Thursday, August 12, 2010

A.S. Laksana, Jawa Pos [ Minggu, 20 Desember 2009 ]


Bagaimana Mengelola Politik tanpa Operasi Otak

Menurut Anda, skandal Bank Century ini kasus apa tepatnya? Apakah ia masalah administrasi belaka, atau masalah perampokan, atau masalah hukum, atau masalah politik, atau bahkan masalah intelijen?

Ini pertanyaan yang sangat serius. Jika kita berhasil menetapkan itu kasus apa, mungkin kita bisa menemukan cara penyelesaian yang lebih mudah. Anda tahu, setiap urusan konon akan beres jika diserahkan kepada ahlinya. (Kalimat ''serahkan kepada ahlinya'' pernah digunakan oleh Pak Fauzi Bowo sebagai jargon kampanye pemilihan gubernur DKI Jakarta; ia menang dan ternyata ia tidak ahli-ahli amat untuk membebaskan Jakarta dari banjir dan kemacetan, dua masalah yang parah sekali di wilayah pemerintahannya.)

Sebelum Anda bisa memastikan, saya kira ada baiknya kita membahas seluruh kemungkinan. Berikut ini adalah beberapa pertimbangan yang bisa saya sampaikan:

Masalah administrasi. Jika skandal Bank Century adalah masalah administrasi, maka urusannya harus diserahkan kepada orang yang benar-benar jagoan dalam urusan administrasi dan bukan pegawai administrasi biasa yang ngantuk melulu. Mungkin agak susah mencarinya, sebab administrasi adalah masalah yang sangat rumit dan berbelit-belit. Bahkan administrasi pembuatan KTP saja lama sekali pembenahannya; masalah daftar pemilih tetap dalam pemilu legislatif yang lalu juga kisruh, apalagi ini masalah administrasi sebuah bank (''Hanya bank kecil,'' kata beberapa orang) yang digelontor dana besar.

Masalah perampokan. Tidak ada kemungkinan lain kecuali kita pasrahkan saja urusan Bank Century ini kepada polsek terdekat. Kita berikan sepenuhnya kepercayaan kita kepada aparat polsek. Paling-paling kita hanya perlu mewanti-wanti agar polsek terdekat jangan sampai salah tangkap dan salah hajar orang. Kalau sering-sering begitu, citra polsek terdekat tentu saja akan merosot.

Masalah intelijen. Ini wilayah yang gelap sekali. Kadang-kadang informasinya benar, kadang-kadang meleset, tetapi bagaimanapun dunia intelijen harus tetap gelap. Kalau terang benderang namanya kabar burung. Menurut aturan, konon hanya Pak Presiden yang bisa mendapatkan informasi intelijen. Tetapi Ruhut Sitompul rupa-rupanya bisa mendapatkan juga informasi intelijen. Berkaitan dengan simpang-siur skandal Century, ia bilang ada dua bekas menteri yang berkhianat kepada SBY. ''Ini info dari BIN,'' katanya.

Masalah hukum. Saya agak buntu kalau ini ternyata masalah hukum. Di satu saat, sering hukum kita tampak sangat berwibawa, misalnya ketika mengadili Nek Minah (pemetik tiga butir kakao) dan Nek Manisih (pengumpul sisa-sisa panen kapuk randu yang diancam hukuman 7 tahun penjara). Di saat lain, hukum sering tampak sebagai kegiatan persekongkolan.

Saya pribadi abstain untuk kasus kedua nenek ini, sebagaimana presiden juga pernah abstain beberapa waktu dalam kasus Bibit-Chandra sambil mencari saat yang tepat untuk pidato. Jika Anda marah karena para nenek diperlakukan seperti itu dan rasanya mau mengamuk, saya kira Anda harus mengarahkan amukan Anda kepada negara. Negara ini terus-menerus gagal memenuhi janjinya yang berbunyi, ''fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara''. Kegagalan inilah yang menyebabkan kedua nenek itu, keduanya fakir miskin, diadili sebagai pencuri dalam upaya mereka mempertahankan hidup.

Kembali ke kasus Century, pikiran saya bolak-balik tidak bisa menemukan kemungkinan terbaik tentang siapa yang bisa diserahi urusan sekiranya ini adalah masalah hukum. Kadang terpikir bahwa Anggodo atau Robert Tantular atau orang-orang semacam itu mungkin akan tepat menanganinya. Kadang terpikir mungkin Ruhut Sitompul (baca: Ruhut Sitompul) lebih tepat. Ruhut sering memberi tahu kita dalam pernyataan-pernyataannya bahwa dia ahli hukum. Namun, karena tetap buntu, saya pikir kita serahkan saja urusan ini kepada Pak Presiden yang sudah berjanji akan membabat mafia hukum. Saya kira itu janji yang baik dan bukan fitnah.

Masalah politik. Karena politik terlalu berbahaya jika diserahkan urusannya hanya kepada para politisi, dan Anda sendiri mungkin meragukan kemampuan para politisi kita untuk menyelesaikan masalah-masalah, maka semua orang boleh ikut serta. Setiap orang boleh menggalang dukungan untuk membela jagoannya masing-masing.

Paling-paling saya hanya akan menambahkan sedikit catatan di sini berkenaan dengan cara kita mengelola politik yang, menurut saya, sama persis dengan cara kita mengelola alam. Dan mungkin sama persis juga dengan cara kita mengelola apa saja. Kita mengelola alam begitu rupa sehingga bencana demi bencana, yang tampak berpindah-pindah tetapi sesungguhnya adalah perambatan di sepanjang jalur patahan, selalu menghasilkan banyak korban. (Kata ''menghasilkan'' ini sekali waktu pernah saya dengar diucapkan oleh presenter salah satu televisi, seolah-olah gempa bumi adalah kegiatan pabrik.)

Gempa politik kelihatannya seperti itu juga. Setiap kejadian tampak sebagai satuan-satuan yang terpisah, tetapi saya kira yang terjadi juga perambatan. Namun dalam urusan ini saya tidak berani memutuskan mana gempa pertamanya: Mungkin peristiwa jatuhnya Pak Harto, atau proklamasi, atau masuknya kompeni.

Anda menganggap itu kejauhan? Oke, mungkin gempa pertamanya dekat-dekat saja, tetapi saya tetap tidak bisa memastikan apakah itu penjarahan kolosal melalui BLBI, atau terungkapnya suap Rp 6 miliar oleh Bunda Ayin kepada jaksa Urip Tri Gunawan, atau gonjang-ganjing di seputar pemilihan deputi gubernur BI, atau terseretnya besan Pak Presiden dalam pengadilan korupsi oleh KPK, atau peristiwa alam yang sangat menakjubkan baru-baru ini: cecak menelan buaya. Saya ingin sekali, suatu saat nanti, membuat dongeng anak-anak tentang gejala ajaib ini.

Sekarang, Saudara-Saudara, kita sedang menikmati perambatan mutakhir. Taruh kata gempa pertamanya adalah Century, maka ia juga telah merambat di sepanjang jalur patahan. Dan susah memperkirakan akan berapa banyak jatuh korban.

Beberapa waktu kita disekap dalam situasi seolah-olah kasus Century adalah sebuah bom yang bisa merontokkan kekuasaan. Orang juga sempat yakin bahwa PPATK akan berani mengeluarkan data sehingga publik bisa tahu ke mana saja dana mengalir jauh; dari BI menuju Century, lalu ke orang-orang tertentu, lalu sampai ujung sekali. Mungkin sampai ke transaksi di Glodok, Mangga Dua, atau Pasar Klewer.

Tak terjadi gempa besar di situ, tetapi terus terjadi perambatan. Sempat muncul pembicaraan tentang pemakzulan (impeachment); juga ide penonaktifan, yang lalu didebat tidak ada dasar hukumnya. Sekarang belok ke pertarungan Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie; masalah pajak dihembuskan. Oya, tiba-tiba Benny K. Harman, anggota Komisi III DPR, secara serampangan mengingatkan bahwa rapat angket itu merupakan rapat konsultasi, bukan rapat pemeriksaan. Akan dibawa ke mana lagi?

Untuk kemiripan antara gempa bumi dan gempa politik ini, saya kira ada ucapan Einstein yang patut diingat. Ia bilang, cara berpikir yang menyebabkan kita dirundung masalah amat mustahil digunakan untuk menyelesaikan masalah yang lahir justru karena cara berpikir tersebut.

Jadi, jika kita menyepakati Einstein, untuk mengatasi gempa bumi maupun bencana politik yang terus merambat, rasa-rasanya yang harus dibereskan pertama kali adalah cara berpikir. Hanya mengubah cara berpikir, dan tidak harus operasi otak. Untuk kasus-kasus cara berpikir yang agak parah, mungkin bisa diatasi dengan hipnoterapi. Saya kira ini penting terutama bagi para pejabat, juga politisi, sebab dari merekalah muncul segala macam kebijakan dan manuver yang memengaruhi kehidupan orang banyak. (*)

*) A.S. Laksana, penulis, tinggal di aslaksana@yahoo.com

0 comments:

Post a Comment