaan saya itu tentu tidak ada relevansinya dengan survei PERC; itu hanya ekspresi emosional semata.

Sekarang, karena susah membanggakan reputasi dalam soal korupsi, saya akhirnya mencari pembanding sekenanya dan pilihan saya jatuh pada negeri Myanmar. Negeri ini diperintah oleh junta militer yang benar-benar ndableg, tetapi untunglah tampaknya tidak banyak pihak asing yang punya kepentingan ekonomi di sini, sehingga junta militer bisa terus tegak dengan tabiat ndableg-nya. Di negeri ini, Anda tahu, pernah ada masa ketika orang-orang tak banyak lagi tertawa, sebab para pelawaknya sudah enggan membanyol. Itu adalah reaksi atas pemenjaraan dua pelawak dari kelompok Kumis Bersaudara pada tahun 1996.

Suatu hari, di salah satu pementasan, mereka membuat lelucon politik. Karena itu mereka dituduh, ''menyebarkan berita bohong!'' dan harus meringkuk di sel penjara selama tujuh tahun. Setelah dibebaskan, mereka kini menggelar pementasan ''bawah tanah'' di rumah mereka, di depan sedikit penonton yang biasanya adalah wisatawan.

Di negeri ini, Anda tahu, politik adalah wilayah yang runyam dan bisa sangat berbahaya, sebab hal yang paling keji bisa terjadi di sana: pembunuhan. Tetapi mungkin bukan hanya di Myanmar. Dan, jika kita bicara pembunuhan di dunia politik, Anda akan melihat bahwa sesungguhnya tak ada politik, di negara mana pun, yang bebas dari pembunuhan. Sejarah dunia, Anda tahu, dibangun oleh kehidupan luar biasa dan juga kematian-kematian tak terduga.

Sejarah Eropa pun kuyup dengan pembunuhan politis, mulai dari pembunuhan ''sang tiran'' Julius Caesar di tahun 44 SM sampai penembakan Pangeran Franz Ferdinand dari Kerajaan Austro-Hungaria di tahun 1914. Presiden-presiden AS yang kharismatik, Abraham Lincoln dan John F. Kennedy, juga mati dibunuh. Pemimpin-pemimpin moderat pun sering menjadi korban kemarahan rakyat mereka sendiri yang memandang mereka telah mengkhianati prinsip. Ingatlah Mahatma Gandhi. Kematiannya yang terlalu cepat tidak dirancang oleh lawan-lawan politiknya atau oleh kaum ekstremis non-Hindu. Pembunuhan itu dilakukan sendiri oleh seorang Hindu fanatik yang menganggap bahwa Gandhi terlalu memihak orang Islam.

Tentang Myanmar, kita akan melihat mata rantai bunuh-membunuh yang agak mirip dengan sejarah Ken Arok dan Kerajaan Singasari. Dalam sejarah Myanmar Kuno, pembunuhan raja adalah hal yang umum. Kosa kata Burma ''loke-kyan'', yang berarti ''berkomplot'' atau ''membunuh'', dipakai terutama untuk melukiskan pembunuhan terhadap seorang raja. Sebut misalnya, di masa awal Dinasti Pagan (1044-1287), Raja Anawrahta meraih tahta di tahun 1044 setelah membunuh saudara angkatnya, Sokka-te. Konon Anawrahta menantang saudaranya, Sokka-te, untuk bertarung satu lawan satu dan menombaknya. Sejarawan kuno Burma, U Kala, dalam kitab Mahayazawingyi (Riwayat Raja-Raja Besar), setelah melukiskan pertarungan satu lawan satu yang tidak disaksikan oleh satu orang pun, menambahkan bahwa ''Anawrahta sulit tidur selama enam bulan karena menyesal telah membunuh saudaranya.''

Dari apa yang dilakukan oleh Anawrahta, lahirlah sebuah preseden bagi seluruh pembunuhan politis berikutnya dalam budaya politik Burma. Raja keempat Dinasti Pagan, si gaek Alaungsithu (1112-67), dibunuh oleh anaknya sendiri. Narathu, sang pembunuh bapak, hanya tiga tahun memerintah dan kemudian juga mati dibunuh di tahun 1170. Bahkan, di saat Dinasti Pagan hancur oleh invasi tentara Tartar, Raja Narathihapate (memerintah tahun 1254-1257), yang lari dari kejaran pasukan Tartar, dipaksa meminum racun oleh anaknya sendiri, Thihathu, di tahun 1287.

Hal seperti itu terus dilanjutkan oleh oleh aktor-aktor baru. Dalam sejarah mutakhirnya, Myanmar memiliki seorang pemimpin bernama U Saw, seseorang yang merindukan hal-hal yang anakhronistik dan memiliki hasrat kuat untuk kembali ke masa silam. Di tahun 1940, ia menduduki posisi nomor satu dengan cara yang lazim ditempuh oleh raja-raja kuno. Setelah memenangi pertarungan, ia mengerangkeng semua lawan politiknya, yakni Dr Ba Maw, U Ba Win, dan U Ba Thi. Ia melakukan hal yang sama terhadap mentornya sendiri, U Ba Pe. Dan ia juga menggelar lagi upacara pembajakan sawah sebagaimana yang dilakukan oleh raja-raja zaman dulu.

Setahun menduduki posisi puncak, U Saw tertangkap oleh tentara Inggris pada Perang Dunia II di Uganda saat mencoba menjalin kontak dengan Jepang, 1941. Jenderal U Aung San, ayah Aung San Suu Kyii, memimpin revolusi militer dan menggantikan posisinya. Setelah dibebaskan, seusai Perang Dunia, U Saw tidak percaya melihat kenyataan bahwa U Aung San, empat belas tahun lebih muda darinya, duduk menggantikan posisinya. Ia kemudian membunuh Aung San dan sekaligus menyingkirkan orang-orang yang ikut membantunya naik lagi.

Kini, negeri itu dikuasai oleh junta militer yang marah terhadap para demonstran dan pelawak. Dan ketika pelawak berhenti membanyol, orang-orang membuat sendiri lelucon mereka. Inilah salah satunya:

Inggris: Ada warga kami yang tidak punya kaki bisa menaklukkan puncak Everest.

Amerika tidak mau kalah: Penduduk kami menyeberangi Samudera Atlantik dengan tangan.

Myanmar: Ah, itu belum seberapa. Negara kami 22 tahun diperintah oleh sekelompok orang yang tak berkepala.

(Indonesia: Ah, itu juga belum seberapa....)

Silakan, Anda masing-masing mempunyai lanjutannya sendiri. Atau mungkin kita memerlukan para pelawak Myanmar untuk membuatkan lelucon tentang negeri kita? Terus terang, saya jemu pada banyolan para pelawak kita. Lawakan pelawak Myanmar mungkin lebih menarik. Lagipula materi lawakan mereka, tentang korupsi dan politik yang runyam tak terlalu asing bagi kita. (*)

*) A.S. Laksana, bertempat tinggal di aslaksana@yahoo.com

0 comments:

Post a Comment