Thursday, August 12, 2010

A.S. Laksana, Jawa Pos [ Minggu, 13 Desember 2009 ]


Dicari, Pendekar Bodoh!

Di buku-buku silat yang pernah saya baca, para pengarang biasanya punya kecenderungan akut untuk mengagungkan kebodohan.

---

''SAUDARA-saudara sekalian, mari kita bersihkan saja negeri ini dari para politikus. Sampean tahu sendiri kan, mereka itu pekerjaannya cuma bikin gangguan,'' kata Commodus, raja lalim dalam film Gladiator arahan sutradara Ridley Scott.

Ketika itu, tahun 180 Masehi, ia baru merampas kekuasaan Romawi dari tangan ayahnya, Caesar Marcus Aurelius, sang filsuf. Tetapi, Commodus jatuh tak lama setelah itu, tidak oleh celoteh para politikus. Ia tertikam mati oleh Maximus Decimus Meridius, jenderal yang dibencinya, dalam pertarungan otot di Coliseum Roma.

Mengenai politikus, yang celotehnya membuat Commodus muak, saya kira nasib profesi itu agak mirip-mirip dengan dunia pelacuran: ia tetap diminati orang meskipun selamanya dianggap sebagai dunia yang kotor. Pandangan tentang politik sebagai dunia yang kotor, tampaknya, abadi sampai hari ini. Para politikus, di banyak tempat, hampir selalu dianggap sebagai gangguan -oleh penguasa, juga oleh publik yang diwakilinya. Katharine Whitehorn, jurnalis Inggris, menyatakan pendapat buruknya tentang politikus sebagai berikut, ''Kata suami saya, kebanyakan politikus bukanlah bajingan sejak lahir, mereka seperti itu karena tuntutan pekerjaan.''

Pendapat itu terasa sebagai pandangan yang traumatik, dan saya tidak berharap bahwa pandangan itu benar. Bagi saya, politik adalah sesuatu yang kadang terasa bising sekali. Saya pernah mengira sebelum ini bahwa puncak kebisingan adalah saat-saat menjelang pemilu, yakni ketika para politikus ramai mengumbar janji. Karena itu, saya merasa lega ketika pemilu berakhir. Saya pikir dunia dan seisinya akan kembali tenang dengan selesainya pemilu. Namun, saya keliru besar di situ. Dunia politik rupa-rupanya tidak pernah berhenti bising. Selalu ada yang bisa diributkan. Tepatnya, selalu ada bahan untuk dipolitisasi. Mungkin memang di situlah poin utamanya: Kalau tidak bisa memolitisasi apa pun, lalu apa gunanya orang menjadi politikus?

Secara bersungguh-sungguh, saya pernah membuat pengandaian, tentu saja cuma di depan teman saya sendiri; sekiranya Tuhan berminat menurunkan lagi seorang nabi, saya yakin nabi baru itu akan diturunkan di Indonesia. Pengandaian itu tak berhubungan dengan munculnya orang-orang yang menyatakan diri sebagai nabi atau juru selamat. Anda bisa menganggap mereka itu lucu-lucuan saja, dan saya kira mereka akan kesulitan jika diminta menunjukkan surat pengangkatan dari Tuhan. Jadi, santai sajalah, tak ada yang serius dengan deklarasi mereka.

Namun, tetap ada pelajaran menarik dari munculnya ''nabi'' yang lucu-lucu itu. Setidaknya, kita bisa mempertimbangkan bahwa kondisi kita hari ini mungkin memang ''memenuhi syarat'' untuk diturunkannya seorang nabi. Banjir besar, ada. Tsunami, ada. Gempa, ada. Kebobrokan masal, ada. Untuk menyederhanakan urusan dan biar terasa lebih bombastis, saya bisa mengatakan ada keruwetan di setiap inci tanah yang kita pijak. Juga, ada ketidakpastian untuk menjalani hidup, di hari ini maupun di masa depan. Lebih dari itu, ada kegagalan kita untuk berpikir simpel.

''Jika 10 persen orang terkaya di Indonesia rela memberikan 20 persen penghasilan mereka (bukan harta atau aset), tidak ada lagi orang miskin di Indonesia,'' kata H.S. Dillon tiga tahun lalu. Semudah itukah mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia? Mungkin. Tetapi, cara yang semudah itu pun tak pernah bisa kita lakukan. Kita gagal di banyak tempat dan dalam banyak urusan.

Di Sidoarjo kita gagal menemukan cara paling adil untuk menangani korban semburan lumpur. Sekarang sedang diusut masalah pelanggaran HAM yang terjadi di sana. Di Purwokerto seorang mandor kebun gagal memaafkan Nek Minah yang, karena kemiskinannya, tergiur memetik tiga butir kakao untuk ia jadikan bibit. Vonis 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan memang tidak mengharuskannya mendekam di sel penjara, tetapi proses hukum telah menjadikannya sasaran pemerasan. Ia bilang telah didatangi orang yang mengaku polisi, dan orang itu meminta biaya sidang kepadanya. ''Saya sampai harus utang Rp 50 ribu kepada tetangga,'' katanya.

Dengan sogokan atau pemerasan mulai kelas Rp 50 ribu sampai Rp 6 miliar model jaksa Urip Tri Gunawan beberapa waktu lalu, saya kira Pak Presiden harus serius memikirkan bagaimana cara menjadikan aparat penegak hukumnya berkualitas. Anda tahu, Nek Minah mengalami itu setelah pidato presiden tentang program 100 hari yang menempatkan pemberantasan mafia hukum di posisi teratas.

Di mana lagi kita gagal? Banyak. Kita tidak bisa membangun jalan aspal yang kukuh di sepanjang pantai utara Jawa dan di mana-mana. Dunia pendidikan kita, selain ribut soal ujian nasional perlu diadakan atau tidak, juga tidak tahu bagaimana cara membangun gedung sekolah yang tidak mudah roboh. Hal lainnya, kita hidup di negeri dua musim, dan di dua musim itu kita sengsara. Saat musim hujan, banjir. Kala musim kemarau, kekeringan. Kita, tampaknya, semakin tidak tahu bagaimana mengatasi banjir dan kekeringan itu.

Melanjutkan pengandaian tentang nabi, saya kira negeri ini idealnya memang dipimpin oleh seorang kepala negara yang sekaligus nabi. Ia bisa figur seperti Sulaiman, hakim yang adil dan penguasa atas manusia, jin, dan hewan-hewan. Bisa seperti Daud, si kecil yang mampu mengalahkan raksasa Jalud. Bisa seperti Musa yang di waktu kecil sudah menarik janggut Firaun. Bisa seperti Isa sang juru selamat. Bisa seperti Muhammad, pemikul amanah yang bisa dipercaya.

Tetapi, karena tidak ada lagi nabi yang diturunkan, saya punya saran lain yang sangat religius, yakni kita bisa mengandalkan Tuhan untuk menyelesaikan segala keruwetan. Bagaimana cara terbaik menangani Anggodo, kita serahkan kepada Tuhan. Bagaimana kasus Bank Century harus diselesaikan, kita serahkan kepada Tuhan. Bahkan, untuk memastikan apakah benar Pak Presiden difitnah, seperti yang sering ia sampaikan, kita serahkan saja benar atau tidaknya kepada Tuhan.

Setelah itu, kita bisa mendengkur, sehari saja di dalam kamar atau ratusan tahun di ceruk gua seperti para pemuda Ashabul Kahfi. Ketika kita bangun, semuanya sudah beres. Teman saya mencibir: Ngawur!

Kepadanya saya bilang, jangan omong sembarangan; kepasrahan kepada Tuhan bukanlah tindakan ngawur. Demi keamanan dia, saya tidak akan membocorkan siapa nama teman saya itu. Saya takut ia digeruduk kaum fanatik.

Kalau pengandaian yang religius tidak memungkinkan, saya kira pengandaian sekuler dari dunia persilatan bisa lebih masuk akal. Maksud saya begini, sekiranya kita hidup di dunia persilatan, segala pertanyaan akan mudah dijawab. Misalnya, siapa yang akan memenangi pertarungan dalam kasus Bank Century? Jawab: orang yang paling bodoh.

Selalu begitu dalam dunia persilatan. Di buku-buku silat yang pernah saya baca, para pengarang biasanya punya kecenderungan akut untuk mengagungkan kebodohan. Banyak pendekar besar, pemilik ilmu kanuragan yang tak tertandingi, semula adalah para pemuda bodoh yang lambat sekali mencerna pelajaran apa pun dari guru mereka. Di dunia persilatan, Anda tahu, kecerdasan berjalan sejajar dengan kelicikan dan kebodohan selalu identik dengan kebaikan. Dasarnya sepele saja, orang bodoh selalu dianggap lebih jujur daripada orang cerdas.

Tetapi, sebuah negara demokrasi bukanlah dunia persilatan semacam itu. Lalu, apa perbedaan antara demokrasi dan dunia persilatan? Tidak ada, jawab filsuf dan matematikawan Inggris Bertrand Russell (1872-1970). ''Demokrasi yang kita agungkan cenderung menganggap orang bodoh sebagai orang yang lebih jujur ketimbang orang cerdas, dan para politikus kita mengambil keuntungan dari anggapan itu dengan tampil lebih bodoh dari yang disangka orang,'' katanya.

Jika Russel benar, dunia politik pun menjadi mudah diduga. Artinya, dalam setiap pertarungan politik, politikus paling bodohlah yang akan menang. Sebab, ia tampak lebih jujur. (*)

*) A.S. LAKSANA , cerpenis, tinggal di aslaksana@yahoo.com

0 comments:

Post a Comment