Thursday, August 12, 2010

A.S. Laksana, Jawa Pos, [ Minggu, 01 November 2009 ]


Kesia-siaan
Oleh : A.S. Laksana

Satu pertanyaan: apa yang sesungguhnya tengah mereka sampaikan kepada kita? Atau, dalam rumusan yang lain, apa yang bisa kita baca dari setiap ''ayat'' yang dibentangkan di depan batang hidung kita?

Saya kira kita akan mendapatkan dua model jawaban untuk pertanyaan di atas. Dalam cara membaca yang gelagapan, misalnya, yang dikuasai oleh pikiran gelap dan perasaan putus asa, kita akan melihat bahwa segala sesuatunya sungguh mencemaskan. Hidung kita akan terus-menerus mencium bau bangkai, yakni sesuatu yang busuk dan menjijikkan, yang pada akhirnya akan kentara juga sekalipun ada upaya untuk menyelimutinya rapat-rapat. Dalam cara pandang yang gelap semacam ini, kita akan dengan cepat meyakini bahwa putusan hukum adalah produk konspirasi, hasil kerja sebuah komplotan. Cara berpikir seperti itu akan membuat kita seperti memikul kutukan sepanjang hayat dan putus asa mencari keadilan.

Sebaliknya, dalam cara membaca yang lebih terang, kita akan menarik kesimpulan yang lebih optimistis, yakni bahwa negeri ini tak pernah kehabisan stok orang-orang pemberani. Lihatlah, mereka dengan enteng dan penuh nyali melibat-libatkan nama SBY, presiden yang mendapatkan mandat langsung dari rakyat, dalam petualangan mereka untuk menelan cicak dan menjegal upaya penegakan hukum.

Saya tidak tahu apakah penyebutan nama SBY dalam pembicaraan yang direkam diam-diam antara Anggodo Widjojo dan ''Yang''-nya bisa dimasukkan dalam kategori pencatutan nama. Anda bisa menguji sendiri hal itu -transkrip rekaman pembicaraan itu kini sudah beredar luas- dan menyimpulkan sendiri apakah itu termasuk pencatutan atau bukan. Atau sekadar percakapan antara dua orang ''anggota komplotan'' untuk saling berbagi kabar gembira mengenai perkembangan terakhir manuver mereka. Simak potongan transkrip berikut antara Anggodo (A) dan seorang wanita (W):

W: Pokoknya harus ngomong apa adanya. Kalau tidak begitu, kita yang mati. Soalnya sekarang dapat dukungan SBY. Ngerti, ga?

A: Siapa?

W: Kita semua. Pak Ritonga. Pokoknya didukung. Jadi KPK nanti ditutup. Ngerti ga?

---

Entah apakah percakapan semacam ini akan menggerogoti mandat yang diberikan kepada SBY, tetapi saya kira ini penting untuk diperjelas. Sebab, penyebutan nama SBY dalam percakapan itu, sebanyak tiga kali dalam keseluruhan transkrip, menurut saya, lebih terasa sebagai semacam pemberian dorongan, atau sebuah upaya membesarkan hati dari seorang anggota komplotan kepada koleganya.

Dalam pemahaman saya, pencatutan nama seseorang biasanya digunakan untuk menggertak pihak lain, atau menakut-nakuti, demi mendapatkan hak istimewa dalam urusan tertentu. Saya, misalnya, untuk menghindari surat tilang oleh polisi lalu lintas yang menangkap saya atau agar saya tidak usah membayar sogokan kepadanya, bisa saja mengaku-aku bahwa saya adalah sepupu kepala kodim atau anak angkat Kapolres atau utusan khusus presiden untuk tugas rahasia.

Dalam kasus percakapan Anggodo, adik Anggoro Widjojo (buron KPK dalam kasus korupsi sistem komunikasi radio terpadu Departemen Kehutanan), saya tidak melihat siapa sedang menggertak siapa. Mereka, yakni Anggodo dan sejumlah orang yang bergandeng tangan dengannya, adalah teman baik. Yang mereka lakukan adalah membicarakan strategi untuk langkah yang harus mereka lakukan -dengan penekanan, sudah dapat dukungan SBY.

Namun, apa pun sebutannya -entah pencatutan atau pemberian motivasi- isi percakapan itu sungguh membuat kita miris. Anda bisa melihat bagaimana mereka dengan sangat enak memasukkan SBY sebagai bagian dari mereka, sebuah komplotan yang bekerja di wilayah gelap sistem peradilan kita, untuk meruntuhkan KPK.

Untuk kehidupan yang sepahit inikah para pendahulu kita, laki-laki dan perempuan, dulu melakukan perlawanan dan kemudian mengumumkan kemerdekaan bangsa? Apakah sebuah perjuangan untuk membebaskan diri adalah sebuah tindakan naif belaka dari anak-anak muda waktu itu yang serbatergesa, yang tidak pernah menyadari bahwa sesungguhnya kita tidak punya kecakapan untuk mengurus diri sendiri?

Di timur matahari mulai bercahya....

Saya sungguh merindukan fajar hari baru yang bisa memberi kita pikiran jernih. Saya merindukan pemerintahan yang bersahabat kepada orang-orang melarat, sebuah pemerintahan yang tahu cara menumbuhkan pikiran-pikiran besar di benak semua warganya, yang mampu memberikan kesempatan kepada siapa saja yang mau bekerja secara benar untuk memperbaiki kualitas hidup. Saya mengharapkan pemerintahan yang bisa melindungi warga sehingga mereka tidak telantar di negeri sendiri dan tidak dianiaya di negeri orang.

Tampaknya ada yang patut kita ragukan terus-menerus, kenapa bangsa ini kedodoran mengurus dirinya sendiri. Kualitas hidup kita hari ini semakin jauh dari apa yang dicita-citakan. Dan sebagian besar di antara kita, diwakili para politisi yang sibuk menggemukkan diri sendiri, seperti tidak sanggup berpikir jangka panjang.

Jadi, dari mana kita akan mulai berbenah? Mestinya kita sangat berharap kepada sekolah-sekolah yang kini tengah menggodok anak-anak kita: untuk dijadikan apa?

Sistem pendidikan kita, yang menyumbang sumber daya manusia di semua lapangan, sejauh ini baru bisa menyodorkan kepada kita lulusan-lulusan yang serbagagal memperbaiki kualitas diri mereka sendiri. Itu membuat kita hanya bisa menyaksikan keberjayaan mediokritas (kesedang-sedangan) di sembarang bidang -dari lapangan sepak bola sampai panggung politik. Hari ini, apa boleh buat, kita semua sedang merayakan kemenangan mediokritas di atas virtuositas.

Dan, berpikir tentang sistem pendidikan kita, dalam dua hari berturut-turut saya dihantam oleh dua berita kecil yang saya baca di koran. Berita pertama, penelitian menyimpulkan bahwa lulusan sekolah kita berada di bawah standar internasional. Berita kedua, yang saya baca pada hari ketika saya merampungkan tulisan ini, menceritakan peristiwa lucu dalam ujian tengah semester di sekolah dasar. Dalam materi ujian bahasa Indonesia untuk kelas VI di Sidoarjo, ada sebuah soal yang sungguh mencengangkan, bunyinya: ''Pengusaha bandel dikerangkeng bareng Mak Erot.'' Pada alinea terakhir artikel tersebut, muncul kalimat, ''Pengusaha nakal diucluk-ucluk, karo biasane dibalsem teronge... I love U full.''

Sebuah kegilaan? Mungkin kekhilafan. Dan di negeri ini kita banyak sekali menyaksikan kekhilafan dalam berbagai bentuk. Dan, kita tak bisa apa-apa ketika kekhilafan itu terjadi terus-menerus dan sudah menjadi sangat lumrah.

Terus terang, saya tidak suka membayangkan negeri ini serupa dengan perempuan sia-sia yang dicontohkan dalam kitab suci. Ia adalah perempuan yang memintal benang di siang hari untuk menjadikannya kain dan menguraikan benang yang sudah dipintal kuat-kuat itu pada malam hari untuk membuat kain itu tercerai berai kembali. Dan dalam penegakan hukum, kita tampaknya tengah melakukan hal itu. Atau begitu juga dalam banyak wilayah yang lain? (*)

*) A.S. Laksana, cerpenis, aslaksana@yahoo.com

0 comments:

Post a Comment